Selesai Ujian Skripsi, Berfoto Bersama Teman |
Adakalanya seorang mahasiswa mendapat judul atau masalah penelitian dari sang dosen, hal ini tentu saja sangat menguntungkan. Kemudian pada saat proposal selesai dibuat, sejenak kita menganggapnya—bagi yang perfeksionis—sudah fix, clear, tuntas tanpa revisi. Tapi ternyata ada saja revisi atau perbaikan dari dosen, di sini kita diajarkan untuk memiliki sikap kerendahan hati inteleketual. Bahkan ketika ujian atau sidang skripsi selesai dilaksanakan, masih saja ada yang namanya revisi, lagi-lagi kita diajarkan untuk selalu menanam kerendahan hati intelektual, rasa-rasanya mahasiswa tingkat akhir memang tidak akan lepas dari yang namanya revisi.
Jadi, bagi mahasiswa yang sedang menyusun skripsi, jangan mudah menyerah atau dongkol ketika merevisinya. Kerjakan saja, lakukan saja dengan sabar dan ikhlas. Just do it! Semuanya pasti akan kelar pada waktunya. Masalah itu tidak abadi. Oleh karena itu, semua masalah pasti akan beres, kalau ternyata tidak beres berarti itu bukan masalah, tetapi takdir. Dan jangan lupa, mahasiswa tingkat akhir itu, sebaiknya lebih mendekatkan diri pada Tuhan, sering-sering berdoa, perbaiki diri alias bertaubat. Karena sepertinya, mahasiswa tingkat akhir yang banyak dosanya itu, akan sedikit terhambat (dosa itu mempersulit dan mempersuram). Belum terlambat untuk bertaubat. Ini akan memudahkan jalan ke depan (nasihat buat diri saya sendiri).
Satu hal lagi yang saya pikirkan, mau dibuat sesempurna apa skripsi yang kita susun, tetap saja ada kekurangan yang kita lihat, ataupun dikoreksi dosen. Saya jadi teringat dengan status FB yang saya tulis beberapa waktu yang lalu, “Banyak manusia yang mengejar kesempurnaan, sementara manusia dikutuk untuk tidak sempurna dalam banyak hal, maka maklumilah dengan sewajarnya jika sering menemui banyak kekurangan pada diri kita ataupun orang lain”.
Lalu yang perlu diingat lagi, sepertinya dalam pandangan saya atau mahasiswa yang lain, tugas seorang dosen pembimbing apatah lagi dosen penguji adalah mencari-cari kesalahan skripsi mahasiswanya. Ibaratnya kalau tidak menemukan kesalahan dalam skripsinya, mungkin si dosen takut dianggap kurang kritis, kurang kompeten, kapabilitas kurang, atau apapun namanya. Jadi pada saat sidang skripsi, dosen-dosen penguji seolah-olah berlomba untuk mencari kesalahan, karena dengan banyaknya temuan kesalahan, dianggap sebagai yang paling kritis, logis, analitis, kompeten, kapabel, dsb.
Padahal kalau kita cermati, yang namanya kesalahan pasti akan selalu ada, apatah lagi bila mencari-cari kesalahan, pasti akan selalu ketemu. Kalau boleh saya berharap, dosen pembimbing skripsi sebaiknya tidak usah terlalu kritis, hingga menyulitkan mahasiswanya, apalagi hingga menunda tempo ujian. Lagi pula pasca ujian skripsi, revisi juga masih banyak dari empat dosen penguji yang “berlomba” mencari kesalahan.
Sisi baiknya, mungkin dosen yang hobi merevisi memberikan antisipasi agar mahasiswanya benar-benar menguasai skripsinya tersebut dari A sampai Z, sehingga pada saat ujian dapat menjawab pertanyaan penguji dengan baik dan benar. Tapi pengalaman saya, ketika mental down pada saat ujian, seolah kemampuan kita menghilang. Oleh karena itu, saran saya bagi yang mau ujian, berusaha menguasai diri, kendalikan mental, tenang, dan hadapi ujian dengan sewajarnya saja. Dijamin lancar. Ujian itu hal yang biasa. Hidup yang tidak diuji adalah hidup yang tidak layak untuk dijalani, begitu kata Socrates.
Sisi baik lainnya, banyaknya revisi dan perbaikan, memang mengajarkan pada kita untuk selalu menanam kerendahan hati intelektual, tidak merasa paling benar, tidak merasa sudah sempurna, sehingga tidak ada lagi perbaikan. Tak ada gading yang tak retak. Bukankah dalam hidup memang harus selalu melakukan perbaikan dan introspeksi? Mungkin Tugas Akhir Skripsi mengajarkan demikian.
By Rihan Musadik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar