Selasa, 26 Mei 2015

Sejenak Merenungi Makna Hidup

Oleh: Rihan Musadik

Ada saat dimana kita harus merenung di tengah gelombang badai duniawi yang bertubi-tubi, yang membuat lupa sebagian manusia dari kodratnya sebagai makhluk Tuhan yang pada saatnya akan kembali kepangkuan-Nya. Kita sering melupakan bahwa manusia diciptakan ke dunia bukannya tanpa tujuan. Tuhan tidak mungkin menciptakan sesuatu dengan kesia-siaan. Tak lain manusia diciptakan hanya untuk beribadah menyembah hanya kepada-Nya.

Kesibukan mencari duniawi telah membuat lalai sebagian orang, sehingga lebih mengutamakan urusan dunia yang singkat ketimbang urusan akhirat yang kekal. Dulu, ketika masih bujangan dan belum terlalu sibuk, shalat lima waktu di masjid tak pernah telat, baca Al-Qur’an one day one juz bahkan lebih, ngaji ke majelis ta’lim begitu rajin, buku-buku agama makanan sehari-hari, sedekah tak pernah lupa dan besar pula, kepedulian sosial teramat tinggi.

Lalu ketika kerja, mulai ada penurunan ibadah; shalat lima waktu jarang di masjid, baca Al-Qur’an satu lembar per hari (masih mending kadang-kadang nihil), majelis ta’lim seminggu sekali (itu pun pas khutbah Jum’at, sambil tidur pula), sedekah sangat rajin kepada diri sendiri, kepekaan sosial berganti menjadi ketidakpedulian sosial, dan Tuhan pun mulai dilupakan.

Pertanyaannya adalah, apakah pekerjaan kita membuat lupa kepada Tuhan atau menambah dekat kepada-Nya? Bukankah bekerja itu ibadah? Benar sekali, bekerja mencari nafkah untuk keluarga adalah ibadah yang sangat besar dan sangat dihargai dalam agama. Akan tetapi, apakah pekerjaan kita sudah sesuai dengan aturan Allah atau justru malah melanggar? Manusia yang sadar akan kebermaknaan hidupnya di dunia tentu akan merenung, apakah dengan aktivitas atau pekerjaan yang digeluti makin mendekatkan kita kepada Allah atau justru makin menjauhkan kita kepada Allah, lebih parah lagi pekerjaan yang membuka pintu-pintu maksiat.

Di Jalan Cinta

Oleh: Rihan Musadik

Jodoh siapa yang tahu, selekat apapun cintamu pada seseorang, kalau dia memang bukan jodohmu, mau apa lagi. Seputus asa apapun engkau menanti jodoh, menunggu cinta berlabuh, ternyata tak dinyana ketemu juga. Bertemu di tempat yang juga tak kau kira.

Tak disangka pujaan hati datang, lewat pandangan pertama. Benarkah ada cinta lewat pandangan pertama? Dari mata turun ke hati. Awalnya dari saling pandang, tatapan penuh cinta. Yakni cinta naluri seorang laki-laki dan perempuan yang tuna asmara. Dan kita bertanya dalam hati, apa memang kita berjodoh? Apa memang pandangan pertama itu jalan cinta kita?

Tapi cukupkah hanya dengan cinta pada pandangan pertama, dengan saling pandang, saling tatap meski hanya sepintas, lalu berkenalan, dan berjodohlah. Dari yang bukan siapa-siapa, menjadi siapa saya jika tanpamu. Dari yang tidak saling kenal, menjadi orang yang diingat-ingat sepanjang waktu. Bisakah? Mungkinkah?

Lalu kita menjawab dengan pertanyaan pula, apakah Tuhan hanya membatasi jodoh pada link-link di sekitar kita, entah link teman, saudara, atau apa. Link kita hanyalah Allah, biar Tuhan yang mempertemukan lagi mempersatukan cinta kita. Jika Allah menakdirkan pandangan pertama adalah jalan cinta kita, dan itulah karunia. Tapi benarkah itu karunia? Atau mungkin ujian dari Yang Kuasa?

Filosof vs Pastur

Filosof: Apakah Yesus itu Tuhan atau anak Tuhan? 

Pastur: Yesus adalah anak Tuhan 

Filosof: Jadi, Dia (Yesus) bukan Tuhan? 

Pastur: Bukan 

Filosof: Roh Kudus adalah Tuhan? 

Pastur: Ya, Roh Kudus adalah Tuhan 

Filosof: Jadi, ada dua Tuhan? 

Pastur: Hanya ada satu Tuhan, dan itulah Tuhan Roh Kudus 

Filosof: Jadi, Bapa bukan Tuhan? 

Pastur: Benar sekali 

Filosof: Jadi, Bapa bukan Tuhan dan Anak (Yesus) juga bukan Tuhan? 

Pastur: Benar 

Filosof: Dan Roh kudus adalah Tuhannya? 

Pastur: Benar 

Filosof: Jadi, siapa Bapa? 

Pastur: Tuhan 

Filosof: Anda baru saja mengatakan bahwa Bapa bukan Tuhan? 

Pastur: Tidak, Bapa adalah Tuhan 

Filosof: Anda baru saja mengatakan Bapa bukan Tuhan, Anak bukan Tuhan, dan Roh Kudus adalah Tuhannya? 

Pastur: Tidak kok, Bapa adalah Tuhan 

Filosof: Anda membuat pernyataan yang sangat tidak masuk akal 

Pastur: Itu hanya masalah pendapat saja. Menurut saya pribadi, saya sudah menjelaskan dengan cukup jelas 

Filosof: Maksud saya, bagaimana Anda bisa mengkristenkan orang, jika Anda sendiri tidak paham dan tidak bisa memberi tahu siapa Tuhan? 

Pastur: Tuhan adalah Tuhan. Dalam Bibel, Dia adalah Tuhan 

Filosof: Orang Kristen mengatakan bahwa Tuhan itu satu, tapi ternyata ada tiga? 

Pastur: Saya tidak mengerti tentang pertanyaan Anda. Sepertinya Anda bingung? 

Filosof: Baiklah, sekarang kita tahu ada Bapa, Putra, dan Roh Kudus, benar? 

Pastur: Betul sekali, Trinitas 

Filosof: Trinitas ini, sebenarnya mereka ini “tiga sama dengan satu” atau “satu sama dengan tiga”? 

Pastur: Mereka semua, sama dengan satu. Trinitas adalah satu kesatuan dari tiga 

Filosof: Baik, saat Yesus mati, Dia mati di kayu salib, bukan? 

Pastur: Ya, Benar 

Filosof: Saat Dia mati, siapa yang memerankan pertunjukan? 

Pastur: Tuhan selalu memerankan pertunjukan semenjak awal. Selalu Tuhan 

Filosof: Berarti menurutmu sekelompok orang Yahudi telah membunuh Tuhanmu? 

Pastur: Ya, itu benar 

Filosof: Jadi, pada hakikatnya sekelompok orang Yahudi lebih kuat dari Tuhanmu karena Tuhanmu telah mereka bunuh di tiang salib? 

Pastur: Saya tidak setuju karena Bibel tidak mengatakan hal itu dimanapun 

Filosof: Baiklah, orang Kristen sering berceramah bahwa Yesus digantung, disalib, dan dibunuh dengan kejam oleh sekelompok orang Yahudi yang sombong? 

Pastur: Ya, Dia mati menebus dosamu, dosa umat manusia 

Filosof: Apakah dia juga menebus dosa orang Yahudi yang membunuh-Nya (Yesus)? 

Pastur: Ya, benar 

Filosof: Jadi, orang Yahudi yang membunuh Yesus, bisa masuk surga? 

Pastur: Ya, benar 

Filosof: Jadi, semua orang akan masuk surga? 

Pastur: Oh, tidak 

Filosof: Tapi saya kira Yesus menebus dosaku? 

Pastur: Ya, asalkan kamu hidup menurut ajaran-Nya (Yesus) pasti masuk surga 

Filosof: Apakah Yesus menyayangi semua orang? 

Pastur: Tidak juga 

Filosof: Wow… Anda cukup berani untuk berbicara seperti itu? 

Pastur: Ya, dan pikirkan betapa beruntungnya Anda untuk memiliki Bibel sebagai petunjuk Anda 

Filosof: Sebenarnya saya tidak beruntung membaca Bibel. Baiklah, jika Anda lihat di Keluaran 21: 15, disebutkan bahwa siapa yang memukul ayah atau ibunya harus dihukum mati? 

Pastur: Benar 

Filosof: Apa itu terlihat baik menurut Anda? 

Pastur: Ya, itu terlihat baik 

Filosof: Jadi, jika saya memukul ibu saya sendiri, saya harus dihukum mati? 

Pastur: Kalau Bibel mengatakan begitu, ya begitulah… 

Filosof: Oke, bisakah kita berbicara tentang Bibel? 

Pastur: Oh ya, aku akan sangat senang membicarakannya 

Filosof: Bukan Yesus yang menulis Bibel, benar? 

Pastur: Ya, bukan Yesus 

Filosof: Lalu siapa? 

Pastur: Murid-murid-Nya 

Filosof: Anda salah. Ada Yohanes, Petrus, Mikael, Matius. Apakah mereka yang menulis Bibel? 

Pastur: Ya, Benar 

Filosof: Siapa mereka? 

Pastur: Murid Yesus 

Filosof: Bukan. Mereka belum pernah melihat Yesus seumur hidup mereka 

Pastur: Mereka berjalan bersama Yesus kok… 

Filosof: Tidak, Mereka bahkan lahir ratusan tahun setelah Yesus meninggal 

Pastur: Kalau menurut Bibel tidak 

Filosof: Menurut Bibel…? Baiklah, apakah Anda mengatakan Yesus itu Tuhan? 

Pastur: Ya, Benar 

Filosof: Lalu bagaimana di dalam Bibel saat Yesus dipanggil “sempurna” malah mengatakan, “Jangan panggil aku sempurna. Tidak ada yang sempurna selain Tuhan?”

Pastur: Benar sekali 

Filosof: Berarti Dia membedakan antara diri-Nya dengan Tuhan? 

Pastur: Ya, benar sekali 

Filosof: Di dalam Markus 12: 29 Yesus berkata, “Perintah yang pertama: Dengarlah wahai Bangsa Israel, Tuhan Allah adalah Tuhan kita, yaitu Tuhan Yang Esa”. Mohon dijelaskan? 

Pastur: Bisa diperjelas lagi pertanyaannya? 

Filosof: Yesus berkata di dalam Bibel bahwa Tuhan Allah adalah Tuhan kita semua, yaitu Tuhan Yang Satu. Yesus mengatakan “TUHAN KITA” . 

Pastur: Ya, Benar 

Filosof: Kemudian di Yohanes 20: 16 Yesus berkata, “Aku diutus oleh Tuhanku dan Tuhanmu”. Bukankah ini berarti bahwa kita dan Yesus punya Tuhan yang sama? 

Pastur: Benar 

Filosof: Lalu di Yohanes 8: 28 Yesus berkata, “Tidak ada satupun yang Ku-lakukan dari diri-Ku sendiri”. Lalu apakah Tuhan bisa melakukan segala sesuatu? 

Pastur: Jelas bisa 

Filosof: Lalu mengapa di dalam Bibel, Yesus membedakan dirinya dengan Tuhan, bukankah Anda mengatakan Yesus adalah Tuhan? 

Pastur: Mungkin Bibel Anda terdapat kesalahan kosa kata 

Filosof: Kosa kata mana yang salah ketika Yesus sendiri mengatakan “TUHAN KITA”? Anda mengatakan kalau Bibel saya terdapat kesalahan kosa kata. Kalau memang Bibel berasal dari Tuhan, pasti hanya ada satu Bibel, tapi mengapa ada banyak versi Bibel? 

Pastur: Mungkin Bibel yang Anda baca telah jatuh tercelup ke air sehingga buram. Itulah sebabnya kami menjual Kitab versi sendiri, yaitu The Richard Burnish Bible, agar terbebas dari kebingungan. 

Filosof: Ada Kitab terakhir dari Tuhan, namanya Al-Qur’an. Kitab ini adalah wahyu terakhir dari Allah setelah Zabur, Taurat, dan Injil yang diturunkan kepada Muhammad. Beliau adalah Nabi terakhir, Nabi yang diutus untuk seluruh umat manusia, bukan Nabi yang diturunkan hanya untuk satu bangsa, seperti Yesus Kristus yang hanya diutus untuk Bangsa Israel. Beliau adalah Nabi akhir zaman setelah Nabi Isa Al-Masih (Yesus Kristus). Kitab ini banyak meluruskan keyakinan-keyakinan keliru dari orang Kristen dan Yahudi. Tidak ada kesalahan satu pun, jika Anda baca maka Anda akan tahu siapa Yesus Kristus (Isa Al-Masih) yang sebenarnya. Beliau hanya seorang Nabi utusan Allah; bukan Tuhan, bukan juga anak Tuhan, bukan salah satu dari tiga Tuhan (trinitas). Semua yang ada di dalam Al-Qur’an masuk akal. Hanya ada satu Tuhan, dan yang lainnya adalah Nabi. 

Pastur: Terima kasih. Terima kasih banyak atas keterangannya 

Filosof: Orang-orang Kristen menggunakan simbol salib karena menganggap Yesus mati di kayu salib? 

Pastur: Benar 

Filosof: Jadi, kalau Yesus dibunuh di kursi listrik apakah kalian akan menggunakan kursi listrik sebagai simbol?


Sumber Transkripsi:

https://www.youtube.com/watch?v=9C24ZM9Pfn4 dengan beberapa penambahan dan pengurangan.

Selasa, 19 Mei 2015

Psikologi Wawancara Kerja

Oleh: Rihan Musadik 

Wawancara kerja, boleh jadi dilaksanakan di awal-awal seleksi, tapi boleh jadi juga di akhir-akhir seleksi, tergantung model perkerutan masing-masing tempat kerja. Sepertinya yang paling banyak dilaksanakan adalah wawancara kerja di akhir-akhir seleksi. Tujuannya, mungkin ingin mengetahui lebih dalam profil atau kepribadian sang pelamar, di samping juga bagaimana semangat kerja, keinginan kerja di tempat tersebut, gaya bicara, kemampuan, dan lain-lain hal. Intinya, pihak pewawancara ingin mengetahui secara umum (bisa juga hal khusus) berbagai hal tentang diri sang pelamar yang dikaitkan dengan apakah tepat bekerja di perusahaan tersebut. Walaupun harus diakui, menilai kepribadian seseorang tidak cukup hanya dengan satu-dua jam wawancara. Akan tetapi, paling tidak ada sedikit gambaran tentang profil umum sang pelamar.

Ada pertanyaan menarik yang berkaitan dengan wawancara kerja, apakah bisa kita mengetahui kepribadian orang yang mewawancarai kita? Kalau berdasarkan pengalaman saya, tentu bisa. Jika kita sedikit cermat dan jeli, kita akan langsung dapat menilai siapa sebenarnya pewawancara kita, bagaimana kepribadiannya, dan seperti apa karakternya. Tentu saja itu hanya penilaian atau gambaran umum saja, siapa tahu bermanfaat jika suatu saat ia menjadi atasan kita. Setidaknya, sang pelamarlah yang justru asyik menerka-nerka kepribadian pewawancara layaknya psikolog ahli yang sedang menilai kepribadian seseorang. Katakan apa yang kamu tanyakan, niscaya aku mengetahui siapa kamu.

Umumnya pelamar akan merasakan grogi, nervous, ataupun deg-deg ser ketika akan melakukan wawancara. Hal ini wajar-wajar saja dan lazim dialami kebanyakan orang. Sebaik apapun mental seseorang pastilah akan sedikit mengalami demam panggung. Terlebih bagi para pemuda yang masih belum matang emosi dan kejiwaannya. Tentu sangat perlu belajar bagaimana meminimalisir rasa khawatir saat akan melakukan wawancara, presentasi, pidato, atau ceramah. 

Sihir Sinetron

Oleh: Rihan Musadik

Saat nonton TV, terutama sinetron alias kisah-kisah bersambung yang begitu digemari oleh banyak kalangan, khususnya oleh ibu-ibu. Mengapa mereka menjadi ketagihan? Seolah-olah penonton dibawa, diajak, dan disentuh sisi kejiwaannya untuk terus mengikuti acara. Bahkan ketika acara selesai, penonton dibuat penasaran bagaimana kelanjutan kisahnya di episode berikutnya. Bagi sebagian orang, mungkin meninggalkan acara sinetron pada saat menonton bisa dilakukan dengan ringan saja. Akan tetapi, bagi para penggemar sinetron rasa-rasanya berat untuk meninggalkan sinetron tersebut. Apalagi pada sinetron-sinetron yang kontennya memang banyak menyuguhkan emotivisme atau emosi-emosi meluap yang membuat penonton ikut terbawa emosi. Dan memang hampir semua sinetron mengedepankan sisi emosional dengan diiringi musik-musik pengantar yang juga emosional.

Sebenarnya kalau kita amati dengan cerdas, isi atau konten acara sinetron sangatlah absurd. Walaupun mungkin kisah atau cerita, latar waktu dan tempat, serta logat bicara mengambil dari adat dan budaya masyarakat, tetap saja absurd. Karena hal-hal detail atau kepingan-kepingan cerita menunjukkan suatu kejadian yang memang absurd. Ditambah lagi ekspresi-ekspresi para pemeran sinetron yang sangat emosional dan berlebihan. Kalau dibandingkan dengan realitas di masyarakat sangatlah jarang ditemukan bentuk-bentuk emosi berlebihan yang ada dalam sinetron. Meski harus diakui pula bahwa sisi emosi yang ada dalam sinetron juga mengambil dari realitas di masyarakat, hanya saja pada sinetron dilebih-lebihkan dan diluap-luapkan, ditambah lagi dengan iringan musik yang pas dengan kejadian sinetron, apakah itu musik sedih, gembira, datar, ataupun humor.

Agaknya, bentuk-bentuk emosi over dari para pemerannya disertai iringan musik inilah yang menjadi nilai jual dari sinetron sehingga memikat hati pemirsa. Oleh karena itu, jika ada orang yang “kagetan” atau “gumunan” dengan suatu hal, ataupun sangat ekspresif dalam bersikap, maka orang-orang menyebutnya sebagai “over acting”. Tentu saja kata over acting adalah kata negatif yang ditujukan pada orang-orang yang berlebihan dalam bersikap, berbicara, berbuat, dan menanggapai suatu hal. Orang Jawa selalu mengatakan pada orang yang over acting, “Biasa wae” yang dalam bahasa anak muda sering dikatakan “Biasa aja”.
 

Perilaku Remaja: Satu Persoalan

Oleh: Rihan Musadik

Bagi orang dewasa atau juga orangtua; memandang remaja sebagai tahap kehidupan yang belum matang dalam menghadapi dan menyikapi persoalan. Tentu saja pandangan ini ada benarnya, walaupun tidak seratus persen benar. Jika kita amati perilaku remaja ketika berkumpul dalam kegiatan olahraga pagi di hari Minggu/libur, akan banyak kita dapati perilaku-perilaku unik yang menunjukkan naluriahnya atau sebut saja ketidakdewasaannya. Terutama menyangkut naluri dengan lawan jenis yang kerap dianggap sebagai “dunia cinta remaja”. Sebetulnya bukan hanya acara jogging minggu pagi, akan tetapi hampir semua acara dimana banyak remaja berkumpul, seperti malam mingguan, konser musik, pameran buku, alun-alun, perpustakaan, dsb.

Berbicara remaja secara umum, tentu berbeda dengan berbicara remaja secara khusus. Pada hal-hal yang umum, kita membahas hal yang menjadi kebiasaan “nakal” para remaja, dan tentu tidak semua remaja adalah nakal dan tidak dewasa. Harus diakui ada beberapa remaja yang pintar, terlihat dewasa, dan “tahu agama”. Sedangkan yang kita bicarakan adalah remaja secara umum dari sisi negatif. Sebab, secara apriori banyak orang yang memandang beberapa perilaku remaja dari sisi kelamnya. Dan memang ini yang lebih santer diberitakan oleh berbagai media jurnalistik.

Terkait perilaku remaja, sebagian orang menganggapnya hal biasa dan lumrah. Sebagian lagi memandangnya tidak lumrah dan tidak sesuai agama. Misalnya pacaran, bermesraan, berdua-duaan, bersepi-sepi, berciuman, berboncengan, pergi bersamaan, merokok, tawuran, nonton video porno, dll. Beberapa contoh ini dianggap hal biasa oleh sebagian orang, mereka mengatakan, “Ah, namanya juga remaja, biarin aja mereka nakal, ntar juga sadar sendiri”. Sebagian lagi menilai perilaku-perilaku ini telah melanggar agama, tidak sesuai budaya timur dengan kearifan lokal seperti rasa malu, sopan santun, dan menjaga diri. Sehingga perilaku demikian harus benar-benar dijauhi.

Seutas Asa

Kicauan burung tak lagi merdu
Kebun-kebun sepi berdiam diri
Kupu-kupu kuning turut mengobati
Hanya seulas senyum
Sedikit merekah tapi terpendam sedih

Berlarian suara mesin
Bertambah tangis dada yang sedih
Tiada lagi harapan
Tiada lagi masa depan 

Dan mengapa harus berharap
Ketika semuanya tampak tertutup rapat tak berdaya
Mengemis harapan kepada sesama juga kesia-siaan
Tiada lagi tempat berharap

Dunia memang gelap
Mendung hitam bergelayut tak henti
Tinggal kesadaran yang tersisa
Tinggal satu harapan yang bercelah

Di kegelapan yang amat pekat
Masih ada harapan secercah cahaya
Di antara rapatnya pintu kehidupan
Kesadaran mengatakan adanya kunci yang hendak membuka

Atau sang tuan rumah membukakan pintu
Dan mempersilahkan masuk dengan jamuan
Hanya bisa menunggu dan berharap penuh
Karena memang Dia Sang Pemilik Kehidupan

Alangkah ruginya engkau
Hidup dalam kepedihan
Berteman dengan kemiskinan
Sementara kemaksiatan menjadi kebiasaaan
Apa yang hendak kau banggakan ketika berjumpa menghadap Allah? 


Rihan Musadik
Bumi Allah, 15 Rajab 1436 H