Minggu, 26 Februari 2012

Civil Society dan Realita Pasca Reformasi

Oleh: Rihan Musadik

Harapan utama dan paling didambakan setelah bergulirnya reformasi adalah terbentuknya civil society. Sebuah masyarakat yang hidup dengan beradab dan memiliki hubungan dialogis yang baik dengan negara. Dalam konsep civil society atau biasa disebut masyarakat madani sangat menjunjung tinggi demokratisasi, kebebasan, keterbukaan, egalitarianisme, dan keadilan. Itulah kira-kira konsep yang diharapkan oleh para reformis, mahasiswa, dan kalangan intelektual yang membidani terjadinya reformasi yang kala itu memang sudah sangat jera oleh pemerintahan orde baru yang memasung kebebasan.

Kamis, 23 Februari 2012

Bersama Tuhan

Jika saja aku suruh memilih
antara hidup penuh derita dengan kematian penuh berkah
tentu aku pilih yang kedua

Karena kematian penuh berkah adalah pintu gerbang surga yang abadi
di dalamnya hanyalah kenikmatan-kenikmatan tiada tara
tak pernah terlihat mata
tak pernah terdengar telinga
dan tak pernah terbesit sedikitpun di benak

Alangkah sengsaranya jikalau hidup penuh derita
hidup hanya mengejar kenikmatan dunia sesaat

Jalan terbaik hanyalah merangkul Tuhan
dan hidup bersama Tuhan
Hanya dengan hidup di bawah naungan-Nya
Hidup akan tenang lagi penuh makna

Dengan begitu kematian penuh berkah kan kau dapatkan
Sementara pintu gerbang surga kan terbuka bagimu
atau bahkan menanti-nanti dirimu

 

Rihan Musadik
menjelang adzan maghrib
Yogyakarta, 23 Februari 2012

Senin, 20 Februari 2012

Salafi, Apa dan Mengapa?

Oleh: Rihan Musadik

Buku-Buku Terkait Salafi-Wahabi
Dewasa ini istilah “salafi” sudah tidak asing lagi di telinga kita. Istilah salafi akhir-akhir ini sering disalahartikan oleh sebagian orang. Mereka menganggap bahwa salafi adalah sebuah madzhab dalam Islam yang pengikutnya memiliki ciri khas tertentu dan juga memiliki manhaj tertentu dalam memahami ajaran Islam, yang notabene mengaku sebagai golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Padahal sebenarnya istilah salafi menunjuk pada praktek umat Islam yang memahami ajarannya sesuai dengan pemahaman para ulama terdahulu—generasi sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in—yang lebih populer dengan sebutan salafush shaleh. Artinya, istilah salafi bukan hanya milik golongan tertentu yang mengklaim sebagai pengikut madzhab salaf, yang karenanya mereka menganggap kelompoknyalah yang paling benar dan sesuai dengan pemahaman ulama terdahulu. Akan tetapi, semua umat Islam dapat dikatakan sebagai salafi (pengikut ulama salaf) sepanjang mereka merujuk pada generasi salaf sekaligus mengakui perbedaan pendapat di antara mereka dalam memahami syariat Islam. Sehingga orang Islam yang mengaku sebagai pengikut generasi salaf—disebut salafi—adalah orang Islam yang mengakui adanya perbedaan pendapat dalam memahami syariat Islam, khususnya pada permasalahan furu’iyah (cabang fiqih) sekaligus bersikap toleransi terhadap adanya perbedaan tersebut.

Selasa, 14 Februari 2012

Pendidikan

Pendidikan adalah modal dasar bagi pembangunan sebuah negara, tanpa pendidikan, seseorang akan mengalami kebodohan dan tertinggal dengan bangsa lain yang notabene telah mengalami kemajuan pesat. Dengan pendidikan pula, akan terbentuk proses hominisasi dan humanisasi, yang mana hal ini sangat berpengaruh besar terhadap HAM (Hak Asasi Manusia) yang dewasa ini telah menjadi wacana global.

Tirai Hijau

Tirai hijau yang terdiam membisu
menutup jendela kaca gelap
setiap hari menahan teriknya terpaan mentari
tetapi tiap pagi menikmati indahnya embun pagi
dan disambut cahaya dhuha 

Duhai tirai hijau
Engkau perlambang penutup aib manusia
pelindung sesama sekaligus penahan debu

Engkau tak pernah mengeluh
dan bahkan tidak akan pernah mengeluh
siap sedia adalah tugasmu
pelayanan adalah kebahagiaanmu

Akan kutemukan dimana manusia sepertimu
seperti tirai hijau yang terdiam membisu di tempat rebahanku 


Rihan Musadik
Yogyakarta, 14 Februari 2012

Senin, 13 Februari 2012

Belajar adalah Proses Berpikir

Waktu masih SMP dulu, saya teringat dengan ucapan salah seorang guru yang saya kagumi, yang mengatakan bahwa belajar adalah proses berpikir dan bukan mencatat. Dari kata-kata ini saya sering merenung bahwa ternyata di perguruan tinggi pun tidak jauh berbeda dengan sekolah menengah, lebih banyak mencatat dan menerima secara taken for granted. Memang ada beberapa dosen yang mengajak para mahasiswanya untuk berpikir kreatif dalam proses pembelajaran, tidak hanya mendengar secara pasif tanpa melakukan proses berpikir yang mendalam. Akan tetapi, ada pula sebagian dosen yang hanya memberikan materi kuliah, tanpa mengajak para mahasiswanya untuk ikut berpikir kreatif, mengkritisi, atau mengomentari materi tersebut.

Setelah saya perhatikan hampir satu setengah tahun ini (tiga semester), ternyata dosen yang komunikatif, yang mengajak para mahasiswa untuk terlibat aktif dalam proses pembelajaran labih banyak daripada dosen yang kurang komunikatif, yang hanya memberikan materi secara sepihak. Kalau kita analisis lebih mendalam lagi, mengapa proses pembelajaran di sebagian perguruan tinggi di Indonesia kurang membudayakan kebebasan berpikir, berbicara, berpendapat dan kritis. Ternyata hal itu lebih disebabkan oleh masing-masing individu—dalam hal ini mahasiswa—yang kurang memiliki keberanian dalam berbicara atau mengutarakan pendapatnya di hadapan dosen dan teman-temannya; atau mungkin juga disebabkan mahasiswa malas dalam melakukan proses berpikir karena sudah terbiasa dengan model pembelajaran yang hanya mendengar, menyimak, dan memperhatikan secara pasif materi yang disampaikan oleh dosen.

Kerikil-Kerikil Kecil

Wahai jiwa yang hidup
Janganlah engkau goyah oleh terpaan kerikil-kerikil
yang tiada berarti dan tak patut kau risaukan

Lihatlah manusia-manusia sekelilingmu
Ada ribuan watak dan perilaku yang tak mungkin sama sedikitpun
Semuanya adalah refleksi untuk kau ambil pelajaran darinya

Mengapakah kau harus bersedih oleh kerikil-kerikil kecil
yang jika kau pukul dengan besi
Kerikil itu akan hancur bahkan menjadi lembut


Rihan Musadik
Kumandang adzan dhuhur
Yogyakarta, 13 Februari 2012

Pentingnya Kontemplasi Berpikir

Mahasiswa, yang dewasa ini di lingkungan kampus digembar-gemborkan dengan sebutan agent of change ‘agen perubahan’, ternyata tidak sesuai dengan realita konkret di masyarakat. Sebutan agent of change dewasa ini seolah hanya sebuah istilah abstrak yang sulit—kalau enggan berkata tidak mungkin—untuk diaktualisasikan, sebutan itu hanyalah sebuah utopia belaka. Memang ada sebagian mahasisiwa yang telah banyak menginspirasi masyarakat untuk menjadi lebih maju, modern dan intelek; Akan tetapi, banyak pula mahasiswa yang aktivitas sehari-harinya hanya berangkat pulang kampus, tanpa ditambah dengan kontemplasi berpikir yang mendalam untuk menghasilkan gagasan-gagasan baru yang pada akhirnya akan menjadi sebuah paradigma baru di masyarakat untuk menggantikan paradigma lama yang terkesan jumud dan stagnan. Sehingga diharapkan akan menghasilkan suatu perubahan dalam kehidupan masyarakat kita.