Minggu, 23 November 2014

Purbalingga Bershalawat, Bersama Habib Syech

Habib Syech bin Abdul Qadir Assegaf
Lantunan shalawat kembali bergema di Purbalingga, diiringi tabuhan rebana dari majelis Ahbabul Mustofa dan pelantun khas Habib Syech bin Abdul Qadir Assegaf. Purbalingga Bershalawat. Demikian jargon beberapa baliho yang terpasang di hari-hari sebelumnya. Dimulai acara dengan sambutan Bupati Purbalingga, Bapak Sukento. Kemudian konser shalawat pun labuh dengan antusias kaum muslimin ahlus sunnah dari berbagai wilayah kabupaten Purbalingga. Ribuan orang berbaju koko, berpakaian putih, peci putih, songkok hitam, sarungan, celana panjang tumpah ruah di tanah lapang alun-alun Purbalingga. Tak kalah para muslimah ahlus sunnah, baik tua, muda, remaja, anak-anak bercampur baur di hamparan alun-alun yang kerap mendapat penghargaan adipura itu. 

Semuanya hanyut dalam kemeriahan shalawat kepada junjungan kita baginda Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam. Lagu shalawat dari Habib Syech dimulai dari Allahu Allah… diteruskan dengan tembang shalawat yang lain, hingga lantunan populer Padhang Bulan yang menambah kemeriahan para jama'ah yang hadir. Meriahnya para jama'ah diiringi tangan-tangan melambai, bendera-bendera kecil dan besar berkibar-kibar, dan ribuan lampu-lampu plastik menjadikan malam shalawat semakin berkesan.

Kamis, 20 November 2014

Pedulilah, Maka Bahagia

Seorang Muslim Harus Membantu Sesama
Membuka catatan semasa kuliah di Jogja, di awal semester tahun 2010. Ketika mengikuti motivasi dari Kang Puji Hartono, seorang motivator muslim dan pebisnis sukses. Di catatan kecilku ada hal menarik yang sempat saya catat. 

Seorang muslim hendaknya peduli terhadap orang lain, jangan egois memikirkan diri sendiri. Seorang ibu yang peduli terhadap anaknya, ia akan berusaha menyelamatkan anaknya ketika kebakaran, ia tak merasa sakit meski kejatuhan sebilah kayu di kepalanya. Seorang ibu tak akan merasakan sakit pada dirinya karena ia peduli dan cinta pada anaknya. Seorang yang peduli dan membantu sesama tidak akan merasakan sakit, kecuali jika ia hanya memikirkan dirinya sendiri. 

Seperti seorang ibu yang tidak merasa sakit karena berusaha menyelamatkan anaknya, meskipun ia tertimpa bongkahan kayu di kepalanya, kobaran api ia terjang, puing reruntuhan tak dipedulikan, demi anak yang dicintai. Akan tetapi, ia baru merasa sakit ketika mulai memikirkan dirinya sendiri, baru merasa ternyata tertimpa kayu di kepalanya.

Oleh karena itu, jangan egois, jangan hanya memikirkan diri sendiri. Pedulilah pada orang lain, bantu sesama, dan cintai mereka, niscaya anda akan bahagia. Teringat pesan Nabi, Allah akan membantu seorang hamba, selama hamba itu masih membantu sesamanya.

Satu lagi kutipan yang sempat saya catat dari beliau. Tidak ada yang bisa menyakiti kita, tidak ada yang bisa membuat kita marah, tidak ada yang bisa membuat kita tersinggung dan sakit hati, kecuali jika kita mengizinkan hal itu pada diri kita. Allahu akbar. Semoga bermanfaat.

Maka Syukurilah

Tiada yang lebih indah, selain nikmat yang Allah karuniakan kepada kita. Tiada yang lebih lezat, selain rasa syukur atas segala nikmat yang kita terima. Nikmat mendengar sering kita lupakan, sementara ada sebagian orang yang Allah takdirkan tidak bisa mendengar. Nikmat melihat kerap kita abaikan, padahal ada beberapa manusia yang Allah takdirkan tidak bisa melihat. Nikmat anggota tubuh kadang tak kita sadari, sementara sebagian orang Allah takdirkan tidak sempurna anggota tubuhnya. Ada ribuan, ratusan ribu, jutaan, milyaran, trilyunan, dan lebih dari itu nikmat Allah yang kita tidak menyadarinya, mungkin melupakan hingga lupa bersyukur.

Hanya satu atau dua sesuatu yang tidak kita miliki, lalu kita mengeluh, mengumpat. Sementara trilyunan yang kita miliki tidak disyukuri. Manusia macam apa kita ini yang lupa bersyukur atas segala karunia dan nikmat-Nya yang begitu banyak, besar, melimpah ruah. Tak salah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam pernah berujar, “Kekayaan bukanlah dengan banyaknya harta, akan tetapi kekayaan adalah kayanya hati atau jiwa”. Maka kekayaan apalagi yang bisa menandingi kekayaan hati, ialah hati yang merasa puas, ridha, syukur, dan menerima dengan lapang dada atas segala yang Allah berikan kepada kita.


Rihan Musadik
Purbalingga, 27 Muharram 1436 H

Minggu, 16 November 2014

Berpenampilan Indah dan Menarik

  1. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda, "Jika kalian mendatangi saudaramu, maka perbaguslah kedatanganmu dan perbaguslah penampilanmu. Sehingga sosokmu bisa seperti tahi lalat di tengah manusia (menjadi pemanis). Sesungguhnya Allah ta'ala tidak menyukai hal-hal yang kotor dan keji" (HR. Imam Ahmad bin Hanbal).

  2. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu‘anhu bahwa ketika Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam menjelaskan sifat sombong, ada seseorang yang bertanya, "Bagaimana dengan orang yang suka mengenakan pakaian dan sandal yang bagus?" Beliau menjawab, "Sesungguhnya Allah itu Maha Indah dan mencintai keindahan".

  3. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda, "Sesungguhnya Allah senang melihat nikmat-Nya dimanfaatkan oleh seorang hamba" (HR. Tirmidzi).

  4. Sahabat Malik bin Auf menceritakan bahwasanya Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam melihatnya mengenakan pakaian yang usang, maka beliau bertanya, "Apakah engkau memiliki harta?" Maka aku pun menjawab, "Benar Ya Rasulullah, aku memiliki banyak harta". Kemudian beliau menasihati, "Jika Allah mengaruniakan harta kepadamu, maka hendaknya terlihat tanda harta tersebut pada dirimu" (HR. Tirmidzi).

  5. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman dalam Al-Qur'an surah Al-A'raf ayat 31 dan 32. Wahai anak Adam, kenakanlah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid. Makan dan minumlah, janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. Katakanlah (wahai Muhammad), "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan siapa pula yang mengharamkan rezeki yang baik?

Rabu, 12 November 2014

Manusia Modern dan Nabi Universal

Oleh: Al-Faqir Rihan Musadik

Sekali waktu Allah berfirman dalam Al-Qur’an dengan pertanyaan retoris, yakni pertanyaan yang sebenarnya tidak memerlukan jawaban. Akan tetapi, pertanyaan yang menggelitik kesadaran kita, bahkan tidak jarang seringkali menyindir sikap hidup kita. Ada banyak sekali pertanyaan retoris yang Allah lontarkan dalam Al-Qur’an kepada manusia. Tujuannya tentu saja agar manusia berpikir kembali, merenung sejenak, kontemplasi tentang kebenaran yang telah Allah sampaikan kepada manusia, baik melalui ayat-ayat qauliyah maupun ayat-ayat kauniyah. Tidak hanya itu, retorika yang Allah ajukan itu juga merupakan media perenungan bagi manusia yang acapkali banyak melakukan kekeliruan dalam menjalani kehidupan. Sehingga dengan adanya perenungan pada sikap hidup manusia yang boleh jadi banyak terjadi penyimpangan, manusia menjadi sadar dan dapat kembali menapaki jalan yang telah Allah gariskan melalui Al-Qur’an dan petunjuk utusan-Nya.

Dalam Al-Qur’an surah An-Naba’ ayat 6 dan 7, Allah bertanya, “Bukankah Kami telah jadikan bumi sebagai hamparan? Dan gunung-gunung sebagi pasak?”. Sejenak kita merenung, bumi sebagai hamparan dan gunung sebagai pasak. Allah mempertanyakannya dengan gaya retoris, yang sudah barang tentu, pasti akan ada hikmah dan pelajaran yang bisa kita petik, selagi kita merenungi dan menghayati dengan segenap potensi yang kita miliki, baik itu akal, indera, maupun hati nurani.

Jumat, 07 November 2014

Refleksi Kematian

Kematian adalah kepastian. Mungkin ada segelintir orang yang tidak percaya adanya Tuhan, tidak percaya ada kehidupan setelah mati. Tapi satu hal yang semua orang akan sepakat, yakni adanya kematian. Semua makhluk di bumi, pasti pada saatnya akan mengalami kematian. Semua orang percaya kematian adalah suatu keniscayaan yang tak dapat dielakkan, sebab mereka membukti- kan sendiri, bagiamana orang yang dahulunya hidup, hari ini telah tiada. Orang yang hari ini masih sehat, beberapa waktu telah mangkat. Sehingga semua orang dapat dipastikan akan percaya adanya kematian. Akal sehat sangat tidak mungkin menolak kepastian akan adanya kematian bagi makhluk di bumi ini.

Pertanyaan selanjutnya untuk kita renungkan bersama, apakah kita benar-benar percaya dan yakin akan adanya kematian yang semua manusia pasti akan mengalaminya? Logika kita pasti mengatakan kematian adalah hal yang mesti terjadi, akan tetapi perbuatan kita sehari-hari seringkali menunjukkan bahwa kita tidak percaya kematian. Mengapa demikian? Mari kita cermati kehidupan sehari-hari kita. Betapa manusia disibukkan oleh pekerjaan, mencari harta, jabatan, pangkat, wanita, kehormatan, dan pujian manusia. Sementara bekal setelah kematian dilupakan, kewajiban pada Tuhan ditinggalkan, perintah-Nya diabaikan, larangan-Nya justru malah dilakukan. Apakah ini tidak mencerminkan bahwa seolah-olah kita tidak percaya kematian? Kita lupa, seolah-olah hidup di dunia ini segalanya. Seolah-olah hidup di dunia ini akan abadi sehingga hanya sibuk urusan duniawi sementara urusan akhirat dinomorduakan.

Rabu, 05 November 2014

Tiga Orang Syaikh di Masjid Madinah Jawa

Syaikh Adil bin Salim al-Kalbani dan Syaikh Ali Jabeer
Pada hari Rabu, 12 Muharram 1436 H (kalender hijriyah) yang bertepatan dengan hari Selasa, 4 November 2014 (kalender masehi), artinya masih di awal tahun baru Islam 1436 H, kabupaten Purbalingga kedatangan tiga orang Syaikh dari Saudi Arabia, yaitu Syaikh Ali Jabeer, Syaikh Adil bin Salim al-Kalbani, dan Syaikh Amir. Yang pertama, Syaikh Ali Jabeer, beliau sudah lama mukim di Indonesia, kemungkinan sejak 2008, sesuai yang beliau katakan, yaitu beliau sejak 2008 terus memperjuangkan penghafal-penghafal Al-Qur’an terus berkembang di Indonesia, membumikan Al-Qur’an, juga menyebarkan Al-Qur’an kepada tuna netra di Indonesia yang notabene merupakan negara dengan tuna netra terbanyak di dunia. Yang kedua, Syaikh Adil bin Salim al-Kalbani, beliau adalah salah seorang Imam Besar Masjidil Haram dari 12 imam yang ditugaskan menjadi imam di masjid terbesar di dunia itu. Sedangkan yang ketiga adalah Syaikh Amir, yang penulis dengar beliau adalah salah satu ajudan Imam Masjidil Haram.

Pukul 17.30 WIB, saya dan ibu berangkat ke Masjid Agung Darussalam Purbalingga untuk menghadiri majelis ketiga Syaikh yang mulia tersebut rahimahumullahu ta’ala. Sampai di sekitar lokasi, terlihat halaman masjid yang biasanya menjadi tempat untuk parkir, sekarang terpenuhi dengan jama’ah akhowat. Maka, saya pun parkir kendaraan di pinggiran jalan raya. Belum lagi adzan maghrib dikumandangkan, seisi masjid sudah hampir penuh oleh para jama’ah yang sudah hadir sedari tadi. Awalnya saya kebingungan, hendak menempatkan diri dimana, sementara terlihat ruang utama masjid penuh. Saya pun nekat memberanikan diri masuk masjid di sela-sela deret para jama’ah yang tengah duduk bershaf-shaf. Hingga adzan berkumandang, saya tetap berdiri, karena ketika semua jama’ah berdiri pasti akan banyak ruang yang kosong.

Sabtu, 01 November 2014

Jika dari Allah dan Rasul-Nya, Lakukan saja

Oleh: Al-Faqir Rihan Musadik 

Pada surah An-Naba’ ayat 2, Allah ta'ala menjawab pertanyaan atau pembicaraan publik di masa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam yang sedang menjadi trending topic ketika itu dengan jawaban, “Tentang berita yang besar”. Berita besar yang dimaksud adalah hari kiamat atau hari akhir. Topik ini sering dipertanyakan bahkan diperselisihkan karena memang kebanyakan yang mempertanyakan adalah orang-orang kafir yang sebenarnya mereka tidak mempercayainya. Allah mengatakan bahwa yang sedang mereka perselisihkan adalah “berita besar”. Hal ini karena hari kiamat adalah suatu peristiwa besar dalam sejarah kehidupan manusia yang benar-benar akan terjadi.

Pada ayat 4, Allah ta'ala menjawab dengan firmannya, “Sekali-kali tidak, kelak mereka akan mengetahui”. Ditegaskan lagi pada ayat berikutnya, “Kemudian sekali-kali tidak, kelak mereka akan mengetahui”. Seolah-olah Allah hendak menegaskan bahwa apa yang orang-orang kafir sangka, bahkan mereka tidak percaya, Allah jawab dengan tegas bahwa mereka itu salah. Sekali-kali tidak benar apa yang mereka sangka. Sekali-kali tidak benar bahwa mereka tidak mempercayai akan kedatangannya. Tunggulah waktunya, kelak mereka akan mengetahui, pada saatnya mereka akan merasakan hari berbangkit. Baik orang-orang kafir percaya ataukah tidak, mereka pada saatnya akan mengetahui dan merasakannya sendiri.

Oleh karena itu, bagi seorang muslim tidak diperkenankan untuk memperselisihkan sesuatu yang sudah jelas diterangkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Tugas seorang muslim adalah taat kepada Allah dan Rasul-Nya, sebab jika tidak, maka yang demikian itu adalah golongan kuffar dan Allah tidak menyukai orang-orang kafir itu (Ali 'Imran: 32). Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, kemudian bagi mereka ada alternatif lain tentang urusan yang mereka tetapkan itu. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh dia telah sesat dengan sesat yang nyata (Al-Ahzab: 36). Maka sudah selayaknya bagi seorang muslim berusaha sekuat tenaga untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya tanpa banyak mempertanyakan atau memperselisihkannya. 

Bukankah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam jauh-jauh hari telah memperingatkan, “Apa saja yang aku larang terhadap kalian, maka jauhilah. Dan apa saja yang aku perintahkan kepada kalian, maka kerjakanlah semampu kalian. Sesungguhnya yang membinasakan umat sebelum kalian karena mereka banyak bertanya dan menyelisihi nabi-nabi mereka (HR. Muttafaqun‘alaihi). 


Tadabbur surah An-Naba' ayat 2-5