Jumat, 28 Februari 2014

Aku Tuliskan Cintaku Padamu

Duhai cintaku
Andaikan sungai-sungai ini menjadi tinta
Tak akan habis menuliskan syair-syair cinta untukmu
Jikalau dedaunan ini lembaran kertas
Niscaya tak akan habis menuliskan puisi-puisi cinta untukmu
Lantaran masih banyak cinta lain di dalam hatiku

Bukan berarti aku tidak sepenuhnya mencintaimu
Tapi karena Sang Pemilik Cinta yang lebih layak mendapat cinta seutuhnya

Andaikan lautan ini menjadi tinta
Tentulah habis untuk menuliskan cintaku pada Allah
Jikalau hamparan bumi menjadi lembaran
Niscaya tak mencukupi untuk menuliskan puisi-puisi cinta pada Allah
Karena dalamnya cintaku pada Allah

Bukan lagi aku yang mempunyai cinta
Bukan lagi engkau yang memberi cinta
Tapi lantaran butiran-butiran cinta ini berasal dari Sang Pemilik Cinta
Aku mencintaimu karena Allah
Dan aku dicintaimu semoga karena Allah
Kita hidup dalam naungan cinta Allah


Rihan Musadik
Yogyakarta, 1 Maret 2014

Rabu, 26 Februari 2014

Demi Cintaku Padamu

Bahkan jika engkau menangis karena rindu
Aku yang jauh di sini merasakan
bahkan jika kau kesepian di sana
Aku pun kesepian

Hati kita terhubung
meski jarak memisahkan kita
bahkan jikalau orang-orang menganggapku gila
karena cintaku padamu
Aku takkan peduli
Mereka orang-orang yang tak paham urusan cinta

Biarpun gunung di depanku
Lautan di hadapanku
Padang pasir di hamparanku
kan kudaki gunung itu
kan kusebrangi lautan
kan kulalui padang pasir
Hingga mati sekalipun

itu demi cintaku padamu
demi kamu yang ingin sekali kutemui


Rihan Musadik
Yogyakarta, 26 Februari 2014

Sampaikan Pesan Cintaku

Biarlah jarak memisahkan kita
Tapi cintaku padamu takkan pernah pudar
Biarlah kita tak pernah bertemu
Tapi cintalah yang menghubungkan hati kita

Biarlah cinta dan waktu yang kan mempertemukan kita
Kukabarkan padamu kerinduan ini lewat hembusan angin
derai-derai pohon dan bunyi burung-burung
yang membawa pesan cinta

Biarlah secara fisik kita tak lagi bersua
Tapi kuyakin pesan cintaku sampai padamu
Dan biarlah Sang Pemilik Cinta yang kan mempersatukan kita
atau tidak sama sekali


Rihan Musadik
Yogyakarta, 26 Februari 2014

Kamis, 20 Februari 2014

Air Berdebu

Air bening natural dari awalnya
Bercampur debu abu kelud
Mengguyurnya pada atap-atap rumah

Air suci jadi keruh
intim dengan debu abu kelud
menjadi manunggal zatnya

yang bersih menjadi kotor
Tapi dengan segala cara daya upaya
Air bening kembali
walau tidak natural dalam kalbunya
lantaran sudah ternodai

Lalu keruh lagi berbau
Bersih lagi bening kembali
Begitu terus bersiklus


Rihan Musadik
Yogyakarta, 20 Februari 2014

Sabtu, 08 Februari 2014

Salahkah Aku?

Salahkah aku mencintaimu, duhai kasih?
“Jelas salah,” sahut orangtua itu
Kenapa? Apa salahku?
“Karena hatimu sudah salah,” jawab si Kakek
Apa maksudnya?

“Hatimu kotor, sementara hati wanita itu suci”
“Pikiranmu keruh, sementara pikiran wanita itu jernih”
“Jadi secara ruhani engkau salah mencintai orang”
“Maka pilihlah wanita yang sehati denganmu”
“Berhati kotor dan berpikiran keruh”

Aku terdiam, termenung, berpikir
Kalau itu jawabanmu, Kakek
Sungguh betapa tidak adilnya Tuhan
Bukankah harusnya aku bersama belahan hati yang suci
pikiran yang jernih
Agar aku ikut melebur ke dalam kesucian dan kejernihannya

Kalau ini jawabannya, mungkin akan lebih bijak, Kakek
Kali ini orangtua itu yang terdiam dan merenung

Tapi sejenak aku berpikir
Bagaimana kalau wanita yang kucintai
justru melebur ke dalam kekotoran dan kekeruhanku?
Saat itu, aku sangat berharap Socrates datang di hadapanku
agar bisa memberi jawaban bijak


Rihan Musadik
Ngayogyakarta Hadiningrat, 8 Februari 2014