Adipati Unus (Kesultanan Demak) menyerang Portugis di Malaka
tahun 1511 gagal, dan diulangi lagi tahun 1521. Pada tahun 1522 Portugis lari ke
Sunda Kelapa dan diserang Fadillah Khan / Faletahan / Fatahillah (Kesultanan
Demak). Sejak saat itu Portugis tidak berani lagi ke Jawa, kemudian lari ke Ternate dan Tidore (Maluku), tetapi diserang oleh Sultan Baabullah, dan lari lagi ke timur.
VOC Belanda masuk ke Nusantara tahun 1622 dan tidak
diizinkan oleh Sultan Banten, lalu disuruh masuk ke Sunda Kelapa karena
sewaktu-waktu Sultan Agung dapat menyerang Banten sebab ingin menguasai seluruh
Jawa. Dengan adanya VOC, maka kemungkinan serangan Mataram bisa terhambat. Oleh karena itulah, Sultan Agung menyerang lebih dulu VOC di Sunda Kelapa sebanyak
dua kali pada tahun 1626 – 1629. Dan keduanya gagal.
Perlawanan terhadap VOC dari Banten oleh Sultan Ageng
Tirtayasa mengalami kekalahan. Kemudian
Perang Gowa oleh Sultan Hasanudin melawan VOC, lalu terjadi Perjanjian Bongaya.
Perlawanan kaum muslimin terhadap VOC terus dilancarkan sampai Perang
Diponegoro.
VOC mulai menggunakan strategi penyebarluasan opium secara
legal untuk menghancurkan perlawanan pribumi. Hingga pada akhir abad 17 hingga awal
abad 18 kraton-kraton di Jawa sudah mengikuti gaya hidup candu (opium). Pernah
terjadi pasukan Diponegoro yang hendak berperang tidak bisa jalan alias
terhambat, karena pasokan candunya terlambat datang. Salah satunya adalah Panglima
Basha Kerto Pengalasan yang terkenal sangat ditakuti VOC. Akan tetapi, ia bukanlah
panglima yang dipercaya Pangeran Diponegoro, karena seorang pecandu opium. Hingga
akhirnya informasi ini sampai kepada VOC, maka VOC mengirim utusan untuk membujuk dan menawari
Panglima Basha Kerto Pengalasan untuk segera pensiun, dengan ditawari tinggal
di Semarang, digaji, dan dikirimi pasokan opium. Akhirnya, panglima ini
terpengaruh oleh tipu daya VOC dan mengibarkan bendera putih tanda menyerah.