Sabtu, 12 September 2015

Ringkasan Sejarah Islam Nusantara (Menelusuri Indikasi Pengaburan Sejarah Islam Nusantara)

Perlawanan Kesultanan Islam dalam Menghadapi Penjajah Kuffar

Adipati Unus (Kesultanan Demak) menyerang Portugis di Malaka tahun 1511 gagal, dan diulangi lagi tahun 1521. Pada tahun 1522 Portugis lari ke Sunda Kelapa dan diserang Fadillah Khan / Faletahan / Fatahillah (Kesultanan Demak). Sejak saat itu Portugis tidak berani lagi ke Jawa, kemudian lari ke Ternate dan Tidore (Maluku), tetapi diserang oleh Sultan Baabullah, dan lari lagi ke timur.

VOC Belanda masuk ke Nusantara tahun 1622 dan tidak diizinkan oleh Sultan Banten, lalu disuruh masuk ke Sunda Kelapa karena sewaktu-waktu Sultan Agung dapat menyerang Banten sebab ingin menguasai seluruh Jawa. Dengan adanya VOC, maka kemungkinan serangan Mataram bisa terhambat. Oleh karena itulah, Sultan Agung menyerang lebih dulu VOC di Sunda Kelapa sebanyak dua kali pada tahun 1626 – 1629. Dan keduanya gagal.

Perlawanan terhadap VOC dari Banten oleh Sultan Ageng Tirtayasa mengalami kekalahan. Kemudian Perang Gowa oleh Sultan Hasanudin melawan VOC, lalu terjadi Perjanjian Bongaya. Perlawanan kaum muslimin terhadap VOC terus dilancarkan sampai Perang Diponegoro.

VOC mulai menggunakan strategi penyebarluasan opium secara legal untuk menghancurkan perlawanan pribumi. Hingga pada akhir abad 17 hingga awal abad 18 kraton-kraton di Jawa sudah mengikuti gaya hidup candu (opium). Pernah terjadi pasukan Diponegoro yang hendak berperang tidak bisa jalan alias terhambat, karena pasokan candunya terlambat datang. Salah satunya adalah Panglima Basha Kerto Pengalasan yang terkenal sangat ditakuti VOC. Akan tetapi, ia bukanlah panglima yang dipercaya Pangeran Diponegoro, karena seorang pecandu opium. Hingga akhirnya informasi ini sampai kepada VOC, maka VOC mengirim utusan untuk membujuk dan menawari Panglima Basha Kerto Pengalasan untuk segera pensiun, dengan ditawari tinggal di Semarang, digaji, dan dikirimi pasokan opium. Akhirnya, panglima ini terpengaruh oleh tipu daya VOC dan mengibarkan bendera putih tanda menyerah. 

Perjuangan Para Ulama dan Kaum Santri

Pasca kraton lemah karena sudah dirusak tradisi dan gaya hidupnya oleh VOC, maka mulailah perlawanan dari pesantren, sebab opium tak bisa masuk pesantren.

Pasca VOC dibubarkan tahun 1799, pada tahun 1800 Belanda membentuk Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda. Dari tahun 1800 – 1900 tercatat telah terjadi perlawanan sebanyak 112 kali oleh kaum santri di pesantren yang dipimpin oleh kyai dan guru-guru tarekat. Mereka tidak mau tunduk pada Belanda karena—atau boleh jadi tidak mau diperintah oleh kaum kuffar Belanda yang zhalim karena Nusantara sudah bertradisi Islam—mewarisi struktur sosial masyarakat zaman kuno (kitab Negara Kertagama, dll). Struktur masyarakat Nusantara dibagi menjadi 7 lapisan golongan (kasta):
  1. Brahmana, para petapa (bijak bestari, brahmana, syaikh) yang hidupnya tidak tergantung oleh kemewahan dunia dan lebih mementingkan kehidupan rohani
  2. Ksatriya, para abdi negara yang hidupnya tidak boleh untuk keuntungan pribadi, tetapi hidupnya dijamin negara
  3. Waisya, para petani, tuan tanah, peternak
  4. Sudra, para saudagar atau orang yang meminjamkan harta dengan bunga
  5. Chandala, orang yang hidup dari membunuh makhluk lain, seperti para penjagal, pemburu, algojo negara
  6. Mreca, semua orang asing yang bukan pribumi, mereka harus jadi pelayan, tidak boleh jadi juragan
  7. Pucak, orang yang hidupnya meresahkan orang lain, seperti para penipu, preman, begal, rampok.
Maka yang boleh memegang peranan penting di negara atau pemerintahan adalah para keturunan brahmana ataupun ksatriya.

Peran Dakwah Wali Songo

Fakta sejarah menunjukkan bahwa Islam selama 800 tahun tidak dianut secara masal di Nusantara, karena sudah ada peradaban dan struktur masyarakat yang jelas. Jika ada teori yang mengatakan bahwa Islam dibawa oleh para saudagar, jelas tidak mungkin, karena mereka adalah golongan sudra/mreca, dan masyarakat tidak mau menerima agama dari golongan sudra/mreca. Barulah pada era Wali Songo dakwah Islam mulai menyebar secara masal dan mengganti tradisi Hindu-Budha dan Kapitayan menjadi tradisi Islam Nusantara dalam waktu kurang dari 50 tahun. Sebab, di samping dakwah secara kultural, para wali menduduki posisi sebagai golongan brahmana dalam struktur masyarakat Nusantara (Jawa) yang menjadi panutan banyak orang. 

Upaya Kolonial Belanda dalam Mengaburkan dan Merusak Sejarah Islam Nusantara
 
Belanda sulit memecah belah Islam khususnya di Jawa, salah satunya karena pengaruh pesantren dan pengikut Diponegoro (banyak yang mendirikan pesantren) begitu kuat menolak untuk tunduk pada Belanda, maka mulailah disusun strategi perusakan pemikiran atau intelektual, yakni dengan dibuatnya cerita-cerita hegemonik (fiktif) versi Belanda.

Sekitar dua tahun setelah Perang Diponegoro, yakni tahun 1832, disusun Babad Kediri yang terbit pada 1850 ditulis oleh Mas Ngabehi Purbowijoyo, seorang jaksa Kolonial Belanda yang mendapat perintah dari atasan. Dia mengaku mendatangi dalang wayang, lalu diberitahu informasi sejarah yang sumbernya adalah jin, melalui seorang mediator. Dari narasumber seorang mediator jin inilah Babad Kediri ditulis. Ternyata isinya menjelek-jelekan Islam, para ulama, Wali Songo, dsb. Babad ini terbit tahun 1850. Dan ini adalah bikinan Belanda yang sumbernya adalah jin.

Tahun 1850, seorang misionaris bernama Ki Tunggul Wulung yang nama aslinya Abdullah, berasal dari Pati. Karena saking melaratnya masuk Kristen dan belajar Kristen dengan seorang pastur Belanda. Lalu ia pindah ke Kediri untuk misi Kristenisasi, di sana ia membaca Babad Kediri, kemudian mengambil sebagian dari isi Babad Kediri yang mendiskreditkan Islam dan para wali atau sunan-sunan. Akhirnya, ia menyusunnya menjadi sebuah tembang, dan tembang ini yang disebut Serat Dharmo Gandul. Setelah itu ditulis lagi Suluk Gatholoco. Isinya sangat mendiskreditkan Islam.

Belanda kemudian membikin Kronik Sam Po Kong, yang katanya dalam sebuah penggerebekan di Klenteng Sam Po Kong di Semarang, ditemukan naskah lima cikar Residen Hoffman. Kronik ini menceritakan bahwa Wali Songo itu adalah orang-orang Cina—nama-nama para wali/sunan ditulis dengan nama Cina—yang dikirim Kaisar Cina untuk menghancurkan Kerajaan Majapahit.

Sejarawan Agus Sunyoto mengatakan bahwa ada informasi naskah kronik ini disimpan di Museum Resbek di Den Haag. Ternyata bohong semua. Residen Hoffman itu tidak ada. Dicek di arsip nasional juga tidak ada. Dari kronik ini lahirlah tulisan dari orang Katholik. Lalu dimunculkan juga Serat Damar Sasongko oleh orang Budha yang sangat mendiskreditkan Islam. Naskah-naskah ini pada dasarnya adalah buatan Belanda untuk menurunkan citra Islam di Nusantara.

Tahun 1860 Belanda mengeluarkan Kronik Kidung Sunda menceritakan Perang Bubat yang seolah-olah Mahapatih Gajah Mada membunuh raja dan putrinya. Di naskah Majapahit manapun tidak ditemukan adanya peristiwa ini. Di naskah-naskah Sunda juga tidak ditemukan. Satu-satunya cerita Perang Bubat ada di Kidung Sunda, tidak ditemukan dalam prasasti, arca, candi, naskah, dll. Ini adalah strategi Belanda memecah belah antara suku Jawa dan Sunda.

Belakangan muncul kitab untuk mendukung Kidung Sunda, sebuah kitab yang disebut Serat Pararaton untuk mendiskreditkan raja-raja Majapahit. Sebab, pengikut Diponegoro orang-orang Kesultanan Mataram selalu membanggakan sebagai keturunan raja-raja Majapahit (Raden Wjiaya, Gajah Mada, Hayam Wuruk), maka dibuatlah Serat Pararaton dan disebarkan oleh Belanda tahun 1920. Isinya hanya ingin menunujukkan nenek moyang orang Majapahit yang bernama Ken Arok adalah anak haram, penjahat, orang yang licik, kejam, dll. Padahal namanya tidak ada di prasasti. Nama ini adalah bikinan dan cerita-ceritanya adalah fiktif

Ada yang mengatakan serat ini ditulis tahun 1535 tahun Jawa yang sama dengan tahun 1613 Masehi pada masa awal Sultan Agung. Ternyata para pujangga kraton juga tidak ada yang tahu tentang serat ini, baik Kraton Mataram Jogja maupun Kraton Pakualaman Solo. Belanda-lah yang menerbitkan Serat Pararaton tahun 1920 untuk menunjukkan leluhur raja-raja Jawa adalah brengsek seperti Ken Arok. Makanya, di Sunda (Jawa Barat) tidak ada jalan Hayam Wuruk, Gajah Mada; karena terhegemoni Belanda. Ada lagi dimunculkan tokoh Sabdo Palon Noyogedro. Semua ini adalah naskah-naskah buatan Kolonial Belanda yang semuanya tidak ada di Babad Tanah Jawi.

Oleh karena itu, sumber data sejarah harus jelas seperti hadits, harus jelas mata rantai sanadnya, shahih atau dha'if. Oleh karena itu, kita harus mempunyai pandangan baru untuk melihat sejarah.

Hegemoni Kolonial Belanda Terhadap Pendidikan di Nusantara 
 
Padepokan adalah lembaga pendidikan paling kuno di Nusantara, yakni tempat belajarnya orang-orang yang belajar agama Kapitayan yang oleh sarjana Belanda disebut agama Animisme-Dinamisme. Pada zaman Hindu ada sistem asrama, dukuh, peguron, dan baru muncul pesantren pada zaman Islam. Yang semua pendidikan  ini terhapus oleh hegemoni Belanda, dan kita sampai hari ini memaknai yang disebut pendidikan adalah sekolah. Orang yang tidak sekolah, maka tidak berpendidikan. Begitulah kita terhegemoni oleh Kolonial Belanda.  

Pada 1 Mei 1848, Belanda mengeluarkan aturan UU Kependudukan yang isinya bahwa Belanda (Eropa kulit putih) menjadi warga kelas satu; warga timur asing (Cina, Arab, India) menjadi warga kelas dua; dan warga inlander alias pribumi menjadi warga kelas tiga. Pengadilannya pun dibeda-bedakan.

Ketika ide Politik Etis dijalankan itulah penaklukan luar biasa terhadap umat Islam di Indonesia. Tahun 1800 – 1900 banyak terjadi pemberontakan, ada sekitar 112 kali pemberontakan terhadap pemerintah Kolonial Hindia-Belanda. Lalu pada 1901 diadakan politik etis (politik balas budi untuk kepentingan Belanda), mulai disebarkan sekolah-sekolah yang warga pribumi boleh mengenyam pendidikan/sekolah. 

Di sinilah mulai terjadi penurunan frekuensi perlawanan dari pesantren, karena dari orang yang dididik di sekolah mulai muncul fenomena “Islam Modern” didikan Belanda yang menggugat “Islam Nusantara” sebagai “Islam Primitif” dengan anggapan amaliyah-amaliyahnya mengandung penyakit TBC (Takhayul, Bid’ah, Churofat). Di situlah pesantren bingung mempertahankan tradisi dan ajarannya, yang akhirnya perlawanan terhadap Belanda menurun. 

Hingga akhirnya pada tahun 1926 ulama-ulama sunni membentuk organisasi ahlus sunnah wal jama’ah untuk meng-counter dari serangan-serangan Islam modern. Islam di Nusantara merupakan kelanjutan dari ajaran Islam hasil asimilasi terhadap peradaban kuno di Nusantara yang dibawa para ulama sunni. Bukan Islam yang digambarkan oleh versi Kolonial Belanda.

Kerajaan-Kerajaan di Nusantara

Ptolomeus yang hidup tahun 120 Masehi, mencatat ada kerajaan Salaka Negara di daerah Sunda. Selain itu, Cerita-cerita kuno pada zaman dahulu menyebutkan bahwa di Jawa ada legenda Raja Dewata Cengkar. Lepas ada ataukah tidak kerajaan ini, akan tetapi menandai lahirnya kalender Jawa yang lahir pada tahun 78 Masehi, sekarang usia kalender Jawa 1948.

Membaca bahasa tanpa tahu makna bahasa pada zaman itu mesti keliru. Dalam bahasa Jawa kuno “Ken Arok” yang artinya tukang berkelahi. Ini adalah buatan Kolonial Belanda.

Raden Wijaya (pendiri Kerajaan Majapahit) adalah orang Sunda, makanya nama-nama raja pada awal Majapahit adalah nama-nama Sunda. Jadi, tidak mungkin Gajah Mada menyerang Sunda (dalam cerita Perang Bubat), karena itu adalah keluarganya.

Dalam prasasti Mataram ada nama Rakay Mataram Ratu Sanjaya, beliau ini raja Sunda yang kawin dengan putri Mataram dan mempunyai keturunan raja-raja Jawa (Kediri, Singosari, Majapahit). Jadi, saya (Agus Sunyoto) malah tidak menemukan raja-raja Jawa yang katanya keturunan Dewata Cengkar.

Strategi Mohammad Hatta dalam Melemahkan Islam

Soekarno adalah kader Sarekat Islam; ideologi dan misi keislamannya kuat. Makanya saat perumusan Pancasila, tujuh kata itu ada (Piagam Jakarta). Bung Hatta yang menolaknya, tapi Bung Karno tidak mau menyerah, yang dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ditetapkan lagi bahwa Pancasila harus memuat tujuh kata itu. Juga penetapan syarat presiden Indonesia, harus orang Indonesia asli dan beragama Islam. Syarat agama Islam dicoret yang merupakan usulan Bung Hatta.

Bahkan, ketika Bung Hatta berkuasa tahun 1948 ketika menjadi Perdana Menteri, beliau membuat Restrukturisasi dan Rasionalisasi TNI (RERA). 

Tentara Nasional Indonesia pada saat itu terbentuk dari lima unsur: PETA (tentara sukarela pembela tanah air), HIZBULLAH, HEIHO (orang pribumi yang jadi tentara Jepang), UNSUR MASYARAKAT (seperti Bung Tomo, dll.), UNSUR KNIL (bekas tentara Belanda). Akan tetapi, yang kuat dan mendominasi adalah PETA (didirikan tahun 1943) dan HIZBULLAH (didirikan tahun 1944). Dari 65 batalion PETA (satu batalion terdiri dari 700 orang), semua komandannya adalah muslim. Jepang tidak mau mengangkat komandan non-muslim karena dianggap sekutunya Belanda. Dari 65 batalion ini, 20 batalion komandannya adalah kyai. Sementara tentara KNIL tidak terlibat dalam perjuangan (resolusi jihad, 10 November, dsb).

Barulah ketika Mohammad Hatta berkuasa tahun 1948 menjadi Perdana Menteri, dibuatlah RERA Militer, bahwa militer boleh diakui secara nasional kalau bisa menunjukan bukti ijazah sekolah. Maka, kyai-kyai yang menjadi komandan di PETA dan HIZBULLAH diturunkan pangkatnya, sebab dari pesantren tidak punya ijazah sekolah. Pada tahun 1948 inilah komandan batalion (PETA, HIZBULLAH) ganti semua. Jabatan-jabatan kosong komandan batalion ini kemudian diisi oleh orang-orang KNIL (bekas tentara Belanda). 

Yang ternyata tentara-tentara KNIL tidak setia terhadap NKRI. Pada pemberontakan PKI, tokoh-tokoh komandan lapangannya itu orang KNIL semua, pemberontakan PRRI orang KNIL semua. Dan puncaknya tahun 1965, bahwa semua yang dari unsur PETA, HIZBULLAH (yang ada kaitannya dengan didikan Jepang) ditiadakan. Seolah-olah umat Islam Indonesia tidak punya peran dalam pembentukan TNI. 

Maka dari itu, kita harus mulai membongkar fakta sejarah dan mempunyai pandangan baru. Karena diduga kuat ada kepentingan tertentu dalam penulisan sejarah yang dibuat oleh Kolonial Belanda dan antek-anteknya untuk mengaburkan fakta sejarah perjuangan umat Islam, serta untuk memadamkan “Api Islam” di Nusantara.
  


** Materi disampaikan oleh Agus Sunyoto (Sejarawan Islam, Penulis buku “Atlas Wali Songo”, PP Lesbumi NU) dalam Seminar Nasional “Menelusuri Indikasi Pengaburan Sejarah Islam Nusantara” yang diadakan oleh UIN Syarif Hidayatullah bekerjasama dengan Padepokan Sunan Kalijaga (https://www.youtube.com/watch?v=OSms8QhngcA). Ditulis dengan sedikit penambahan dan pengurangan tanpa mengurangi esensi materi.

3 komentar:

  1. Koreksi sedikit, bukan KENIR tapi mungkin maksudnya adalah KNIL bentukan belanda.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih tuan, sudah sudi mengoreksi tulisan di atas. Sudah saya perbetulkan.

      Hapus
  2. tulisan yang makin menggugah keingintahuan tentang fakta-fakta sejarah Islam di Indonesia. ditunggu tulisan berikutnya.. jazaakallah khoiran katsiran

    BalasHapus