Hidup kaya dan miskin (harta duniawi) adalah ketetapan Allah
kepada para hambanya, ada orang yang ditakdirkan hidup miskin dan ada pula yang
ditakdirkan jadi orang kaya. Kaya dan miskin dalam urusan duniawi, kedua-duanya
tidak ada unsur cela dan hina. Baik si kaya atau si miskin bisa menjadikan
orang mulia, pun bisa menjadi orang hina. Pendeknya, kaya dan miskin adalah
bagian dari takdir Allah.
Selama ini kita mengenal takdir baik dan takdir buruk.
Banyak orang beranggapan bahwa kaya adalah takdir baik dan miskin adalah takdir
buruk. Padahal sesungguhnya, konsep takdir baik dan takdir buruk hanyalah sudut
pandang bagi seorang hamba yang—katakanlah—kurang tepat. Kita menganggap sebuah
takdir adalah baik atau buruk hanya perspektif kita semata. Padahal belum tentu
apa yang kita anggap sebagai takdir buruk adalah sebuh keburukan bagi kita.
Semua takdir bagi seorang mukmin adalah baik. Rasulullah
menjelaskan bahwa Allah tidak menetapkan takdir bagi seorang mukmin, melainkan
pasti baik baginya (HR. Imam Ahmad). Jadi, baik hidup miskin ataupun kaya dalam
urusan harta, bagi seorang mukmin kedua-duanya adalah takdir baik. Jika kita
sering mendengar bahwa rukun iman yang keenam adalah beriman kepada takdir baik
dan takdir buruk, maka yang dimaksud dengan takdir baik dan takdir buruk adalah dalam
perspektif manusiawi. Pada hakikatnya segala sesuatu yang Allah takdirkan bagi
hambanya yang beriman adalah baik.
Terdapat sebuah hadits yang cukup terkenal, mengatakan bahwa
kefakiran hampir-hampir mendekatkan seseorang kepada kekufuran. Menurut Ustadz
Ammi Nur Baits, sanad hadits ini maudhu’ alias palsu. Di samping itu, secara
makna juga bertentangan atau tidak sesuai dengan ajaran Islam, karena dalam
Islam kemuliaan seseorang bukan diukur dari kefakiran ataupun kekayaan, tetapi
dari ketakwaannya. Jadi, hadits ini tidak bisa diterima, baik secara riwayat
ataupun makna.
- Manusia yang dikaruniai harta dan ilmu. Kemudian ia
bertakwa dan menggunakannya untuk kebaikan, maka orang yang seperti ini akan
mendapat kemuliaan dunia dan akhirat.
- Manusia yang dikaruniai ilmu, tapi tidak diberi kelebihan
harta. Akan tetapi, ia berniat dalam hati seandainya memiliki harta akan
digunakan untuk kebaikan. Orang yang seperti ini akan memperoleh pahala dan
kedudukan seperti golongan yang pertama.
- Manusia yang dikaruniai harta, tapi tidak diberi ilmu. Kemudian ia membelanjakan hartanya sesuai hawa nafsunya tanpa dasar ilmu, serta
tidak menggunakannya untuk kebaikan. Dan
ia pun tidak bertakwa kepada Allah, maka orang yang seperti ini berada pada
kedudukan yang rendah.
- Manusia yang tidak dikarunia harta dan ilmu. Kemudian ia berkata dalam hatinya, “Seandainya aku memiliki harta, niscaya aku akan menggunakannya seperti si fulan (golongan ketiga) untuk kesenangan dan hura-hura. Orang yang seperti ini akan memperoleh kedudukan rendah seperti golongan yang ketiga.
Hasad adalah tidak
rela orang lain mendapat suatu nikmat dan menginginkan/membayangkan nikmat yang
ada pada orang lain tersebut hilang. Ghittoh
adalah menginginkan nikmat seperti yang ada pada orang lain, sehingga
membuatnya terpacu agar memperoleh hal yang sama. Akan tetapi, ia tidak
menginginkan nikmat yang ada pada orang lain tersebut hilang atau lenyap.
Salah satu hal yang menjadi penyebab beban batin pada diri
manusia ialah karena adanya perasaan benci, iri, ataupun dengki. Andaikan
penyakit-penyakit hati seperti rasa iri, dengki, dan benci tidak terdapat dalam
hati manusia, niscaya manusia akan selalu merasa bahagia. Bahkan, Imam Ibnu
Qayyim Al-Jauzi mengatakan bahwa penduduk surga belum bisa merasakan nikmatnya
surga, kecuali setelah dicabut penyakit-penyakit hati seperti hasad, iri,
dengki, benci, dan sebagainya.
Ustadz Ammi Nur Baits menjelaskan, perasaan hasad biasanya
muncul karena adanya kesamaan dalam berbagai aspek atau bidang tertentu, entah
dalam bidang pekerjaan, agama, aktivitas, dan seterusnya. Seorang tukang becak
akan saling hasad dengan sesama tukang becak, seorang pedagang buah akan saling
iri dengan sesama pedagang buah, aparat polisi dengan aparat TNI, seorang
pendakwah saling hasad dengan sesama pendakwah, orang Islam dengan sesama orang
Islam, aktivis muslim dengan sesama aktivis muslim, dan lain sebagainya.
Kalau tidak ada kesamaan aspek atau bidang, biasanya hampir
tidak ada perasaan hasad. Seorang muslim hampir tidak ada rasa hasad dengan
orang kafir, sebab—barangkali—dalam pikirannya sehebat apapun ia, toh ia tetap
saja orang kafir yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Seorang
pedagang hampir tidak mungkin merasa iri dengan tukang becak, dan seterusnya.
Di samping karena hati kita yang sakit, perasaan hasad juga
disebabkan karena setan ikut berkecimpung di dalamnya. Setan akan selalu
berusaha merusak hati kita dan menimbulkan permusuhan antara manusia, apalagi
sesama muslim. Jadi, kita perlu berwaspada dan membersihkan penyakit-penyakit
hati semacam hasad.
Perasaan iri, benci, atau hasad harus terus-menerus dilawan,
salah satu solusinya ialah dengan cara mendoakan kebaikan pada orang yang
dibenci tersebut. Para ulama dahulu, tatkala muncul perasaan benci atau hasad,
maka bersegera untuk mendoakan orang yang dibenci tersebut agar mendapatkan
kebaikan, bukan malah mendoakan keburukan karena dilarang dalam agama. Hal ini
dilakukan untuk melawan sekaligus membersihkan hatinya dari perasaan benci.
Kalaupun mendoakan kebaikan bagi orang yang kita benci
terasa berat, maka ada sebuah doa yang diajarkan oleh Imam Husain seperti yang
disampaikan oleh Ustadz Ammi Nur Baits. Tujuannya tidak lain adalah untuk
melawan rasa hasad yang timbul dalam hati, yakni dengan cara mendoakan agar
nikmat orang yang kita merasa iri dengannya semakin bertambah dan berkah. Contoh
doa dari Imam Husain adalah demikian, “Ya Allah, tambahkan kebaikan baginya,
tambahkan rezekinya, jadikanlah ia semakin kaya, makmur, dan sejahtera. Dan
berikanlah kepada hamba yang lebih baik darinya”.
Definisi Fitnah
Kata “fitnah” dalam konteks Al-Qur’an dan Hadits tidak pernah diartikan dengan kata “menuduh” seperti yang ada dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Indonesia, kata “fitnah” diartikan dengan kata “menuduh”. Sehingga jika ada orang yang menuduh orang lain melakukan perbuatan jahat, maka dikatakan telah memfitnah.
Lebih parah lagi, menggunakan dalil ayat wal fitnatu asyaddu minal qatl (fitnah
itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan) untuk kasus tuduhan, tentu saja
tidak tepat. Padahal ayat yang tepat untuk kasus tuduhan adalah subhanaka hadza buhtanun ‘azhim (An-Nur:
16), yang artinya Maha Suci Engkau, ini adalah dusta yang besar. Jadi, yang
lebih tepat untuk kata menuduh adalah “buhtan” bukan “fitnah”.
Kata “fitnah” dalam konteks Islam maksudnya adalah cobaan,
ujian, godaan, atau sesuatu yang menghambat/menghalangi kebaikan.
Sumber Fitnah
Semua lingkungan yang kita diami bisa menjadi sumber fitnah,
dan solusi bagi seorang muslim untuk menghadapi fitnah adalah dengan sabar.
Masing-masing umat mempunyai fitnah, contoh: fitnah kaum ‘Ad adalah tubuh yang
kekar, kaum Tsamud dengan keahlian bangunannya, bani Israil dengan fitnah
wanita, dan fitnah umat Islam adalah harta dunia alias kekayaan, wanita, dan
dajjal.
Rasulullah menegaskan bahwa setiap umat memiliki fitnah, dan
fitnah umatku adalah harta. Dalam hadits lain, Sayyidina Muhammad bersabda,
“Sungguh, bukanlah kefakiran yang aku takutkan dari kalian. Akan tetapi, yang
aku takutkan dari kalian adalah ketika dunia dibentangkan, kemudian kalian
saling berebut hingga membinasakan kalian seperti orang-orang sebelum kalian
(HR. Imam Bukhari).
Rasulullah juga mengatakan, “Sungguh, aku tidak
mengkhawatirkan kalian akan berbuat syirik sepeninggalku, namun yang aku khawatirkan
adalah kalian bersaing memperebutkan harta-harta dunia (HR. Imam Bukhari). Beliau
juga memperingatkan, “Aku tidak meninggalkan satu fitnah yang lebih
membahayakan para lelaki selain fitnah wanita” (HR. Imam Bukhari).
Bahagia itu Sederhana
Nabi seluruh umat manusia bersabda, “Barangsiapa yang dikaruniai sehat pada pagi hari, aman di tempat tinggalnya, dan punya cukup makanan untuk hari itu; maka seolah-olah ia telah mendapatkan dunia dan segala isinya (HR. Tirmidzi).
Nabiyullah Muhammad menjelaskan bahwa kebahagiaan itu ada empat, yakni: istri yang salehah, tempat tinggal yang luas, tetangga yang baik, dan kendaraan yang nyaman. Sedangkan kesengsaraan itu ada empat, yakni: istri yang buruk, tetangga yang buruk, rumah yang sempit, dan kendaraan yang buruk (HR. Imam Ibnu Hibban).
Hakikat kebahagiaan adalah qana’ah, yakni merasa cukup dan ridha atas segala yang Allah karuniakan. Imam Syafi’i pernah berujar, “Kalau engkau qana’ah dengan harta, niscaya tidak ada bedanya antara engkau dengan raja-raja dunia”.
Kanjeng Nabi juga mengatakan bahwa kekayaan yang sebenarnya bukan dengan banyaknya harta, akan tetapi dengan kaya hati. Maksudnya, merasa cukup dan ridha atas segala pemberian Allah. Lebih lanjut, beliau Allahumma shalli ‘ala sayyidina muhammad menegaskan bahwa muslim yang berbahagia ialah yang merasa cukup dalam urusan harta dan ridha atas segala ketetapan Allah.
Ustadz Ammi Nur Baits menjelaskan bahwa sebenarnya inti dari fakir adalah hajat atau kebutuhan. Semakin banyak hajat seseorang, maka sebenarnya ia semakin fakir. Sebaliknya, inti dari kaya adalah merasa cukup alias qana’ah. Semakin ia merasa cukup terhadap harta, maka sesungguhnya ia semakin kaya.
Begitu simpelnya hidup bahagia, maka tak salah jika ada hadits yang mengatakan, “Terimalah dengan penuh keridhaan apa yang Allah berikan kepadamu, niscaya engkau akan menjadi orang yang paling kaya” (Al-Hadits).
Ujian Hidup
Dalam menjalani kehidupan di dunia, manusia tidak bisa lepas dari yang namanya ujian. Hidup di dunia adalah sesuatu yang melelahkan. Bahagia memang bisa diraih, tapi adakalanya seseorang pasti akan merasakan kesusahan. Entah bagaimana, pasti ada saja yang membuat kita susah, lelah, khawatir, dan keluh kesah. Begitulah hidup di dunia, penuh dengan ujian-ujian. Allah sendiri menegaskan bahwa sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah (Al-Ma’arij: 19).
Sesuatu yang melelahkan dalam hidup, ada yang bersifat lahir
dan ada yang bersifat batin. Lelah yang bersifat lahir adalah tubuh jasmani
atau fisik kita, entah karena pekerjaan, menunaikan kewajiban, atau bahkan
mengambil hak. Sedangkan lelah secara batin, yakni kita merasa bosan, jenuh, capek,
suntuk, pesimis, marah, emosi, dan sebagainya. Pendeknya, tidak ada orang yang
tidak lelah dalam menjalani hidup, semuanya pasti akan mengalami lelah.
Allah memberikan berbagai macam musibah dan ujian, salah
satu tujuannya agar manusia tidak merasa betah atau kerasan tinggal di dunia,
karena memang hidup di dunia hanya sementara dan sangatlah singkat. Allah berfirman bahwa kehidupan dunia tidak lain hanyalah
kesenangan yang memperdayakan (Ali ‘Imran: 185).
Imam Hasan Al-Bashri pernah menasihati Khalifah Umar bin
Abdul Aziz, bahwa manusia hidup di dunia hanya sebentar. Nasihat Imam Hasan
Al-Bashri ini sesuai dengan sabda Nabi, bahwa hidup di dunia ini diibaratkan
dengan seorang musafir yang sedang melakukan perjalanan jauh di terik panas
matahari, kemudian ia berteduh di bawah pohon, setelah panas matahari hilang,
maka ia pun melanjutkan perjalanannya. Oleh karena itu, kita perlu
mempersiapkan diri untuk mengahadapi perjalanan yang masih panjang.
Wahai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa
yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (Al-Hasyr:
18).
Semakin besar tingkat keimanan seseorang, maka semakin besar
pula ujian yang akan diterima. Semakin rendah tingkat keimanan seseorang, maka
ujian yang akan diterima juga kecil. Apabila Allah mencintai seorang hamba,
maka Allah akan memberikan ujian kepadanya agar Allah ta’ala mendengar permohonannya (HR. Imam Baihaqi).
Allah juga berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 214 yang
artinya:
Taatilah Allah Sepenuh Hati
Sebagai seorang muslim, kita harus senantiasa tunduk dan patuh kepada perintah Allah serta menjauhi semua larangan Allah. Mufti Ismail ibn Musa Menk mengatakan bahwa Islam mempunyai dua makna, yaitu ketundukan dan kedamaian. Artinya, jika kita tunduk pada aturan Allah, maka otomatis kita akan memperoleh kedamaian.
Akan tetapi, yang menjadi problem adalah ketika kita tidak sepenuh hati dalam menjalani ketaatan kepada Allah. Kita taat kepada Allah kalau itu menguntungkan nafsu kita, sedang yang tidak sesuai dengan selera dan tidak membawa keuntungan, dengan serta merta ditinggalkannya. Hal ini mengindikasikan bahwa hati kita belum sepenuhnya terbuka dalam menjalani ketaatan kepada Allah. Ustadz Ammi Nur Baits menjelaskan bahwa orang-orang yang semacam ini adalah orang-orang yang beribadah kepada Allah di pinggiran, belum masuk ke “Rumah Allah”.
Dahulu ada beberapa orang Arab-Badui yang ingin menyatakan diri masuk Islam di hadapan Nabi. Akan tetapi, motivasinya bukan karena mengikuti kebenaran, melainkan karena semata-mata ingin memperoleh banyak harta dari hasil ghanimah (rampasan perang) maupun fai (tanpa perang) dengan menjadi pasukan Islam. Orang-orang yang menjalani ketaatan seperti ini adalah model manusia yang hidupnya rugi dunia dan akhirat.
Kesejahteraan itu Perlu
Islam adalah agama yang sangat memperhatikan kesejahteraan
umatnya. Islam tidak membiarkan ketidakadilan hidup di tengah-tengah
masyarakat. Antara si kaya dan si miskin harus ada keadilan, tidak boleh ada
kesenjangan atau kecemburuan yang bisa menimbulkan konflik sosial. Oleh karena
itulah, dalam Al-Qur’an disebutkan supaya
harta itu jangan beredar di antara orang-orang yang kaya saja di antara kamu
(Al-Hasyr: 7).
Beberapa konsep Islam untuk kesejahteraan umatnya antara
lain: zakat, infak, sedekah, qurban, aqiqah, membayar denda atau kafarat
(memberi makan orang miskin, memerdekakan budak, dll), pembagian ghanimah, fai,
dan sebagainya. Apabila salah satu konsep di atas diberdayakan dengan baik,
semisal zakat dan sedekah, Insya Allah kesejahteraan umat akan semakin merata.
Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah mengapa banyak di
antara kaum muslimin yang masih hidup miskin di bawah standar kesejahteraan.
Sebenarnya dalam Islam, kaya dan miskin tidak terlalu penting untuk
dipermasahkan, karena ini berkaitan dengan takdir Allah dan sunnatullah.
Semenjak Nabi Adam hingga akhir zaman, kaya dan miskin akan selalu beriringan.
Ibarat dua sisi mata uang, keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Ada
orang kaya pasti ada orang miskin. Dan yang terpenting kedua-duanya bisa
menjadi orang mulia di mata Allah.
Akan tetapi, yang terkadang mengusik kita ialah ketika
beberapa umat Islam yang lemah imannya, rela menjual agamanya demi urusan
duniawi. Tentu saja ia rela mengganti agamanya karena persoalan himpitan
ekonomi dan kesejahteraan hidup yang kurang. Sehingga ketika para misionaris
menawari “satu kardus mi instant” dengan syarat ikut agamanya, maka ia pun tergiur,
dan dengan serta merta menerimanya. Lalu kita pun menyalahkan para misionaris
yang melakukan kristenisasi itu dengan mengatakan licik, tidak fair, dan
seterusnya.
Siapa yang harus kita salahkan? Para misionaris ataukah
orang-orang miskin yang lemah imannya? Apakah kita harus menyalahkan dan hanya
terus bisa menyalahkan mereka? Kalau umat Islam yang fakir dan miskin itu bukan
kita yang menyantuninya, maka jangan salahkan mereka ketika mereka pindah agama
Krsiten ketika ditawari sejumlah fasilitas dan kesejahteraan hidup.
Mungkin dalam pikiran mereka (umat Islam yang lemah imannya dan terbatas ilmunya), agama Kristen lebih peduli orang-orang lemah dan lebih menjanjikan kesejahteraan daripada agama Islam, makanya mereka tergiur untuk masuk agama Kristen. Bagaimana dengan kita wahai kaum muslimin yang diberi kecukupan? Bantulah mereka yang miskin, pedulilah nasib mereka, berdayakan mereka, nasihatilah untuk bersabar, bantu mereka memperkuat iman dengan mengajaknya untuk selalu hadir di majelis ilmu.
*Diambil dari catatan tabligh akbar "Juragan Dunia Akhirat" yang disampaikan oleh Ustadz Ammi Nur Baits hafizhahullah, dilaksanakan pada Sabtu lepas maghrib, 24 Oktober 2015 / 11 Muharram 1437 H di Masjid Agung Darussalam Purbalingga. Ditulis dengan beberapa penambahan dari catatan aslinya.
By Rihan Musadik
Mungkin dalam pikiran mereka (umat Islam yang lemah imannya dan terbatas ilmunya), agama Kristen lebih peduli orang-orang lemah dan lebih menjanjikan kesejahteraan daripada agama Islam, makanya mereka tergiur untuk masuk agama Kristen. Bagaimana dengan kita wahai kaum muslimin yang diberi kecukupan? Bantulah mereka yang miskin, pedulilah nasib mereka, berdayakan mereka, nasihatilah untuk bersabar, bantu mereka memperkuat iman dengan mengajaknya untuk selalu hadir di majelis ilmu.
*Diambil dari catatan tabligh akbar "Juragan Dunia Akhirat" yang disampaikan oleh Ustadz Ammi Nur Baits hafizhahullah, dilaksanakan pada Sabtu lepas maghrib, 24 Oktober 2015 / 11 Muharram 1437 H di Masjid Agung Darussalam Purbalingga. Ditulis dengan beberapa penambahan dari catatan aslinya.
By Rihan Musadik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar