Kamis, 05 Maret 2015

Perlindungan Hanya dari Allah

Oleh: Rihan Musadik

Allah mengajarkan dalam Al-Qur’an surah An-Naas bahwa Dialah Tuhan seluruh manusia sejak Nabi Adam hingga manusia terakhir di muka bumi. Apapun agamanya, sukunya, budayanya, bangsanya, yang jelas semua manusia adalah makhluk ciptaan Allah. Dialah Tuhan Manusia, Penguasa manusia, dan satu-satunya sesembahan manusia yang haq. Sebagian kalangan liberal mengatakan bahwa Allah adalah Tuhan segala agama. Secara umum pernyataan ini memang benar, karena seandainya seluruh manusia berada dalam kekafiran, membuat agama-agama baru, berbuat syirik, dan menyimpang dari agama-Nya yang lurus, maka Dialah Allah yang tetap Tuhan segala manusia, tak berubah barang sedikitpun dari sifat ketuhanan-Nya. Hanya saja Allah mengabarkan dalam Al-Qur’an bahwa agama yang diridhai-Nya hanyalah Islam, akan merugi orang-orang yang tidak mengambil Islam sebagai jalan hidup.

Selain itu, dalam surah An-Naas Allah mengajarkan kepada manusia-manusia yang beriman agar senantiasa berlindung kepada Allah dari kejahatan jin dan manusia. Katakanlah bahwa aku berlindung kepada Tuhan manusia, Penguasa manusia, Sesembahan manusia; dari kejahatan setan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari golongan jin dan manusia (An-Naas: 1-6). Allah mengabarkan bahwa di antara golongan jin dan manusia ada oknum-oknum jahat yang juga ingin mengajak manusia kepada kejahatan. Setan adalah bangsa jin yang selalu berbuat jahat, mengajak kepada kesesatan, kekafiran, dan akan terus menggoda manusia di dunia hingga hari kiamat.

Maka, manusia yang jahat dan mengajak kepada kejahatan, dialah teman-teman setan. Dan kita sebagai manusia yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, diperintahkan untuk berlindung bukan hanya dari kejahatan jin kafir, tetapi juga dari manusia-manusia yang jahat. Sampai di sini bisa kita ambil kesimpulan bahwa jin dan manusia terbagi menjadi dua kategori, yaitu: golongan jin dan manusia yang baik dan golongan jin dan manusia yang jahat. Dan memang tidak bisa dipungkiri, kita sebagai umat manusia menyaksikan ada banyak kejahatan dan kezhaliman yang terus merajalela seolah tak ada habisnya. Oleh karena itu, mari kita senantiasa berlindung kepada Allah dengan menjalankan agama-Nya sebaik mungkin sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah, para sahabat, dan salafush shaleh. Agar kita tidak termasuk ke dalam golongan manusia-manusia yang jahat dan sesat.

Buya Hamka dalam tafsir Al-Azhar menjelaskan ketika menafsirkan surah An-Naas bahwa kita diajarkan untuk berlindung kepada Allah dari sesama manusia. Kita sebagai manusia tentu akan selalu hidup dan berbaur dengan manusia lain. Tidak ada manusia yang dapat hidup lepas dari ikatan sosial. Dan kita maklum bahwa pergaulan dengan sesama manusia bukan perkara yang mudah. Adakalanya kita mengalami konflik, permasalahan, dan emosi; apa yang kita anggap baik, belum tentu baik bagi yang lain. Di tengah-tengah gelombang pergaulan manusia yang amat banyak dan penuh warna, dengan berbagai latar belakang, pendidikan, agama, pemikiran, dan kepribadian yang berbeda-beda; hendak mengindari tentu tak bisa. Dan bergaul terus dengan mereka juga bukan tanpa akibat, pasti selalu ada akibat yang baik maupun yang buruk.

Dengan kata lain, lanjut Buya Hamka dalam tafsirnya, bahwa pergaulan dengan sesama manusia bisa menguntungkan dan bisa pula membahayakan. Oleh karena itu, Allah mengajarkan kepada kita dalam surah An-Naas cara menghadapi sesama manusia dan hidup di tengah-tengah manusia. Pendeknya, kita diperintah untuk senantiasa memohon perlindungan hanya kepada Allah, bersandar kepada Allah, bergantung kepada Allah, dan mengembalikan segala urusan kepada Allah semata. Dan cara yang benar dalam menjalani hidup di tengah gelombang pergaulan manusia, yaitu dengan mencontoh kepribadian Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam.

Dalam Surah An-Naas disebutkan bahwa Allah itu Tuhan manusia, Dialah yang menciptakan dan memelihara manusia, memberi hidup, memberi nikmat, memberi perlindungan, memberi akal budi, dan hati nurani. Dan dengan akal budi dan hati nuraninya manusia mampu membedakan mana yang baik dan buruk, mana kewajiban moral dan mana yang bukan kewajiban bermoral. Menurut Immanuel Kant, perbuatan yang baik dan bermoral adalah perbuatan yang sesuai dengan hati nurani, dapat diterima secara universal, dan perbuatan tersebut dilakukan tanpa tendensi apapun, tetapi semata-mata karena dorongan kebaikan dalam hatinya, inilah yang disebut dengan imperatif kategoris. Sedangkan lawannya adalah imperatif hipotetis, yaitu perbuatan yang dilakukan karena ada tendensi, ada kepentingan tertentu, dan tidak murni keluar dari hati nuraninya.

Antara imperatif kategoris dan imperatif hipotetis sejatinya sama-sama melakukan perbuatan baik, hanya saja berbeda dalam ranah motivasi. Imperatif kategoris adalah perbuatan baik tanpa syarat apapun, ia murni ikhlas karena dorongan kewajiban moral. Sedangkan imperatif hipotetis adalah perbuatan baik yang bersyarat karena ada motivasi atau kepentingan tertentu. Maka, imperatif kategoris adalah moralitas tertinggi yang seharusnya diprektekkan oleh semua umat manusia, apatah lagi umat Muhammad shallallahu’alaihi wasallam. Bukan moralitas rendahan imperatif hipotetis yang melakukan kebaikan karena ada kepentingan dan mengharap imbalan macam-macam.

Disebutkan pula bahwa Allah itu Penguasa manusia, yang artinya bahwa kita ini selalu berada dalam genggaman-Nya. Segala sesuatu berjalan atas kehendak dan izin-Nya, tidak ada yang lepas dari pandangan-Nya, segala urusan mulai dari yang besar hingga yang paling kecil sekalipun diatur oleh-Nya, tidak ada yang terlewatkan dan terlupakan sedikitpun. Kita manusia adalah milik-Nya, hidup kita adalah karunia-Nya, dan pada saatnya nanti kita akan mati atas kehendak-Nya. Pada dasarnya kita tak punya kuasa apapun, tak memiliki apapun, diri kita sendiri juga bukan milik kita sepenuhnya, diri kita hanya diadakan oleh-Nya, diri kita hanyalah amanah yang kelak akan dipertanggungjawabkan di mahkamah peradilan Allah ta'ala. Pendeknya, segala sesuatu dikuasai Allah Sang Penguasa.

Sehingga, kata Buya Hamka dalam tafsirnya, kalau sudah jelas bahwa diri kita sendiri bukan yang empunya, apalah lagi yang kita kuasai dan kita punyai dari diri kita? Maka beribadah, bertauhid, bersandar, bergantung, berserah diri, dan memohon hanya kepada Allah adalah wujud dari kebenaran akal manusia dan hati nurani. Inilah mengapa dalam surah An-Naas disebut bahwa Allah itu ilaah manusia, karena hanya Allah saja yang berhak untuk disembah dan diibadahi. Kata Nabi, bahwa Allah berfirman, “Laa ilaaha illallah (Tiada Tuhan selain Allah) adalah benteng-Ku, barangsiapa yang masuk ke dalam benteng-Ku, maka selamatlah ia dari azab-Ku. Demikianlah, semoga membawa manfaat. Amiin. 


Tadabbur surah An-Naas ayat 1-6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar