Oleh: Rihan Musadik
Allah
mengajarkan dalam Al-Qur’an surah An-Naas bahwa Dialah Tuhan seluruh manusia
sejak Nabi Adam hingga manusia terakhir di muka bumi. Apapun agamanya, sukunya,
budayanya, bangsanya, yang jelas semua manusia adalah makhluk ciptaan Allah.
Dialah Tuhan Manusia, Penguasa manusia, dan satu-satunya sesembahan manusia
yang haq. Sebagian kalangan liberal mengatakan bahwa Allah adalah Tuhan segala
agama. Secara umum pernyataan ini memang benar, karena seandainya seluruh
manusia berada dalam kekafiran, membuat agama-agama baru, berbuat syirik, dan
menyimpang dari agama-Nya yang lurus, maka Dialah Allah yang tetap Tuhan segala
manusia, tak berubah barang sedikitpun dari sifat ketuhanan-Nya. Hanya saja
Allah mengabarkan dalam Al-Qur’an bahwa agama yang diridhai-Nya hanyalah Islam,
akan merugi orang-orang yang tidak mengambil Islam sebagai jalan hidup.
Selain itu,
dalam surah An-Naas Allah mengajarkan kepada manusia-manusia yang beriman agar
senantiasa berlindung kepada Allah dari kejahatan jin dan manusia. Katakanlah bahwa aku berlindung kepada Tuhan manusia, Penguasa manusia, Sesembahan manusia; dari kejahatan setan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan
(kejahatan) ke dalam dada manusia, dari golongan jin dan manusia (An-Naas:
1-6). Allah mengabarkan bahwa di antara golongan jin dan manusia ada
oknum-oknum jahat yang juga ingin mengajak manusia kepada kejahatan. Setan
adalah bangsa jin yang selalu berbuat jahat, mengajak kepada kesesatan,
kekafiran, dan akan terus menggoda manusia di dunia hingga hari kiamat.
Maka, manusia
yang jahat dan mengajak kepada kejahatan, dialah teman-teman setan. Dan kita
sebagai manusia yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, diperintahkan untuk
berlindung bukan hanya dari kejahatan jin kafir, tetapi juga dari manusia-manusia
yang jahat. Sampai di sini bisa kita ambil kesimpulan bahwa jin dan manusia
terbagi menjadi dua kategori, yaitu: golongan jin dan manusia yang baik dan
golongan jin dan manusia yang jahat. Dan memang tidak bisa dipungkiri, kita
sebagai umat manusia menyaksikan ada banyak kejahatan dan kezhaliman yang terus
merajalela seolah tak ada habisnya. Oleh karena itu, mari kita senantiasa
berlindung kepada Allah dengan menjalankan agama-Nya sebaik mungkin sebagaimana
yang telah dicontohkan oleh Rasulullah, para sahabat, dan salafush shaleh. Agar
kita tidak termasuk ke dalam golongan manusia-manusia yang jahat dan sesat.
Buya Hamka dalam
tafsir Al-Azhar menjelaskan ketika menafsirkan surah An-Naas bahwa kita
diajarkan untuk berlindung kepada Allah dari sesama manusia. Kita sebagai
manusia tentu akan selalu hidup dan berbaur dengan manusia lain. Tidak ada
manusia yang dapat hidup lepas dari ikatan sosial. Dan kita maklum bahwa
pergaulan dengan sesama manusia bukan perkara yang mudah. Adakalanya kita mengalami
konflik, permasalahan, dan emosi; apa yang kita anggap baik, belum tentu baik
bagi yang lain. Di tengah-tengah gelombang pergaulan manusia yang amat banyak
dan penuh warna, dengan berbagai latar belakang, pendidikan, agama, pemikiran,
dan kepribadian yang berbeda-beda; hendak mengindari tentu tak bisa. Dan
bergaul terus dengan mereka juga bukan tanpa akibat, pasti selalu ada akibat
yang baik maupun yang buruk.
Dengan kata
lain, lanjut Buya Hamka dalam tafsirnya, bahwa pergaulan dengan sesama manusia
bisa menguntungkan dan bisa pula membahayakan. Oleh karena itu, Allah
mengajarkan kepada kita dalam surah An-Naas cara menghadapi sesama manusia dan
hidup di tengah-tengah manusia. Pendeknya, kita diperintah untuk senantiasa
memohon perlindungan hanya kepada Allah, bersandar kepada Allah, bergantung
kepada Allah, dan mengembalikan segala urusan kepada Allah semata. Dan cara
yang benar dalam menjalani hidup di tengah gelombang pergaulan manusia, yaitu
dengan mencontoh kepribadian Nabi Muhammad shallallahu’alaihi
wasallam.
Dalam Surah
An-Naas disebutkan bahwa Allah itu Tuhan manusia, Dialah yang menciptakan dan
memelihara manusia, memberi hidup, memberi nikmat, memberi perlindungan,
memberi akal budi, dan hati nurani. Dan dengan akal budi dan hati nuraninya manusia
mampu membedakan mana yang baik dan buruk, mana kewajiban moral dan mana yang
bukan kewajiban bermoral. Menurut Immanuel Kant, perbuatan yang baik dan
bermoral adalah perbuatan yang sesuai dengan hati nurani, dapat diterima secara
universal, dan perbuatan tersebut dilakukan tanpa tendensi apapun, tetapi
semata-mata karena dorongan kebaikan dalam hatinya, inilah yang disebut dengan imperatif
kategoris. Sedangkan lawannya adalah imperatif hipotetis, yaitu perbuatan yang
dilakukan karena ada tendensi, ada kepentingan tertentu, dan tidak murni keluar
dari hati nuraninya.
Antara imperatif
kategoris dan imperatif hipotetis sejatinya sama-sama melakukan perbuatan baik,
hanya saja berbeda dalam ranah motivasi. Imperatif kategoris adalah perbuatan
baik tanpa syarat apapun, ia murni ikhlas karena dorongan kewajiban moral.
Sedangkan imperatif hipotetis adalah perbuatan baik yang bersyarat karena ada
motivasi atau kepentingan tertentu. Maka, imperatif kategoris adalah moralitas tertinggi
yang seharusnya diprektekkan oleh semua umat manusia, apatah lagi umat Muhammad
shallallahu’alaihi wasallam. Bukan moralitas
rendahan imperatif hipotetis yang melakukan kebaikan karena ada kepentingan dan
mengharap imbalan macam-macam.
Disebutkan pula
bahwa Allah itu Penguasa manusia, yang artinya bahwa kita ini selalu berada
dalam genggaman-Nya. Segala sesuatu berjalan atas kehendak dan izin-Nya, tidak
ada yang lepas dari pandangan-Nya, segala urusan mulai dari yang besar hingga
yang paling kecil sekalipun diatur oleh-Nya, tidak ada yang terlewatkan dan
terlupakan sedikitpun. Kita manusia adalah milik-Nya, hidup kita adalah
karunia-Nya, dan pada saatnya nanti kita akan mati atas kehendak-Nya. Pada
dasarnya kita tak punya kuasa apapun, tak memiliki apapun, diri kita sendiri
juga bukan milik kita sepenuhnya, diri kita hanya diadakan oleh-Nya, diri kita
hanyalah amanah yang kelak akan dipertanggungjawabkan di mahkamah peradilan Allah ta'ala.
Pendeknya, segala sesuatu dikuasai Allah Sang Penguasa.
Sehingga, kata
Buya Hamka dalam tafsirnya, kalau sudah jelas bahwa diri kita sendiri bukan
yang empunya, apalah lagi yang kita kuasai dan kita punyai dari diri kita? Maka
beribadah, bertauhid, bersandar, bergantung, berserah diri, dan memohon hanya
kepada Allah adalah wujud dari kebenaran akal manusia dan hati nurani. Inilah
mengapa dalam surah An-Naas disebut bahwa Allah itu ilaah manusia, karena hanya Allah saja yang berhak untuk disembah
dan diibadahi. Kata Nabi, bahwa Allah berfirman, “Laa ilaaha illallah (Tiada Tuhan selain Allah) adalah benteng-Ku, barangsiapa
yang masuk ke dalam benteng-Ku, maka selamatlah ia dari azab-Ku. Demikianlah, semoga
membawa manfaat. Amiin.
Tadabbur surah An-Naas ayat 1-6
Tadabbur surah An-Naas ayat 1-6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar