Oleh: Rihan Musadik
Beberapa hari lagi, masyarakat Indonesia akan
memperingati Hari Buruh Internasional (May
day) yang jatuh setiap tanggal 1 Mei. Kemudian hari berikutnya, setiap
tanggal 2 Mei akan diperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Hampir setiap
tahun, Hari Buruh dan Hari Pendidikan Nasional selalu diperingati di Indonesia.
Hari Buruh biasanya dirayakan dengan aksi demonstrasi para buruh di sejumlah
daerah. Sehingga membuat aparat kepolisian juga ikut sibuk merayakan dengan
menurunkan ribuan personelnya untuk mengamankan aksi para buruh yang turun ke
jalan. Sedangkan Hari Pendidikan Nasional dirayakan dengan upacara seremonial
di sekolah-sekolah dan kampus-kampus di seluruh Indonesia. Sebenarnya apa yang diperingati
dan apa makna dari memperingati hari tersebut?
Berbicara masalah buruh, tentu sangat erat kaitannya
dengan persoalan ketenagakerjaan di Indonesia. Belum lagi masalah pengangguran
dan himpitan ekonomi yang disinyalir menjadi penyebab utama maraknya berbagai tindakan
kriminal dan aksi bunuh diri. Seperti diberitakan suarameredeka.com, Badan
Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pengangguran per Agustus 2014 sebesar 7,24
juta orang. Angka ini mengalami kenaikan sekitar 90.000 orang dibandingkan pada
Februari 2014, atau ada kenaikan sekitar 1,2 %. Harus diakui bahwa jumlah
pengangguran di Indonesia masih amat banyak.
Menjelang peringatan May day dan Hardiknas yang berdekatan itu, ada beberapa persoalan
penting terkait masalah pengangguran, pekerjaan, dan pendidikan. Orangtua zaman
dulu selalu mengatakan, “Sekolah yang tinggi biar jadi orang sukses”, “Sekolah
sampai sarjana biar cepat cari kerja”. Tapi nyatanya sekarang, jumlah sarjana
yang menganggur justru semakin membludak. Sudah bukan rahasia lagi, sangat banyak
lulusan perguruan tinggi yang masih menganggur. Hal ini boleh jadi karena
jumlah lapangan kerja yang terbatas, tidak sebanding dengan jumlah lulusan yang
semakin meningkat. Kita semua berharap, mudah-mudahan para sarjana yang masih
menganggur itu dapat segera mendapatkan pekerjaan yang layak.
Di sisi lain, pendidikan di Indonesia juga sepertinya
masih belum tertata dengan baik. Lihat saja, bagaimana kurikulum pendidikan di
Indonesia yang “hobi gonta-ganti”. Padahal pada intinya sama saja, mencetak para
teknokrat berotak, sementara pendidikan akhlak masih jauh dari layak. Beberapa
waktu lalu, kita dikagetkan dengan munculnya penerapan kurikulum 2013 secara
serentak. Hasilnya, banyak sekali sekolah, guru, dan murid yang masih belum
siap. Lalu ganti menteri baru, kurikulum 2013 segera dibatalkan dan kembali ke
KTSP. Alasannya, kurikulum 2013 belum matang dan tidak sesuai dengan kondisi
pendidikan di Indonesia.
Pada kenyataannya, banyak para pengamat dan praktisi pendidikan
yang menilainya demikian, bahwa
kurikulum 2013 masih belum matang dan terlalu terburu-buru. Dan kita semua
tahu, buku-buku pelajaran kurikulum 2013 sudah tercetak rapi, menghabiskan dana
milyaran, tapi nyatanya gagal diterapkan, hanya beberapa sekolah saja yang masih menerapkan.
Padahal kalau kita mau berkaca pada sistem pendidikan
di negara tetangga Malaysia, tentu hasilnya akan lebih efektif dan tidak
membuang-buang banyak biaya. Negara Malaysia yang dulunya banyak mendatangkan
guru-guru dari Indonesia, saat ini mutu pendidikannya lebih tinggi dibanding
Indonesia. Kenapa bisa demikian? Karena setiap pergantian menteri pendidikan tidak
identik dengan bergantinya kurikulum baru. Artinya, menteri pendidikan yang
baru tinggal melanjutkan saja kurikulum dan program dari menteri sebelumnya, tinggal
mengevaluasi dan meningkatkan kualitasnya saja, nggak neko-neko. Berbeda dengan Indonesia, biasanya ganti menteri
pendidikan identik dengan ganti kurikulum. Artinya, ganti buku panduan mata
pelajaran dan para murid diharuskan membeli buku baru, karena buku lama sudah
tidak sesuai dengan kurikulum, padahal isi dan intinya sama saja.
Selain itu, sistem pendidikan di Indonesia juga
cenderung mengabaikan aspek akhlak dan moral. Peserta didik hanya disuguhi
berbagi mata pelajaran dan ilmu pengetahuan eksakta, seolah-olah terpisah dari
unsur agama. Konsekuensinya, pendidikan akhlak seakan hanya terbatas pada
pelajaran agama. Sementara itu, pelajaran lain menjadi sekuler karena terpisah
dari agama, akhlak, dan moralitas. Padahal sejatinya, untuk membentuk pribadi-pribadi
yang cerdas dan berakhlak mulia tidak cukup hanya dengan pelajaran agama yang
seminggu sekali itu. Pendidikan agama atau akhlak harus diintegrasi dan
diinterkoneksikan pada semua mata pelajaran, jika ingin membentuk anak-anak
bangsa yang cerdas dan berbudi pekerti luhur.
Seharusnya memang demikian adanya, aspek agama atau
akhlak harus diproritaskan agar tidak lagi terjadi kasus-kasus kekerasan antar
pelajar, tawuran, seks bebas, narkoba, dan arogansi senioritas. Dan itulah
sebenarnya yang diinginkan Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional, yang
tanggal kelahirannya diabadikan sebagai Hari Pendidikan Nasional. Bahwasannya
pendidikan adalah proses pembudayaan untuk membentuk budi pekerti luhur para generasi
bangsa. Artinya, selain mencerdaskan bangsa, pendidikan juga diarahkan pada
aspek moralitas atau akhlak. Dengan demikian, pendidikan adalah proses
humanisasi, yakni memanusiakan manusia, membentuk manusia yang berbudi pekerti
luhur, bermoral tinggi, dan berakhlak mulia. Dan ini sangat sesuai dengan
karakter, jiwa, dan filosofi bangsa Indonesia yang sangat menjunjung tinggi
nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, dan keadilan.
Di samping itu, tingkat pendidikan yang tinggi juga
ternyata tidak identik dengan mudahnya mendapatkan pekerjaan. Belum lagi lulusan
SMP dan SMA juga sangat banyak yang masih menganggur. Imbasnya, pengangguran
semakin membengkak, kesulitan ekonomi semakin merata, banyak terjadi stres dan
depresi, kehilangan kepercayaan diri (inferiority
complex), lalu lupa agama. Akibatnya, karena himpitan ekonomi yang semakin
menjadi-jadi, membuat sebagian orang menghalalkan segala cara untuk memenuhi
kebutuhannya. Mulai dari perampokan, pencurian, pemalsuan, penggelapan, hingga pembegalan
sadis. Bahkan, adanya sejumlah kaum muslimin Indonesia yang tertarik gerakan
sesat-radikal ISIS juga banyak dipicu karena faktor ekonomi. Dan ternyata,
faktor pengangguran juga menjadi salah satu sebab utama banyaknya warga negara
Eropa dan Amerika untuk bergabung dengan ISIS. Mereka tertarik dengan
iming-iming gaji besar ISIS yang dikabarkan menguasai beberapa ladang minyak di
Irak.
Kalau sudah demikian keadaannya, lalu siapa yang
harus disalahkan? Tentu saja, sangat tidak bijak menyalahkan pemerintah begitu
saja. Kita tahu pemerintah telah berusaha dengan segala perangkatnya untuk
memperbaiki berbagai permasalahan akut yang tengah menimpa bangsa ini, kendati masih
banyak kekurangan di sana-sini. Berbagai persoalan bangsa, seperti
pengangguran, kemiskinan, pendidikan, upah buruh, gaji guru honorer adalah beberapa
masalah yang perlu menjadi prioritas pemerintah. Sebab, bila tidak segera
diselesaikan akan menimbulkan efek domino, seperti tindakan kriminal, bunuh
diri, korupsi, kemerosotan moral, hingga merebaknya paham-paham sesat di tengah
masyarakat.
Oleh karena itu, dalam hal pendidikan, pemerintah
diharapkan lebih mengutamakan kurikulum berbasis pendidikan akhlak, agar
generasi-generasi bangsa tidak mudah terjebak pada tindakan-tindakan amoral dan
kriminal. Pemerintah juga diharapkan dapat membantu meningkatkan jumlah
lapangan kerja, bukan sekedar pertumbuhan ekonomi. Pemerintah juga harus
memperhatikan kesejahteraan para buruh dengan meningkatkan upah minimum.
Demikian juga dengan para pegawai atau guru-guru honorer, pemerintah perlu
memperhatikan kesejahteraan mereka. Karena betapapun, para pegawai atau
guru-guru honorer juga telah berjasa bagi pendidikan dan pelayanan masyarakat.
Mudah-mudahan dengan adanya momentum May day dan Hardiknas di tahun 2015 ini,
dapat kita jadikan refleksi untuk ikut berpartisipasi membantu pemerintah dalam
mengentaskan kemiskinan, mengurangi pengangguran, serta ikut berkontribusi
memajukan pendidikan akhlak di Indonesia. Sebab, tanpa adanya peran serta dari
masyarakat, mustahil berbagai persoalan bangsa akan dapat diatasi dengan cepat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar