Selasa, 28 April 2015

Refleksi May Day dan Hardiknas 2015

Oleh: Rihan Musadik

Beberapa hari lagi, masyarakat Indonesia akan memperingati Hari Buruh Internasional (May day) yang jatuh setiap tanggal 1 Mei. Kemudian hari berikutnya, setiap tanggal 2 Mei akan diperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Hampir setiap tahun, Hari Buruh dan Hari Pendidikan Nasional selalu diperingati di Indonesia. Hari Buruh biasanya dirayakan dengan aksi demonstrasi para buruh di sejumlah daerah. Sehingga membuat aparat kepolisian juga ikut sibuk merayakan dengan menurunkan ribuan personelnya untuk mengamankan aksi para buruh yang turun ke jalan. Sedangkan Hari Pendidikan Nasional dirayakan dengan upacara seremonial di sekolah-sekolah dan kampus-kampus di seluruh Indonesia. Sebenarnya apa yang diperingati dan apa makna dari memperingati hari tersebut?

Berbicara masalah buruh, tentu sangat erat kaitannya dengan persoalan ketenagakerjaan di Indonesia. Belum lagi masalah pengangguran dan himpitan ekonomi yang disinyalir menjadi penyebab utama maraknya berbagai tindakan kriminal dan aksi bunuh diri. Seperti diberitakan suarameredeka.com, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pengangguran per Agustus 2014 sebesar 7,24 juta orang. Angka ini mengalami kenaikan sekitar 90.000 orang dibandingkan pada Februari 2014, atau ada kenaikan sekitar 1,2 %. Harus diakui bahwa jumlah pengangguran di Indonesia masih amat banyak.

Menjelang peringatan May day dan Hardiknas yang berdekatan itu, ada beberapa persoalan penting terkait masalah pengangguran, pekerjaan, dan pendidikan. Orangtua zaman dulu selalu mengatakan, “Sekolah yang tinggi biar jadi orang sukses”, “Sekolah sampai sarjana biar cepat cari kerja”. Tapi nyatanya sekarang, jumlah sarjana yang menganggur justru semakin membludak. Sudah bukan rahasia lagi, sangat banyak lulusan perguruan tinggi yang masih menganggur. Hal ini boleh jadi karena jumlah lapangan kerja yang terbatas, tidak sebanding dengan jumlah lulusan yang semakin meningkat. Kita semua berharap, mudah-mudahan para sarjana yang masih menganggur itu dapat segera mendapatkan pekerjaan yang layak.

Di sisi lain, pendidikan di Indonesia juga sepertinya masih belum tertata dengan baik. Lihat saja, bagaimana kurikulum pendidikan di Indonesia yang “hobi gonta-ganti”. Padahal pada intinya sama saja, mencetak para teknokrat berotak, sementara pendidikan akhlak masih jauh dari layak. Beberapa waktu lalu, kita dikagetkan dengan munculnya penerapan kurikulum 2013 secara serentak. Hasilnya, banyak sekali sekolah, guru, dan murid yang masih belum siap. Lalu ganti menteri baru, kurikulum 2013 segera dibatalkan dan kembali ke KTSP. Alasannya, kurikulum 2013 belum matang dan tidak sesuai dengan kondisi pendidikan di Indonesia.

Pada kenyataannya, banyak para pengamat dan praktisi pendidikan yang menilainya  demikian, bahwa kurikulum 2013 masih belum matang dan terlalu terburu-buru. Dan kita semua tahu, buku-buku pelajaran kurikulum 2013 sudah tercetak rapi, menghabiskan dana milyaran, tapi nyatanya gagal diterapkan, hanya beberapa sekolah saja yang masih menerapkan.

Padahal kalau kita mau berkaca pada sistem pendidikan di negara tetangga Malaysia, tentu hasilnya akan lebih efektif dan tidak membuang-buang banyak biaya. Negara Malaysia yang dulunya banyak mendatangkan guru-guru dari Indonesia, saat ini mutu pendidikannya lebih tinggi dibanding Indonesia. Kenapa bisa demikian? Karena setiap pergantian menteri pendidikan tidak identik dengan bergantinya kurikulum baru. Artinya, menteri pendidikan yang baru tinggal melanjutkan saja kurikulum dan program dari menteri sebelumnya, tinggal mengevaluasi dan meningkatkan kualitasnya saja, nggak neko-neko. Berbeda dengan Indonesia, biasanya ganti menteri pendidikan identik dengan ganti kurikulum. Artinya, ganti buku panduan mata pelajaran dan para murid diharuskan membeli buku baru, karena buku lama sudah tidak sesuai dengan kurikulum, padahal isi dan intinya sama saja.

Selain itu, sistem pendidikan di Indonesia juga cenderung mengabaikan aspek akhlak dan moral. Peserta didik hanya disuguhi berbagi mata pelajaran dan ilmu pengetahuan eksakta, seolah-olah terpisah dari unsur agama. Konsekuensinya, pendidikan akhlak seakan hanya terbatas pada pelajaran agama. Sementara itu, pelajaran lain menjadi sekuler karena terpisah dari agama, akhlak, dan moralitas. Padahal sejatinya, untuk membentuk pribadi-pribadi yang cerdas dan berakhlak mulia tidak cukup hanya dengan pelajaran agama yang seminggu sekali itu. Pendidikan agama atau akhlak harus diintegrasi dan diinterkoneksikan pada semua mata pelajaran, jika ingin membentuk anak-anak bangsa yang cerdas dan berbudi pekerti luhur.

Seharusnya memang demikian adanya, aspek agama atau akhlak harus diproritaskan agar tidak lagi terjadi kasus-kasus kekerasan antar pelajar, tawuran, seks bebas, narkoba, dan arogansi senioritas. Dan itulah sebenarnya yang diinginkan Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional, yang tanggal kelahirannya diabadikan sebagai Hari Pendidikan Nasional. Bahwasannya pendidikan adalah proses pembudayaan untuk membentuk budi pekerti luhur para generasi bangsa. Artinya, selain mencerdaskan bangsa, pendidikan juga diarahkan pada aspek moralitas atau akhlak. Dengan demikian, pendidikan adalah proses humanisasi, yakni memanusiakan manusia, membentuk manusia yang berbudi pekerti luhur, bermoral tinggi, dan berakhlak mulia. Dan ini sangat sesuai dengan karakter, jiwa, dan filosofi bangsa Indonesia yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, dan keadilan.

Di samping itu, tingkat pendidikan yang  tinggi juga ternyata tidak identik dengan mudahnya mendapatkan pekerjaan. Belum lagi lulusan SMP dan SMA juga sangat banyak yang masih menganggur. Imbasnya, pengangguran semakin membengkak, kesulitan ekonomi semakin merata, banyak terjadi stres dan depresi, kehilangan kepercayaan diri (inferiority complex), lalu lupa agama. Akibatnya, karena himpitan ekonomi yang semakin menjadi-jadi, membuat sebagian orang menghalalkan segala cara untuk memenuhi kebutuhannya. Mulai dari perampokan, pencurian, pemalsuan, penggelapan, hingga pembegalan sadis. Bahkan, adanya sejumlah kaum muslimin Indonesia yang tertarik gerakan sesat-radikal ISIS juga banyak dipicu karena faktor ekonomi. Dan ternyata, faktor pengangguran juga menjadi salah satu sebab utama banyaknya warga negara Eropa dan Amerika untuk bergabung dengan ISIS. Mereka tertarik dengan iming-iming gaji besar ISIS yang dikabarkan menguasai beberapa ladang minyak di Irak.

Kalau sudah demikian keadaannya, lalu siapa yang harus disalahkan? Tentu saja, sangat tidak bijak menyalahkan pemerintah begitu saja. Kita tahu pemerintah telah berusaha dengan segala perangkatnya untuk memperbaiki berbagai permasalahan akut yang tengah menimpa bangsa ini, kendati masih banyak kekurangan di sana-sini. Berbagai persoalan bangsa, seperti pengangguran, kemiskinan, pendidikan, upah buruh, gaji guru honorer adalah beberapa masalah yang perlu menjadi prioritas pemerintah. Sebab, bila tidak segera diselesaikan akan menimbulkan efek domino, seperti tindakan kriminal, bunuh diri, korupsi, kemerosotan moral, hingga merebaknya paham-paham sesat di tengah masyarakat.

Oleh karena itu, dalam hal pendidikan, pemerintah diharapkan lebih mengutamakan kurikulum berbasis pendidikan akhlak, agar generasi-generasi bangsa tidak mudah terjebak pada tindakan-tindakan amoral dan kriminal. Pemerintah juga diharapkan dapat membantu meningkatkan jumlah lapangan kerja, bukan sekedar pertumbuhan ekonomi. Pemerintah juga harus memperhatikan kesejahteraan para buruh dengan meningkatkan upah minimum. Demikian juga dengan para pegawai atau guru-guru honorer, pemerintah perlu memperhatikan kesejahteraan mereka. Karena betapapun, para pegawai atau guru-guru honorer juga telah berjasa bagi pendidikan dan pelayanan masyarakat.

Mudah-mudahan dengan adanya momentum May day dan Hardiknas di tahun 2015 ini, dapat kita jadikan refleksi untuk ikut berpartisipasi membantu pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan, mengurangi pengangguran, serta ikut berkontribusi memajukan pendidikan akhlak di Indonesia. Sebab, tanpa adanya peran serta dari masyarakat, mustahil berbagai persoalan bangsa akan dapat diatasi dengan cepat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar