Oleh: Rihan Musadik
Bagi orang
dewasa atau juga orangtua; memandang remaja sebagai tahap kehidupan yang belum
matang dalam menghadapi dan menyikapi persoalan. Tentu saja pandangan ini ada
benarnya, walaupun tidak seratus persen benar. Jika kita amati perilaku remaja
ketika berkumpul dalam kegiatan olahraga pagi di hari Minggu/libur, akan banyak kita
dapati perilaku-perilaku unik yang menunjukkan naluriahnya atau sebut saja
ketidakdewasaannya. Terutama menyangkut naluri dengan lawan jenis yang kerap
dianggap sebagai “dunia cinta remaja”. Sebetulnya bukan hanya acara jogging
minggu pagi, akan tetapi hampir semua acara dimana banyak remaja berkumpul,
seperti malam mingguan, konser musik, pameran buku, alun-alun, perpustakaan,
dsb.
Berbicara remaja
secara umum, tentu berbeda dengan berbicara remaja secara khusus. Pada hal-hal
yang umum, kita membahas hal yang menjadi kebiasaan “nakal” para remaja, dan
tentu tidak semua remaja adalah nakal dan tidak dewasa. Harus diakui ada
beberapa remaja yang pintar, terlihat dewasa, dan “tahu agama”. Sedangkan yang
kita bicarakan adalah remaja secara umum dari sisi negatif. Sebab, secara
apriori banyak orang yang memandang beberapa perilaku remaja dari sisi
kelamnya. Dan memang ini yang lebih santer diberitakan oleh berbagai media
jurnalistik.
Terkait perilaku
remaja, sebagian orang menganggapnya hal biasa dan lumrah. Sebagian lagi
memandangnya tidak lumrah dan tidak sesuai agama. Misalnya pacaran, bermesraan,
berdua-duaan, bersepi-sepi, berciuman, berboncengan, pergi bersamaan, merokok,
tawuran, nonton video porno, dll. Beberapa contoh ini dianggap hal biasa oleh
sebagian orang, mereka mengatakan, “Ah, namanya juga remaja, biarin aja mereka
nakal, ntar juga sadar sendiri”. Sebagian lagi menilai perilaku-perilaku ini
telah melanggar agama, tidak sesuai budaya timur dengan kearifan lokal seperti rasa
malu, sopan santun, dan menjaga diri. Sehingga perilaku demikian harus benar-benar
dijauhi.
Pendapat mana yang lebih benar? Tentu saja tergantung kacamata apa yang dipakai untuk menilai perilaku remaja. Jika menggunakan kacamata agama; jelaslah bahwa perilaku seperti remaja berdua-duaan di tempat sepi tidak dapat dibenarkan. Bahkan kalau menggunakan kacamata budaya, perilaku pelajar pacaran pastilah tidak sesuai norma-norma masyarakat. Lalu bagaimana dengan orang yang menganggap itu sebagai hal biasa? Mungkin saja mereka menggunakan kacamata budaya barat yang serba bebas, terbuka, dan tanpa kendali. Atau mereka tidak pernah mengenyam pendidikan agama secara baik, kecuali hanya sedikit.
Jika mereka mengatakan, “Nanti juga sadar sendiri”. Maka kita balik bertanya, “Ya, kalau sadar, terus kalau tidak sadar gimana?” Atau malah tidak menyadari kalau perbuatannya itu tidak baik dan melanggar agama. Kenapa mengambil resiko? Jangan biarkan anak-anak kita terjerembab dalam pergaulan-pergaulan kotor semacam ini. Kalau dulu kita pernah menjadi remaja nakal, maka berusahalah agar anak-anak kita nanti tidak seperti kita. Didik mereka, bimbing mereka menjadi anak baik, taat pada orangtua, patuh pada guru, cerdas, dan kreatif. Jangan sampai anak kita hobi pacaran, hobi kluyuran, pulang malam, perokok, hobi minta duit, dan jauh dari tuntunan agama. Na’udzubillah.
Dan satu hal lagi, pendidikan anak dimulai dari keluarga. Artinya, pendidikan anak dimulai dari diri kita sendiri; benahi diri kita dulu, perbaiki diri kita, dan jadilah teladan bagi anak-anak kita. Semoga anak-anak kita, remaja-remaja bangsa, para pelajar dan mahasiswa, dapat menjadi mujahidin-mujahidin tangguh yang berguna bagi agama, bangsa, dan negara. Amiin.
Pendapat mana yang lebih benar? Tentu saja tergantung kacamata apa yang dipakai untuk menilai perilaku remaja. Jika menggunakan kacamata agama; jelaslah bahwa perilaku seperti remaja berdua-duaan di tempat sepi tidak dapat dibenarkan. Bahkan kalau menggunakan kacamata budaya, perilaku pelajar pacaran pastilah tidak sesuai norma-norma masyarakat. Lalu bagaimana dengan orang yang menganggap itu sebagai hal biasa? Mungkin saja mereka menggunakan kacamata budaya barat yang serba bebas, terbuka, dan tanpa kendali. Atau mereka tidak pernah mengenyam pendidikan agama secara baik, kecuali hanya sedikit.
Jika mereka mengatakan, “Nanti juga sadar sendiri”. Maka kita balik bertanya, “Ya, kalau sadar, terus kalau tidak sadar gimana?” Atau malah tidak menyadari kalau perbuatannya itu tidak baik dan melanggar agama. Kenapa mengambil resiko? Jangan biarkan anak-anak kita terjerembab dalam pergaulan-pergaulan kotor semacam ini. Kalau dulu kita pernah menjadi remaja nakal, maka berusahalah agar anak-anak kita nanti tidak seperti kita. Didik mereka, bimbing mereka menjadi anak baik, taat pada orangtua, patuh pada guru, cerdas, dan kreatif. Jangan sampai anak kita hobi pacaran, hobi kluyuran, pulang malam, perokok, hobi minta duit, dan jauh dari tuntunan agama. Na’udzubillah.
Dan satu hal lagi, pendidikan anak dimulai dari keluarga. Artinya, pendidikan anak dimulai dari diri kita sendiri; benahi diri kita dulu, perbaiki diri kita, dan jadilah teladan bagi anak-anak kita. Semoga anak-anak kita, remaja-remaja bangsa, para pelajar dan mahasiswa, dapat menjadi mujahidin-mujahidin tangguh yang berguna bagi agama, bangsa, dan negara. Amiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar