Oleh: Rihan Musadik
Ada saat dimana kita harus merenung di tengah gelombang
badai duniawi yang bertubi-tubi, yang membuat lupa sebagian manusia dari kodratnya
sebagai makhluk Tuhan yang pada saatnya akan kembali kepangkuan-Nya. Kita
sering melupakan bahwa manusia diciptakan ke dunia bukannya tanpa tujuan. Tuhan
tidak mungkin menciptakan sesuatu dengan kesia-siaan. Tak lain manusia
diciptakan hanya untuk beribadah menyembah hanya kepada-Nya.
Kesibukan mencari duniawi telah membuat lalai sebagian orang,
sehingga lebih mengutamakan urusan dunia yang singkat ketimbang urusan akhirat
yang kekal. Dulu, ketika masih bujangan dan belum terlalu sibuk, shalat lima
waktu di masjid tak pernah telat, baca Al-Qur’an one day one juz bahkan lebih, ngaji ke majelis ta’lim begitu rajin,
buku-buku agama makanan sehari-hari, sedekah tak pernah lupa dan besar pula,
kepedulian sosial teramat tinggi.
Lalu ketika kerja, mulai ada penurunan ibadah; shalat lima
waktu jarang di masjid, baca Al-Qur’an satu lembar per hari (masih mending
kadang-kadang nihil), majelis ta’lim seminggu sekali (itu pun pas khutbah
Jum’at, sambil tidur pula), sedekah sangat rajin kepada diri sendiri, kepekaan
sosial berganti menjadi ketidakpedulian sosial, dan Tuhan pun mulai dilupakan.
Pertanyaannya adalah, apakah pekerjaan kita membuat lupa kepada
Tuhan atau menambah dekat kepada-Nya? Bukankah bekerja itu ibadah? Benar
sekali, bekerja mencari nafkah untuk keluarga adalah ibadah yang sangat besar
dan sangat dihargai dalam agama. Akan tetapi, apakah pekerjaan kita sudah
sesuai dengan aturan Allah atau justru malah melanggar? Manusia yang sadar akan
kebermaknaan hidupnya di dunia tentu akan merenung, apakah dengan aktivitas
atau pekerjaan yang digeluti makin mendekatkan kita kepada Allah atau justru
makin menjauhkan kita kepada Allah, lebih parah lagi pekerjaan yang membuka
pintu-pintu maksiat.
Para alim ulama mengatakan bahwa segala sesuatu yang
menjauhkan kita dari Allah ta'ala pada dasarnya adalah musibah. Mengapa musibah?
Karena orang yang lupa dengan Tuhannya sangat rentan galau, frustrasi, stress, dan
depresi pada saat menghadapi masalah. Padahal telah maklum di kalangan ahli
ilmu bahwa hanya dengan mengingat Allah-lah hati akan menjadi tentram, dan
segala permasalahan hidup bagaikan hembusan angin yang cepat berlalu dan
terlupakan.
Mudah-mudahan kita dijauhkan dari musibah besar lupa kepada
Allah dan semakin jauh dari-Nya. Jadi, apa yang harus kita lakukan dan apa
tujuan kita hidup di dunia ini? Apa makna hidup yang sesungguhnya? Begitu adalah
pertanyaan kalangan muda yang sedang galau, atau bahkan orangtua yang sepanjang
hidupnya tak tahu makna hidup. Tujuan kita hidup di dunia adalah untuk
beribadah kepada-Nya, mengapa? Karena memang itu yang diinginkan Sang Pencipta.
Allah 'azza wa jalla berfirman, “Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan hanya untuk
beribadah menyembah-Ku”.
Setiap kali akan berbuat kita perlu bertanya, apakah yang
aku lakukan akan membawa manfaat setelah aku mati? Apakah aktivitas, pekerjaan,
perbuatan, dan segala tingkah laku yang kita lakukan akan menguntungkan kita
pada saat berdiri di hadapan Allah atau justru malah merugikan kita? Jika yang
kita lakukan baik dan sesuai dengan syariat-Nya, bersyukurlah dan ucapkan alhamdulillah. Jika yang kita lakukan
adalah kemaksiatan dan melanggar perintah-Nya, bertobatlah dan segera jauhi,
Allah Maha Pengampun, Dialah Yang Maha Kasih dan Sayang. Seorang guru sufi,
Abdullah Gymnastiar pernah berujar, “Jika Allah ridho lakukan, jika Allah benci
tinggalkan”.
Lalu bagaimana kita tahu apa yang Allah ta'ala ridhoi dan apa yang
Allah benci? Iqro’, bacalah,
belajarlah, mengajilah; agar kita tahu mana yang baik dan buruk, mana yang
benar dan salah, mana perintah dan larangan Allah, mana yang Allah ridhoi dan
mana yang Allah benci.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar