Salah satu pondasi penting dalam beribadah adalah cinta
kepada Allah. Cinta kepada Allah adalah ruh dalam beribadah. Orang yang
beribadah tanpa ada rasa cinta kepada Allah, maka akan kering spiritual dan
hati seolah gersang. Sedangkan ibadah yang diiringi rasa cinta kepada Allah,
maka akan terasa nikmat, hati seolah mendapat siraman air sejuk dari pegunungan
yang hijau. Begitu pula orang yang hidup tanpa dipenuhi cinta, maka akan terasa
kelam dalam menjalani hidupnya. Kekuatan cinta bisa mengatasi rasa malas,
meringankan beban, dan melapangkan dada.
Saking pentingnya cinta, banyak para ulama yang menulis buku
tentang cinta, salah satunya adalah buku Raudhatul
Muhibbin (Taman Orang-Orang yang Jatuh Cinta) yang dikarang oleh Syaikh
Ibnu Qayyim Al-Jauzi. Kata Syaikh Muhammad Quraish Shihab, cinta tidak bisa
dilukiskan atau didefiniskan secara utuh lewat kata-kata, cinta hanya bisa
dirasakan gejala-gejalanya saja. Kalaupun dibuat definisi tentang cinta, tentu
akan banyak sekali definisi cinta dari orang yang mengalaminya.
Secara umum, cinta adalah ketergantungan hati kepada yang
dicintai. Cinta akan membuat seseorang meninggalkan sesuatu yang dibenci oleh
orang yang dicintai, dan melakukan sesuatu yang disukai oleh orang yang
dicintai. Hal ini dijelaskan oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Para
ulama juga mengatakan bahwa cinta itu ada yang asli dan palsu; ada cinta asli
dan cinta palsu. Artinya, ada yang benar-benar cinta, tetapi ada pula yang hanya
sekedar syahwat, bukan cinta yang sesungguhnya.
Pembagian Cinta
Secara garis besar, cinta dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Cinta yang bersifat ibadah
Yaitu cinta yang diiringi pengagungan, penghambaan,
kerendahan diri, dan ketaatan mutlak kepada Allah. Dan orang-orang yang beriman amat besar cintanya kepada Allah
(Al-Baqarah: 165). Dalam ayat lain disebutkan bahwa Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang mereka
bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin…(Al-Maidah: 54).
Cinta kepada Allah adalah puncak tertinggi dari cinta.
Sebagian ulama menjelaskan bahwa ibadah itu harus dilandasi oleh tiga hal,
yaitu: cinta (hubb), takut (khauf), dan harap (raja’). Ibarat seekor burung; rasa takut dan harap adalah kedua
sayap, dan rasa cinta adalah kepalanya. Jadi, tidak mungkin seekor burung dapat
hidup apalagi terbang tanpa adanya kepala. Oleh karena itu, kita harus
senantiasa menghadirkan rasa cinta kepada Allah dalam beribadah, agar ibadah
yang kita lakukan benar-benar hidup dan sampai kepada-Nya.
Yaitu cinta yang sifatnya manusiawi, setiap manusia normal
pasti memiliki cinta jenis ini, karena memang Allah menciptakan manusia dengan
kecenderungan cinta kepada hal-hal duniawi. Allah berfirman dalam Al-Qur’an
surat Ali ‘Imran ayat 14 yang menjelaskan bahwa Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang
diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas,
perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah
kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik
(surga).
Jadi, boleh-boleh saja mencintai perkara-perkara duniawi,
asalkan tidak berlebihan, tidak melalaikan kewajiban agama, tidak membawa
kepada kemaksiatan, dan tidak mengalahkan rasa cinta kepada Allah dan
Rasul-Nya.
Lagi pula hal-hal yang sifatnya duniawi merupakan salah satu
sarana untuk memperoleh cinta dari Allah. Para ulama menjelaskan bahwa cinta
yang berlebihan kepada dunia merupakan sumber dari segala keburukan. Hubbud dun-ya ra’su kulli khati’atin.
Oleh sebab itu, kita harus bisa mengekspresikan cinta kepada selain Allah
secara proporsional dan tidak berlebih-lebihan.
Cinta Allah dan Rasul-Nya
Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya adalah pokok dari segala
cinta. Imam Al-Ghazali mengatakan dalam kitab Ihya’ Ulumuddin bahwa umat Islam telah sepakat bahwa mencintai
Allah dan Rasul-Nya adalah kewajiban. Artinya, seseorang belum bisa dikatakan
beriman hingga Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari segala sesuatu termasuk
diri kita sendiri. Rasulullah bersabda, “Tidak beriman salah seorang dari
kalian hingga Allah dan rasul-Nya lebih ia cintai daripada segala sesuatu” (HR.
Imam Ahmad).
Bahkan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya harus lebih
besar daripada kecintaan kepada diri kita sendiri. Imam Muhammad bin Ismail
Al-Bukhari meriwayatkan hadits yang menceritakan dialog antara Sayyidina
Muhammad dan Sayyidina Umar bin Khattab.
Pernah suatu ketika Umar bin Khattab berkata, “Ya
Rasulallah, sungguh engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu, kecuali
terhadap diriku sendiri”. Kemudian Nabi berkata, “Tidak, demi Dzat yang jiwaku berada
dalam genggaman-Nya, imanmu belum sempurna. Aku harus lebih engkau cintai
daripada dirimu sendiri. Kemudian Umar berkata, “Demi Allah, sekarang engkau lebih
aku cintai daripada diriku sendiri”. Lalu Nabi pun berkata, “Saat ini pula imanmu telah sempurna,
wahai Umar”.
Menumbuhkan Cinta
Kecintaan kepada Allah bisa ditumbuhkan dengan kesadaran
bahwa Allah sangat mencintai kita. Salah satu buktinya Allah menganugerahkan
berbagai macam nikmat yang begitu besar, contohnya: nikmat islam, iman,
kehidupan, kesehatan, ketaatan, hidayah, rezeki, keluarga, pendidikan, makan,
minum, dan sebagainya. Allah memberikan kita ribuan nikmat tanpa kita minta,
seperti nikmat pernafasan, detak jantung, aliran darah, pencernaan, dan
sebagainya. Allah juga terkadang mengabulkan lebih dari yang kita minta,
kalaupun Allah tidak mengabulkan permohonan kita, pasti ada rencana yang lebih
baik darinya. Allah Maha Tahu yang terbaik bagi hambanya yang beriman. Rencana
Allah jauh lebih indah dari rencana kita yang paling indah.
Allah juga menjanjikan pahala dan surga bila kita beriman
dan berbuat baik, serta memberikan ampunan dari segala dosa bila kita bertaubat.
Kita sebagai makhluk Allah sering berbuat dosa, tidak taat kepada-Nya, dan
melanggar perintah-Nya; akan tetapi Allah tetap memberikan nikmat-Nya kepada
kita. Bukankah ini adalah bukti bahwa Allah Maha Cinta, tidak mungkin Allah
begitu pemurah kepada kita bila tidak mencintai kita. Bukankah Allah memiliki
sifat Ar-Rahman dan Ar-Rahim, sifat pemurah dan kasih sayang kepada makhluk-Nya
yang mengalahkan kemurkaan-Nya.
Kata Syaikh Abdullah Zaen Kedungwuluh, “Segala sesuatu yang
dikerjakan dengan rasa cinta akan terasa ringan. Apapun yang kita hadapi akan
terasa ringan dengan adanya cinta”.
Noda-Noda Cinta
Ada beberapa hal yang bisa menodai cinta kita kepada Allah,
yang membuat hati kita tidak bisa masuk ke dalam Samudra Cinta Ilahi, antara
lain:
1. Syirik Cinta
Yang dimaksud syirik cinta, bukan semata-mata tidak boleh
mencintai kepada selain Allah. Mencintai kepada selain Allah adalah hal yang
wajar dan manusiawi, seperti cinta sepasang suami-istri, keluarga, anak,
orangtua, harta benda, dan sebagainya. Akan tetapi, yang dimaksud dengan syirik
cinta adalah mencintai kepada selain Allah dengan cinta yang berlebihan dan
bersifat ibadah. Hal ini mengandung makna bahwa kita dilarang untuk mencintai sesuatu
melebihi cinta kita kepada Allah, bahkan mencintainya hampir menyamakan ibadah
kepada Allah.
Contoh dari syirik cinta: kaum pagan sangat mencintai
patung-patung berhala yang dibuatnya sendiri karena menganggap dapat
mendatangkan rezeki, manfaat, atau kebaikan. Perkataan berlebihan yang sering
diucapkan oleh orang yang sedang mabuk asmara, “Tidak ada yang lebih aku cintai
selain dirimu”, atau “Tidak ada yang bisa melebihi kecintaanku kepadamu”, atau
“Hatiku telah dipenuhi oleh rasa cinta kepadamu, sehingga tiada tempat lagi
bagi hati ini untuk mencintai selain dirimu”. Mencintai seseorang atau diri
sendiri melebihi cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan lain sebagainya.
2. Zina Cinta
Mencintai sesuatu hingga menyebabkan melakukan perbuatan
dosa. Misalnya: sepasang kekasih yang belum menikah melakukan khalwat (berduaan di tempat sepi),
saling memandang dengan syahwat, saling menyentuh, bahkan—na’udzubillahi min dzalik—hingga melakukan zina.
Seorang lelaki mencintai seorang wanita atau sebaliknya
adalah fitrah manusia yang telah Allah takdirkan. Kendati demikian, jangan
sampai kecintaan tersebut melanggar batasan-batasan yang telah Allah atur dalam
agama. Jangan sampai anugerah cinta yang Allah karuniakan kepada kita justru
malah mengarah pada murka Allah. Pendeknya, cinta yang diiringi dengan
kemaksiatan tentu akan menodai kesucian cinta yang Allah anugerahkan.
3. Cinta Tidak Karena Allah
Salah satu sebab yang bisa menodai kesucian cinta adalah
mencintai sesuatu tidak karena Allah, melainkan semata-mata karena kesenangan
duniawi. Bagi orang yang beriman, mencintai adalah salah satu bentuk ibadah
yang suci. Oleh karena itu, cintanya orang beriman tidak berhenti hanya sebatas
kesenangan duniawi, tetapi dilandasi karena cinta kepada Allah.
Kanjeng Nabi Muhammad pernah bersabda, “Barangsiapa yang
mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, tidak
memberi pun karena Allah, sungguh imannya telah sempurna” (HR. Abu Daud). Dalam hadits lain Nabi juga mengatakan, “Tali
iman yang paling kuat adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah” (HR.
Tirmidzi). Jadi, salah satu tanda kesempurnaan iman seseorang adalah mencintai
segala yang kita cintai karena Allah semata.
4. Menomorduakan Cinta Kepada Allah
Kita boleh cinta kepada selain Allah, tetapi jangan sampai
menomorduakan cinta kepada Allah. Sebab, cinta kepada Allah harus di atas
segala cinta, cinta kepada Allah harus nomor satu, dan harus tiada
tandingannya. Setelah itu, cinta kepada Rasul-Nya Sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Baru
kemudian disusul cinta kepada yang lain, seperti cinta kepada para sahabat,
tabi’in, ulama, para wali, orangtua, anak, sanak-saudara, dan seterusnya.
*Diambil dari catatan tabligh akbar “Noda-Noda Cinta” yang
disampaikan Ustadz Abdullah Zaen hafizhahullah
pada hari Ahad, 27 Sya’ban 1436 / 14 Juni 2015 di Masjid Agung Darussalam
Purbalingga, dengan beberapa penambahan dan pengurangan dari pencatat.
By Rihan Musadik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar