Hari itu
tepat saat hari ulang tahunku
Bumi bergoncang
tepat saat waktu dhuhur
tepat saat orang-orang shalat
ini hadiah ulang tahun dari Tuhanku
tepat saat itu
Aku tersadar
Bibir ini terus mengucap kalimat-Nya
Hati ini terus terhubung dengan Dia
betapa kecilnya manusia
begitu paniknya hanya dengan goncangan 6,5 skala richter
masihkah ada yang mau untuk berpongah diri
masih adakah yang mengandalkan diri
Lindu siang itu
membuat beberapa rumah terkoyak
Rumah ibadah pun ambruk
itu hanya goncangan kecil
Hadiahku pada hari itu
berupa kesadaran akan kelemahan diri
Rasa pasrah, menyandar, tawakkal
hanya pada-Nya
Bukan bersandar pada diri sendiri
atau yang lain
Rihan Musadik
Jogja, Januari 2014
Senin, 27 Januari 2014
Saudaraku Di sana
ya ukhti, apapun namanya
itu kau, malah membunuhku
ya akhi, kaukah, itulah
membuatku melemah
kulenyapkan saja dikau, pandir, tanyaku
akhi fillah dengan lembut mencegah
aku gertak, ia tahu itu gertak sambal
bosan aku dengan perkataan itu
lalu apa, dan harus bagaimana?
Rihan Musadik
Jogja, 26 Januari 2014
itu kau, malah membunuhku
ya akhi, kaukah, itulah
membuatku melemah
kulenyapkan saja dikau, pandir, tanyaku
akhi fillah dengan lembut mencegah
aku gertak, ia tahu itu gertak sambal
bosan aku dengan perkataan itu
lalu apa, dan harus bagaimana?
Rihan Musadik
Jogja, 26 Januari 2014
Jumat, 24 Januari 2014
Aku Bertanya Kau
“Kau pilih yang mana?” tanyaku
Ia tak menjawab, hanya merenung
“Apa kau yakin itu di antaranya?”
Ia masih saja terdiam
“Apakah selayu ini dirimu, hingga tak mampu menjawab sepatah kata pun?”
Aku pikir itu semua pilihanmu yang sudah kau pilah-pilah
kenapa kau begitu pusing dibuatnya,
sampai-sampai memilih satu saja kau pun tak sanggup
Aku perhatikan, ia mulai membuka mulut
Aku menduga ia akan segera menjawab pertanyaanku
Kudengarkan dengan seksama, hati-hati aku mendengarnya
Ia pun bersuara, “Aku tak tahu, kawan”
Sungguh, jawaban tak memuaskan
Ia lanjutkan ucapannya,
Aku bahkan ragu itu semua pilihanku
ataukah sekedar mampir sebentar, lalu pergi entah kemana
seperti yang dulu-dulu
Kalaupun di antara mereka itu milikku
dengan senang hati aku menerimanya
“Kau yakin satu di antara mereka itu milikmu,” aku menyela
“Tidak juga,” katanya
“Lantas?”
Aku tidak mungkin tahu, sobat
Lantaran hidupku ini sudah ditentukan dengan siapa
“Siapa yang menentukanmu kalau bukan kamu?” aku makin penasaran
Kau cari sendirilah, kawan
mudah-mudahan kau menemukannya
Dia itu yang mengatur aku dan juga kamu
Kali ini, aku yang terdiam, merenung, terus kucari, siapa Dia?
Rihan Musadik
Jogja, 24 Januari 2014
Ia tak menjawab, hanya merenung
“Apa kau yakin itu di antaranya?”
Ia masih saja terdiam
“Apakah selayu ini dirimu, hingga tak mampu menjawab sepatah kata pun?”
Aku pikir itu semua pilihanmu yang sudah kau pilah-pilah
kenapa kau begitu pusing dibuatnya,
sampai-sampai memilih satu saja kau pun tak sanggup
Aku perhatikan, ia mulai membuka mulut
Aku menduga ia akan segera menjawab pertanyaanku
Kudengarkan dengan seksama, hati-hati aku mendengarnya
Ia pun bersuara, “Aku tak tahu, kawan”
Sungguh, jawaban tak memuaskan
Ia lanjutkan ucapannya,
Aku bahkan ragu itu semua pilihanku
ataukah sekedar mampir sebentar, lalu pergi entah kemana
seperti yang dulu-dulu
Kalaupun di antara mereka itu milikku
dengan senang hati aku menerimanya
“Kau yakin satu di antara mereka itu milikmu,” aku menyela
“Tidak juga,” katanya
“Lantas?”
Aku tidak mungkin tahu, sobat
Lantaran hidupku ini sudah ditentukan dengan siapa
“Siapa yang menentukanmu kalau bukan kamu?” aku makin penasaran
Kau cari sendirilah, kawan
mudah-mudahan kau menemukannya
Dia itu yang mengatur aku dan juga kamu
Kali ini, aku yang terdiam, merenung, terus kucari, siapa Dia?
Rihan Musadik
Jogja, 24 Januari 2014
Hujan Darah
Bagiku hujan adalah kekuatan
membakar hati hingga membara
guyurannya berirama di atas atap-atap gubuk
membasahi ibu pertiwi yang selalu menunggu
Aku bayangkan guyurannya adalah darah
berceceran di atas muka bumi
sebagai isyarat perjuangan tak takut mati
berjuang sampai merangkak, merayap, meronta-ronta
sampai titik darah penghabisan
seluruh tubuh dipenuhi luka
berdarah-darah
Dan bumi pertiwi tersenyum
karena dilumuri darah
Darahnya para pejuang
tidak berbau anyir
Ia semerbak bagai kasturi dari surga
Rihan Musadik
Jogja, 24 Januari 2014
membakar hati hingga membara
guyurannya berirama di atas atap-atap gubuk
membasahi ibu pertiwi yang selalu menunggu
Aku bayangkan guyurannya adalah darah
berceceran di atas muka bumi
sebagai isyarat perjuangan tak takut mati
berjuang sampai merangkak, merayap, meronta-ronta
sampai titik darah penghabisan
seluruh tubuh dipenuhi luka
berdarah-darah
Dan bumi pertiwi tersenyum
karena dilumuri darah
Darahnya para pejuang
tidak berbau anyir
Ia semerbak bagai kasturi dari surga
Rihan Musadik
Jogja, 24 Januari 2014
Rabu, 01 Januari 2014
Perbedaan Rematch dan Revans
Oleh: Rihan Musadik
Revans Pacquiao vs Marquez jilid 4 |
Dalam dunia olahraga, dua istilah ini, yaitu rematch dan revans mungkin sudah tidak asing lagi di telinga kita. Media-media baik cetak maupun elektronik seringkali menyebutkan kedua istilah ini, namun tidak sedikit di antara kita yang kurang paham apa sebenarnya pengertian kedua istilah tersebut dan apa perbedaannya?
Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) istilah rematch tidak tercantum, sedangkan istilah revans tercantum. Revans diartikan sebagai penebusan kekalahan dalam permainan atau olahraga, contoh kalimatnya: Ia akan mengadakan revans terhadap orang yang mengalahkannya. Untuk istilah rematch dalam kamus berbahasa Inggris diartikan dengan sesuatu terutama permainan atau olahraga yang dimainkan lagi, atau dengan kata lain disebut tanding ulang. Lantas apa perbedaan kedua istilah tersebut?
Langganan:
Postingan (Atom)