Hari Minggu, tepatnya
pada tanggal 10 Agustus 2014, saya harus merelakan untuk meninggalkan Yogyakarta,
terutama kampung Kepuh, pedukuhan Samirono. Di situlah saya tinggal selama
kurang lebih empat tahun. Barang-barang kost diangkut semuanya ke dalam mobil Daihatsu Zebra yang kami bawa dari
Purbalingga bersama ibu, kakak, dan saudara sepupuku sehari sebelumnya. Beberapa
warga yang saya temui berjabat tangan denganku, saya mohon pamit hendak
meninggalkan kampung Kepuh ini, karena studi S-1 saya sudah selesai. Semalam sebelumnya
saya sempat bersilaturahmi ke rumah Bapak Kost, karena memang masih suasana lebaran Idul Fitri, beberapa jama'ah mushola juga sudah saya salami. Pemilik warung
makan di sebelah kostku juga sudah saya
salami untuk pamit pulang, juga dengan beberapa warga yang kebetulan saya temui di jalan.
Rasanya sedih sekali hendak
melepas kepergian dari kampung Kepuh ini, empat tahun saya tinggal di kampung
ini untuk menyelesaikan kuliah S-1 di UNY. Apalagi karena memang saya sudah
akrab dengan warga sekitar terutama jama'ah mushola yang hanya beberapa langkah
dari kostku. Di samping itu, karena memang ada seorang wanita yang di akhir
semester sempat mencuri perhatianku, lewat “curi-curi pandang”. Tapi entah
kenapa, rasanya bahasa hati bisa berkomunikasi meski lisan tidak saling
bercakap. Sehingga tatkala saya hendak pulang dan pamit, dari matanya tampak
pancaran kerinduan yang tak sempat diucap. Begitulah kata para ulama, dari mata
turun ke hati, itulah wanita, yang kata beberapa orang, racun dunia, virus
cinta, dan sebagainya. Maka tak salah jika Allah memerintahkan kita sebagai
seorang muslim untuk menundukkan pandangan, dan Rasul pun pernah bersabda bahwa
fitnah terbesar adalah wanita. Di lain waktu, beliau juga mewanti-wanti untuk
tidak terus memandangi wanita yang bukan muhrim, palingkan pandanganmu, karena
pandangan kedua dan seterusnya itu nafsu dan dosa.