- Saya tidak rela, hati dan pikiran
saya terpaut pada hal-hal yang tidak membawa manfaat di akhirat.
- Dunia ini penuh dengan simbol.
Tidak ada simbol yang lebih baik, melainkan simbol yang Allah turunkan bagi
manusia. Maka, relakah kita mengikatkan diri pada simbol-simbol buatan manusia?
- Aturan buatan manusia pastilah banyak
terdapat kontradiksi. Tetapi aturan Sang Pencipta, tidak ada kontradiksi
sedikitpun di dalamnya.
- Banyak manusia mencari kebebasan
dengan melakukan apa saja yang ia kehendaki. Lalu ia pun berbuat sesuka hati
padahal menabrak aturan Ilahi. Sejatinya ia tidak bebas, ia justru terbelenggu
oleh hawa nafsunya sendiri. Sungguh, kebebasan sejati adalah ketika manusia
tidak lagi diperbudak oleh hawa nafsunya. Kebebasan tertinggi adalah ketika
manusia bisa berbuat sesuai kehendak Allah subhanahu
wa ta’ala Yang Maha Bebas.
- Jiwa kita tetap terbelenggu dan tidak
bebas, kecuali jika kita menyelam ke dalam samudra Ilahi.
-
Sebuah kata, kalimat, atau bahasa hanyalah selubung yang tidak akan pernah bisa mewakili realitas yang sebenarnya.
- Hati dan pikiran manusia sering
terbelenggu oleh hal-hal duniawi yang sangat sepele, karena ia sendiri yang menciptakan
belenggu bagi dirinya. Maka untuk mencapai kebebasan hakiki, manusia perlu menyelam
ke dalam samudra kebebasan yang tidak ada lagi belenggu di dalamnya, semuanya
penuh dengan kebebasan, kedamaian, dan kebahagiaan. Ketahuilah, samudra
kebebasan adalah Din al-Islam.
-
Sebuah kata, kalimat, atau bahasa hanyalah tanda, simbol, topeng yang mewakili sebuah realitas, tapi tak pernah menggambarkan hakikat yang sesungguhnya.
- Banyak manusia yang mengalami
ketergantungan dan tidak bisa lepas dari belenggu nafsu. Tapi nafsu
sendiri tak akan membelenggu, kecuali jika manusia itu sendiri yang menjadi
budaknya. Maka, jadilah tuan yang kuat dan tegas bagi nafsumu yang selalu
membangkang. Sebab jika kau tak tegas pada nafsumu, maka lihatlah, ia akan
mulai melawan dan mengikatmu.
-
Dunia penuh dengan belenggu. Kita hanya bisa lepas dari belenggu dunia, ketika kita mampu memaknai kalimat laa ilaha illallah. Tiada sesembahan yang berhak disembah, melainkan hanya Allah. Saya tidak terikat, tidak bergantung, dan tidak bersandar dengan apapun juga, kecuali hanya kepada Allah Yang Maha Berkuasa.
Sabtu, 31 Januari 2015
Bebas dari Belenggu
Selasa, 27 Januari 2015
Menulis, Tak (Harus) Terikat Aturan?
Oleh: Rihan Musadik
Beberapa penulis
menganggap, kerapian sebuah tulisan adalah hal yang penting dan mesti
dilakukan. Akan tetapi, beberapa penulis lain berpikir bahwa kerapian tulisan
tidak terlalu penting alias tidak perlu diprioritaskan, karena yang lebih
penting adalah isi tulisan yang memberi manfaat bagi para pembacanya, meski
tulisan tersebut terkesan tidak rapi. Lebih dari itu, ada pula penulis yang
mengatakan bahwa kalimat yang baku sesuai KBBI juga tidak terlalu penting,
karena yang terpenting adalah sejauh mana kebermaknaan dan kebermanfaatan
sebuah tulisan bagi para pembacanya. Lagi pula yang disebut bahasa, kata, kalimat,
tulisan, atau tanda baca, hanyalah sebuah konvensi atau kesepakatan bersama
antara orang-orang yang menjadi pemakai bahasa tersebut.
Sebagai contoh
adalah bentuk tulisan, ada yang menganggap rata kanan-kiri sebagai bentuk
tulisan yang rapi, meski jarak antarkata terlihat renggang dan tidak seragam.
Namun, ada pula yang melihat jika tulisan rata kiri lebih rapi, karena jarak
antarkata pasti seragam dan tidak renggang. Terlepas dari masing-masing
anggapan, bentuk atau kerapian sebuah tulisan mesti disesuaikan dengan konteks
sebuah tulisan. Misalnya dalam menulis karya ilmiah, tentu harus mengikuti
aturan baku penulisan karya ilmiah. Sebab, salah satu aspek sebuah tulisan
dianggap ilmiah, di samping menggunakan bahasa yang baku, bentuk dan struktur
tulisannya juga harus mengikuti tata cara penulisan ilmiah.
Meskipun
terkadang, aturan penulisan ilmiah juga berbeda-beda antara institusi satu dengan
institusi lainnya, antara universitas satu dengan universitas lainnya, antara
fakultas A dan fakultas B, antara penerbit A dan penerbit B, antara jurnal A
dan jurnal B, bahkan antara dosen yang satu dengan dosen yang lainnya pun
berbeda—dalam beberapa hal—dalam menilai aturan ilmiah sebuah tulisan. Itu
sebabnya saya sering menemukan buku pedoman tata cara penulisan karya ilmiah—yang
dalam beberapa hal berbeda-beda—dari masing-masing universitas ataupun
fakultas. Kenapa tidak diseragamkan saja aturan penulisan karya ilmiah dari semua
universitas di Indonesia? Jawabannya karena tidak ada kesepakatan mutlak,
masing-masing punya penilaian sendiri dan punya buku pedomannya sendiri.
Minggu, 25 Januari 2015
Selasa, 20 Januari 2015
Lemah Lembut dalam Berucap
Oleh: Rihan Musadik
Berkata sopan dan lemah lembut adalah bagian dari
akhlak Islam yang wajib dipraktekkan oleh setiap muslim yang selalu menjaga
imannya. Berkata yang baik serta tidak menyakitkan lawan bicara juga merupakan
etika universal yang setiap orang pasti mengakuinya. Bukan hanya kepada sesama
muslim saja kita diajarkan untuk berkata-kata yang baik dan lemah lembut,
tetapi kepada siapapun, baik muslim maupun non-muslim, lawan debat ataupun
kawan akrab, bahkan kepada musuh sekalipun kita juga diharuskan untuk berkata
baik dan lemah lembut.
Dalam Al-Qur’an, Allah memerintahkan kepada Nabi Musa
untuk berkata lemah lembut kepada Fir’aun dalam rangka mengajak kepada agama
Allah. Tujuannya agar dengan kata-kata yang lemah lembut, Fir'aun bisa terbuka hatinya untuk menerima kebenaran dan mengikuti agama Allah. Dalam ayat lain juga disebutkan, ”Tolaklah keburukan itu dengan cara
yang lebih baik, maka orang yang memusuhimu seketika akan berubah menjadi teman akrab”.
Juga ayat yang berbunyi, “Bantahlah mereka dengan cara yang baik”.
Selain firman Allah, sabda Nabi juga banyak
mewasiatkan kepada setiap muslim untuk senantiasa menjaga lisannya dari
kata-kata yang buruk. Kata Nabi, “Seorang muslim adalah yang orang lain merasa
aman dari lisan dan tangannya. Di lain kesempatan, beliau juga bersabda, “Barangsiapa
yang mampu menjamin kepadaku untuk selalu menjaga lisan dan kemaluannya, aku
jamin baginya surga”. Begitu perhatiannya agama Islam dalam mengajarkan ucapan-ucapan
yang baik, menjauhi kata-kata yang buruk serta menyinggung perasaan orang lain,
hingga Rasulullah pun mengisyaratkan bahwa ucapan yang baik merupkan salah satu
indikator dari keimanan seseorang. “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan
hari Akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam,” demikian Rasulullah
bersabda.
Kamis, 15 Januari 2015
Pengertian dan Perbedaan Naluri, Insting, Feeling, Firasat, Intuisi, Nurani, Emosi, Inspirasi, Ilham
A. Naluri
Naluri ialah pembawaan alami yang tidak disadari atau tidak perlu dipelajari
karena memang sudah bawaan (fitrah atau kodrat) dari Allah Sang Pencipta, yang
mendorong untuk berbuat sesuatu, dan terdapat pada semua jenis makhluk hidup,
baik itu hewan maupun manusia. Biasanya kata naluri digunakan untuk menunjuk
sesuatu berupa pembawaan khas suatu makhluk atau berupa kasih sayang induk pada
anaknya.
Contoh: Naluri keibuan ataupun naluri kebapakan akan muncul dengan sendirinya; Secara naluri seorang ibu pasti memiliki kasih sayang dan ikatan
batin dengan anaknya; Sepasang suami-istri secara naluri pasti akan melakukan
hubungan badan meski mereka tidak pernah mempelajarinya; Secara naluri laki-laki
tertarik dengan perempuan, begitu pula sebaliknya; Secara naluri induk ayam
akan melindungi anaknya; Secara naluri laki-laki memiliki sifat maskulin,
sedangkan wanita memiliki sifat feminin; dan sebagainya.
Aku Tak Punya
Betapa bodohnya aku
Kuanggap itu milikku
ternyata bukan
Kuanggap itu kemampuanku
ternyata juga bukan
kepintaran, kekuatan, kemenangan
kesuksesan, kelulusan, keberhasilan
kebahagiaan, ketenangan, kedamaian
ketaatan, ketakwaan, keimanan
istiqomah, sabar, khusyu’
Sampai kesadaran, penyesalan, dan pertaubatanku
adalah semata-mata karunia Allah
Kasih sayang Allah
Pemberian Allah
Milik Allah
Ya Allah, ampuni hamba
Beberapa pakaian-Mu telah engkau pinjamkan kepadaku
Tapi aku selalu mengaku dengan penuh kesombongan
bahwa itu pakaianku
padahal pakaian-Mu
Itu semua milikmu semata
Aku tak punya apa-apa
Untuk memakai pinjaman-Mu pun aku tak berdaya
Kenikmatan apalagi yang lebih besar
selain kesadaran untuk selalu mensyukuri segala nikmat-Mu
Rihan Musadik
Purbalingga, 25 Rabi'ul Awwal 1436 H
Kuanggap itu milikku
ternyata bukan
Kuanggap itu kemampuanku
ternyata juga bukan
kepintaran, kekuatan, kemenangan
kesuksesan, kelulusan, keberhasilan
kebahagiaan, ketenangan, kedamaian
ketaatan, ketakwaan, keimanan
istiqomah, sabar, khusyu’
Sampai kesadaran, penyesalan, dan pertaubatanku
adalah semata-mata karunia Allah
Kasih sayang Allah
Pemberian Allah
Milik Allah
Ya Allah, ampuni hamba
Beberapa pakaian-Mu telah engkau pinjamkan kepadaku
Tapi aku selalu mengaku dengan penuh kesombongan
bahwa itu pakaianku
padahal pakaian-Mu
Itu semua milikmu semata
Aku tak punya apa-apa
Untuk memakai pinjaman-Mu pun aku tak berdaya
Kenikmatan apalagi yang lebih besar
selain kesadaran untuk selalu mensyukuri segala nikmat-Mu
Rihan Musadik
Purbalingga, 25 Rabi'ul Awwal 1436 H
Nasab atau Silsilah Rihan Musadik
Bani Kasanom (Sokaraja)
Sumber:
- Jalur Ayah dan Kakek ~ Rihan Musadik bin Kustono bin Nakum bin Sanmuhroji bin Prayabangsa
- Jalur Ayah dan Nenek ~ Rihan Musadik bin Kustono bin Tukirah binti Yasbari binti Yasmaja bin Kasanom bin...
- Jalur Ibu dan Kakek ~ Rihan Musadik bin Murniati binti Sukhedi bin Yasmaja bin Kasanom bin...
- Jalur Ibu dan Nenek ~ Rihan Musadik bin Murniati binti Sartiah binti Mangun bin...
Sumber:
Zainal Qodri. 1992. Silsilah Bani H. Abas dan Kasanom. Semarang: Jalan Tengger.
Rabu, 14 Januari 2015
Kuliah Pelatihan Adaptif
Prakata
Pada waktu
kuliah semester tiga, penulis sempat mendapat materi kuliah Pelatihan Adaptif
dari Prof. Sukadiyanto. Akan tetapi, beliau mengajar kelas kami hanya beberapa
kali saja, karena minggu-minggu berikutnya hingga semester tiga berakhir,
kuliah Pelatihan Adaptif dilanjutkan oleh dosen lain. Hal ini bisa dipahami,
karena Prof. Sukadiyanto adalah dosen yang cukup sibuk dan sudah banyak mata
kuliah yang diampu oleh beliau.
Di samping itu,
sebenarnya beliau juga tidak terlalu suka dengan mata kuliah baru ini. Hal ini
terlihat ketika beliau mengajar kelas kami di awal-awal pertemuan, beliau
sering mengkritik dan mengatakan ketidaksetujuannya dengan program baru mata
kuliah Pelatihan Adaptif. Akan tetapi, karena satu atau lain alasan, akhirnya
beliau mau juga mengampu mata kuliah ini. Beliau sering mengatakan, mata kuliah
Pelatihan Adaptif tidak penting bagi mahasiswa PKO, karena fokus mahasiswa
kepelatihan itu untuk melatih anak-anak normal bukan yang berkebutuhan khusus,
melatih yang normal saja sulit apa lagi yang berkebutuhan khusus.
Akan tetapi,
karena sudah menjadi keputusan fakultas, akhirnya launching juga mata kuliah ini, dan kebetulan angkatan kami (2010)
yang pertama kali mendapat mata kuliah ini. Lalu kenapa yang ditugasi Prof.
Sukadiyanto? Menurut penuturan beliau, karena dosen lain tidak ada yang
mengiyakan alias menyanggupi, dan karena dorongan dekan, terpaksa beliau
menyanggupinya.
Selasa, 13 Januari 2015
Perbedaan Kepribadian Seseorang
Oleh: Rihan Musadik
Kepribadian
seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungan dimana orang tersebut tumbuh dan
berkembang. Pertama sekali, seseorang akan sangat dipengaruhi oleh lingkungan
keluarganya, bagaimana cara orangtua mendidik anak-anaknya akan sangat berpengaruh dalam
membentuk kepribadian anak tersebut.
Jika sejak kecil
anak di-didik dengan nilai-nilai religius, moral, kesopanan, kemandirian, dan
budi pekerti; maka hal itu akan membuat pribadi anak menjadi baik. Sebaliknya,
jika sejak kecil anak hidup dalam lingkungan yang tidak baik dan orangtuanya tidak
mendidik dengan nilai-nilai agama; maka besar kemungkinan anak tersebut akan
memiliki kepribadian yang buruk.
Di samping
pengaruh dari lingkungan dan pendidikan dalam kelurga, pendidikan yang diperoleh
seorang anak di luar keluarga juga akan ikut mempengaruhi baik atau tidaknya
kepribadian anak tersebut. Oleh karena itu, orangtua harus selektif dalam
memasukkan anak-anaknya ke lembaga pendidikan.
*Ditulis dalam diskusi mata kuliah Psikologi Pendidikan
Relasi antar Institusi Sosial
A. Institusi Sosial
/ Pranata Sosial:
- Kinship (keluarga)
- Religi (agama)
- Education (pendidikan)
- Economy (ekonomi)
- Politik
B. Keterkaitan
Secara Makro antar Institusi Sosial
Institusi sosial
pertama yang bersentuhan dengan kehidupan seseorang adalah kinship, yakni institusi dalam keluarga. Dari keluarga inilah
seseorang memperoleh education, yakni
pendidikan pertama dari masa kanak-kanak hingga menginjak usia remaja atau
dewasa. Akan tetapi, seseorang tidak hanya memperoleh pendidikan dari keluarga
saja, tentunya ia akan mendapatkan pendidikan dari luar keluarga, entah itu
dari sekolah, lingkungan, maupun pergaulan.
Kemudian dalam
dunia pendidikan, khususnya sekolah atau lembaga pendidikan yang lain, baik yang formal, informal, maupun non-formal, akan diajarkan berbagai aspek dalam
kehidupan, salah satunya religi. Dari sini seseorang akan memperoleh tambahan
pengetahuan tentang aspek religi atau agama, yang sebelumnya pengetahuan religi
didapat dari keluarga, tentu saja jika keluarga tersebut menanamkan nilai-nilai
religiusitas semenjak kecil.
Senin, 12 Januari 2015
Kuliah Filosofi Kepelatihan (2)
A. Ciri-Ciri Latihan
- Proses latihan harus teratur (ajeg, maju, dan berkelanjutan)
- Latihan bersifat progresif (materi latihan diberikan dari yang mudah ke yang sukar, dari yang sederhana ke yang kompleks, dan dari yang ringan ke yang lebih berat)
- Setiap satu kali tatap muka harus memiliki tujuan dan sasaran yang jelas
- Materi latihan berisikan materi teori dan praktek
- Menggunakan metode tertentu, yakni cara paling efektif yang direncanakan secara bertahap dengan memperhitungkan faktor kesulitan, kompleksitas gerak, dan penekanan pada sasaran latihan.
B. Tujuan dan Sasaran Latihan
- Meningkatkan kualitas fisik dasar secara umum dan menyeluruh
- Mengembangkan dan meningkatkan potensi fisik khusus
- Menambah dan menyempurnakan keterampilan teknik
- Mengembangkan dan menyempurnakan strategi, taktik, dan pola bermain
- Meningkatkan kualitas dan kemampuan psikis olahragawan dalam bertanding
Kuliah Filosofi Kepelatihan (1)
Prakata
Almarhum Prof. Dr. Sukadiyanto, M.Pd. adalah salah seorang dosen sekaligus guru besar di Fakultas Ilmu
Keolahragaan, Universitas Negeri Yogyakarta (FIK UNY). Beliau meninggal pada 10
Desember 2014 di usianya yang ke-54. Sewaktu penulis masih menjalani kuliah pada program
studi Pendidikan Kepelatihan Olahraga (PKO), penulis sempat diajar beliau untuk
mata kuliah Filosofi Kepelatihan dan Pelatihan Adaptif.
Prof.
Sukad—demikian beliau sering disapa oleh para mahasiswa—adalah dosen yang
sangat produktif menghasilkan karya ilmiah, tulisan-tulisan beliau telah banyak
diterbitkan di berbagai jurnal keolahragaan maupun pendidikan, buku-buku beliau
juga telah diterbitkan, yaitu Pengantar Teori
dan Metodologi Melatih Fisik dan Metode
Melatih Fisik Petenis.
Ada
beberapa materi kuliah dan tulisan-tulisan Prof. Sukadiyanto yang sempat beliau upload sendiri di staff.uny.ac.id, pembaca bisa men-download-nya di website tersebut. Akan
tetapi, untuk materi kuliah Filosofi Kepelatihan tidak atau belum beliau upload karena satu atau lain sebab. Oleh
karena itulah, penulis merasa terpanggil untuk mempublikasikan catatan-catatan materi
kuliah Filosofi Kepelatihan yang didapat dari beliau.
Langganan:
Postingan (Atom)