Selasa, 27 Januari 2015

Menulis, Tak (Harus) Terikat Aturan?

Oleh: Rihan Musadik 

Beberapa penulis menganggap, kerapian sebuah tulisan adalah hal yang penting dan mesti dilakukan. Akan tetapi, beberapa penulis lain berpikir bahwa kerapian tulisan tidak terlalu penting alias tidak perlu diprioritaskan, karena yang lebih penting adalah isi tulisan yang memberi manfaat bagi para pembacanya, meski tulisan tersebut terkesan tidak rapi. Lebih dari itu, ada pula penulis yang mengatakan bahwa kalimat yang baku sesuai KBBI juga tidak terlalu penting, karena yang terpenting adalah sejauh mana kebermaknaan dan kebermanfaatan sebuah tulisan bagi para pembacanya. Lagi pula yang disebut bahasa, kata, kalimat, tulisan, atau tanda baca, hanyalah sebuah konvensi atau kesepakatan bersama antara orang-orang yang menjadi pemakai bahasa tersebut.

Sebagai contoh adalah bentuk tulisan, ada yang menganggap rata kanan-kiri sebagai bentuk tulisan yang rapi, meski jarak antarkata terlihat renggang dan tidak seragam. Namun, ada pula yang melihat jika tulisan rata kiri lebih rapi, karena jarak antarkata pasti seragam dan tidak renggang. Terlepas dari masing-masing anggapan, bentuk atau kerapian sebuah tulisan mesti disesuaikan dengan konteks sebuah tulisan. Misalnya dalam menulis karya ilmiah, tentu harus mengikuti aturan baku penulisan karya ilmiah. Sebab, salah satu aspek sebuah tulisan dianggap ilmiah, di samping menggunakan bahasa yang baku, bentuk dan struktur tulisannya juga harus mengikuti tata cara penulisan ilmiah.

Meskipun terkadang, aturan penulisan ilmiah juga berbeda-beda antara institusi satu dengan institusi lainnya, antara universitas satu dengan universitas lainnya, antara fakultas A dan fakultas B, antara penerbit A dan penerbit B, antara jurnal A dan jurnal B, bahkan antara dosen yang satu dengan dosen yang lainnya pun berbeda—dalam beberapa hal—dalam menilai aturan ilmiah sebuah tulisan. Itu sebabnya saya sering menemukan buku pedoman tata cara penulisan karya ilmiah—yang dalam beberapa hal berbeda-beda—dari masing-masing universitas ataupun fakultas. Kenapa tidak diseragamkan saja aturan penulisan karya ilmiah dari semua universitas di Indonesia? Jawabannya karena tidak ada kesepakatan mutlak, masing-masing punya penilaian sendiri dan punya buku pedomannya sendiri.

Baiklah, mungkin tulisan ilmiah yang menggunakan bahasa baku sesuai dengan KBBI ataupun EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) banyak yang disepakati. Akan tetapi, ini pun juga tidak lepas dari ketidaksepakatan, sebab ada juga akademisi yang dalam beberapa kata atau kalimat tidak sepakat apakah kata tertentu baku atau tidak baku, apakah kalimat yang ditulis sudah baku atau tidak baku. Hal ini saya rasakan sendiri ketika bimbingan skripsi hingga ujian skripsi. Menurut dosen A, kalimatnya sudah baku dan kata yang dipakai juga sudah baku. Lalu pada saat ujian skripsi—banyak koreksi—lain lagi kata dosen B, “Kalimat ini tidak baku, harusnya seperti ini kalimat yang benar, kata yang ini juga tidak baku, yang baku seperti ini”. Bukan hanya saya, hal yang demikian juga dialami teman-teman saya. Menurut dosen pembimbing yang satu, sudah baik dan benar, tetapi menurut dosen pembimbing satunya lagi tidak baku. 

Melihat perbedaan para dosen pembimbing atau penguji, lalu harus bagaimana? Ya, tentu kebanyakan mahasiswa lebih memilih manut dengan dosen yang killer, pokoknya “aku dengar aku taat”. Kalau membantah bagaimana? Ya, skripsi nggak bisa khatam donk. Kalau tulisan ilmiah saja banyak terdapat perbedaan alias ketidaksepakatan, bagaimana dengan tulisan non-ilmiah atau semi ilmiah? Tentu lebih banyak perbedaannya. Kalau sudah demikian, kembali lagi ke prinsip dasar bahwa bahasa itu konvensional (kesepakatan) dan arbitrer (suka-suka). Meminjam nasihatnya Salim A. Fillah dari ayahnya, “Bahasa itu kesepakatan, artinya jika penyampai dan penerima telah memahaminya, maka bahasa itu baik dan benar”.

Kaitannya dengan pembahasan ini, entah kenapa akhir-akhir ini saya merasa resah dengan bentuk atau struktur tulisan yang rapi. Mau pilih rata kanan-kiri, tetapi jarak antarkata bisa renggang dan tidak seragam; atau pilih rata kiri saja sehingga jarak antarkata seragam dan tidak renggang, tetapi sebelah kanan tidak rapi. Sepertinya saya harus mulai melupakan mana yang lebih rapi dan tidak rapi, lagi pula hal ini hanya masalah persepsi dan konvensi belaka. Lebih baik fokus pada makna, manfaat, kualitas, serta isi tulisan, ini yang jauh lebih penting. Tentunya tanpa harus mengabaikan kerapian tulisan.

Kalau seandainya memilih tulisan yang rata kanan-kiri, lalu banyak terdapat kerenggangan jarak antarkata, atau tidak seragamnya jarak antarkata tiap baris, maka biarkan saja apa adanya, toh masih terlihat rapi karena rata kanan dan kiri. Dengan kata lain, jika ada baris tulisan yang rapat-rapat dan renggang-renggang antarkata serta tidak seragamnya jarak antarkata di tiap barisnya, anggap saja hal itu lebih bervariatif dan berwarna, menambah dinamika pandangan ketika membacanya sehingga tidak membosankan. Kalaupun memilih tulisan rata kiri saja dan sisi sebelah kanan tidak rata alias acak, maka anggap saja masih tetap rapi, toh jarak antarkata tidak renggang dan lebih seragam, meski sisi sebelah kanannya tidak rapi.

Lagi-lagi tergantung penilaian masing-masing penulis, kalau kita lihat di situs-situs internet, koran, surat kabar, tabloid, dan majalah, banyak juga yang menggunakan tulisan rata kiri karena mungkin dianggap lebih rapi dan efektif. Akan tetapi, yang menggunakan format tulisan rata kanan-kiri pun juga tak kalah banyak. Mungkin yang lebih baik adalah rata kanan-kiri sekaligus jarak antarkata seragam dan tidak renggang, tapi biasanya sulit, sebab kalau rata kanan-kiri, ada saja jarak antarkata yang renggang alias tidak seragam dengan yang lain.

Saya jadi teringat teori semiotika post-struktural, teori ini menggunakan atau memaknai suatu tanda dengan cara tidak terikat pada struktur atau aturan yang sudah baku. Post-struktural tidak mengikuti sistem atau struktur yang sudah ada, ia bahkan intertekstualitas, yaitu memakai lintas tanda, mengambil tanda atau mengutip yang sudah ada, kemudian dimaknai dengan artikulasi yang baru. Seperti halnya Al-Qur’an, ada saat-saat tertentu Al-Qur’an tidak patuh pada kaidah-kaidah bahasa Arab, tetapi itu tidak banyak, hanya beberapa ayat saja. Hal ini untuk menunjukkan bahwa Al-Qur’an adalah wahyu Tuhan yang tidak terikat dengan apapun.

Kalau boleh dikorelasikan, ketika seorang penulis hendak menuliskan sesuatu dan tidak terlalu terikat dengan aturan baku, maka menurut hemat saya hal itu sah-sah saja. Maknanya, tetap gunakan kaidah dan aturan-aturan baku sesuai konteks tulisan (ilmiah atau non-ilmiah), tetapi tidak atau jangan terlalu terikat, bahkan kalau perlu hipersemiotika, yakni melampaui (beyond) struktur ataupun kesepakatan. Sebab, kalau terlalu terikat dengan aturan baku, saya khawatir kreativitas dalam menulis justru menjadi terhambat. Tetapi bagi yang sudah terbiasa dengan karya tulis ilmiah, saya yakin tidak menjadi masalah, walaupun ada saja yang kurang sempurna.

Jika diteliti dan diamat-amati sekali lagi, pasti masih ada saja yang salah atau kurang dengan tulisan kita. Hendak mengejar kesempurnaan tulisan, baik bentuk, struktur, pemilihan kata, bahasa, tanda baca, ataupun kerapiannya; rasa-rasanya sulit, terlalu utopis, dan ada saja yang kurang. Maklum, manusia tempatnya salah dan lupa, banyak sekali kekurangan. Kesempurnaan hanyalah milik Allah Yang Maha Sempurna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar