Oleh: Rihan Musadik
Zaman modern adalah zaman yang serba canggih, serba praktis dan otomatis. Hal ini merupakan salah satu takdir Allah sekaligus karunia Allah yang wajib kita syukuri. Tuhan telah menciptakan manusia sejak Nabi Adam hingga sekarang dengan perkembangan otak yang semakin meningkat kecerdasannya, maka tidak heran jikalau otak manusia mampu menciptakan alat dan perangkat kehidupan yang begitu canggih, yang mungkin manusia zaman dahulu akan terkagum-kagum jika saja mereka hidup di zaman kita ini.
Namun yang menjadi pertanyaan, apakah dengan fasilitas kehidupan yang serba canggih dan instan akan semakin mendekatkan diri kita kepada Allah atau justru malah menjauhkan kita dari Allah? Hal inilah yang menjadi inti dari pentingnya agama diturunkan ke muka bumi. Yaitu untuk membawa umat menuju kebahagiaan sejati, membebaskan manusia dari kesengsaraan hidup sekaligus agama berfungsi sebagai kemaslahatan manusia sesuai zamannya karena agama takkan lekang oleh ruang dan waktu.
Sekolah-sekolah mulai dari tingkat pendidikan dasar hingga perguruan tinggi selalu mengajarkan pendidikan agama dan nilai-nilai religius yang sangat berguna bagi generasi muda di masa mendatang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Walaupun porsi pendidikan agama dan moral sangat sedikit dibanding pelajaran yang lain, namun telah menunjukan hasil-hasil yang konkret dimana banyak anak-anak muda yang telah menyadari dan mempraktekkan nilai-nilai moral, kesopanan dan kerukunan di antara sesama yang mana hal ini juga sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan pendidikan dalam keluarga, maka dalam hal menjadi tugas kita semua untuk terus mengajarkan generasi-generasi muda pendidikan agama dalam berbagai bidang kehidupan karena lewat agamalah kita akan mencapai kebahagiaan dan kehidupan yang hakiki.
Tetapi yang menjadi masalah adalah banyak di antara kita baik para pemuda, orangtua, pejabat maupun ulama yang kurang atau bahkan tidak seimbang dalam menjalankan agamanya, yaitu tidak merepresentasikan sebagai seorang yang beragama, baik pada aspek esensial ataupun simbolis, sebab dua hal ini adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam ajaran agama.
Nah, seperti yang telah dipaparkan di atas. Walaupun nilai-nilai moral, kesopanan, kerukunan, kepedulian, dan kasih sayang sudah dijalankan dengan baik, tetapi hal-hal pokok dan aturan-aturan baku yang wajib dikerjakan semisal shalat lima waktu, puasa ramadhan, dan sebaginya justru malah diabaikan begitu saja. Sebaliknya ada pula yang pada aspek-aspek simbolis begitu kuat dan kental, namun perilakunya tidak menunjukkan nilai-nilai religiusitas dan cinta kasih.
Ketidakseimbangan dalam menjalankan agama seperti ini sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari, sebagai contoh seseorang memiliki perilaku yang baik, dermawan, akhlaknya terpuji tapi shalat lima waktu masih anginan, puasa ramadhan masih bolong-bolong, dsb. Mereka ini hanya melaksanakan aspek-aspek moral dan esensinya saja tanpa mempedulikan kewajibannya sebagai seorang muslim.
Sebaliknya ada pula yang shalatnya rajin, puasa fardhu penuh, shalat sunnah tak ketinggalan, pakaiannya pun serba Islami, tapi sayangnya tidak bisa menerima perbedaan dengan bijak, tidak bisa toleran terhadap umat beragama lain atau yang tidak sepaham dengannya. Mereka ini hanya bersembunyi di balik simbol-simbol keagamaan sementara esensi keagamaan yang berupa kasih sayang, adab, toleransi, kemanusiaan, keadilan, dan egalitarianisme kurang diperhatikan bahkan diabaikan begitu saja.
Hal inilah yang menjadi sorotan, renungan, dan koreksi kita bersama supaya dapat menjalankan perintah agama dengan seimbang, antara hubungan vertikal dan horizontal, ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah. Semoga setelah ini kita mampu mengembangkan ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah basyariyah agar Piagam Madinah di masa Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam dapat teraplikasikan kembali dalam kemajemukan bangsa dan negara kita. Amiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar