Senin, 20 Februari 2012

Salafi, Apa dan Mengapa?

Oleh: Rihan Musadik

Buku-Buku Terkait Salafi-Wahabi
Dewasa ini istilah “salafi” sudah tidak asing lagi di telinga kita. Istilah salafi akhir-akhir ini sering disalahartikan oleh sebagian orang. Mereka menganggap bahwa salafi adalah sebuah madzhab dalam Islam yang pengikutnya memiliki ciri khas tertentu dan juga memiliki manhaj tertentu dalam memahami ajaran Islam, yang notabene mengaku sebagai golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Padahal sebenarnya istilah salafi menunjuk pada praktek umat Islam yang memahami ajarannya sesuai dengan pemahaman para ulama terdahulu—generasi sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in—yang lebih populer dengan sebutan salafush shaleh. Artinya, istilah salafi bukan hanya milik golongan tertentu yang mengklaim sebagai pengikut madzhab salaf, yang karenanya mereka menganggap kelompoknyalah yang paling benar dan sesuai dengan pemahaman ulama terdahulu. Akan tetapi, semua umat Islam dapat dikatakan sebagai salafi (pengikut ulama salaf) sepanjang mereka merujuk pada generasi salaf sekaligus mengakui perbedaan pendapat di antara mereka dalam memahami syariat Islam. Sehingga orang Islam yang mengaku sebagai pengikut generasi salaf—disebut salafi—adalah orang Islam yang mengakui adanya perbedaan pendapat dalam memahami syariat Islam, khususnya pada permasalahan furu’iyah (cabang fiqih) sekaligus bersikap toleransi terhadap adanya perbedaan tersebut.

Di satu sisi, istilah salafi seringkali diklaim oleh kelompok Islam tertentu dengan simbol-simbol yang menjadi ciri khas mereka. Sehingga hegemoni salafi mengandaikan hanya milik mereka saja, akibatnya akan berakhir dengan fanatisme golongan, menganggap hanya kelompok merekalah yang paling benar dan sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Di samping itu, kelompok yang menganggap dirinya sebagai “Islam salafi” mengusung jargon “kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah” sesuai dengan pemahaman para ulama salaf, yang ujung-ujungnya mengkalim sebagai golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Implikasinya, banyak orang awam yang akhirnya ikut-ikutan masuk ke dalam golongan “salafi” karena terbujuk oleh kajian-kajian yang selama ini mengaku bahwa pahamnyalah—Al-Qur’an dan Sunnah—yang paling sesuai dengan pemahaman para ulama salaf.

Padahal jika kita telusuri, dalam khazanah Islam, selama ini tidak ada yang namanya “madzhab salaf”. Menurut sebagian pakar, istilah ini muncul sebagai “reformasi” di tubuh wahabi—dinisbatkan kepada pendirinya Muhammad bin Abdul Wahhab—karena istilah wahabi sendiri sudah memiliki “cacat dan borok” di awal dakwahnya dan sudah dicap oleh para ulama sunni sebagai aliran yang menyimpang (deviasi) dari mainstream Ahlus Sunnah Wal Jama’ah karena memiliki pemahaman dan penafsiran ajaran Islam—Al-Qur’an dan Sunnah—yang sedikit-banyak berbeda dari mayoritas ulama salaf. Dan tidak jarang, seringkali menganggap pendapatnya yang paling benar dan shahih, sementara pendapat lainnya dianggap salah, bid'ah, dan lemah.

Di samping itu, kelompok wahabi juga gencar meneriakkan bettle cry-nya yang semakin mewabah di penjuru dunia, yaitu wabah takfir (pengkafiran), tabdi’ (pembid’ahan), tasyrik (pemusyrikan) dan tasykik (upaya menanamkan keraguan), serta mengklaim bahwa akidahnya yang paling murni. Akan tetapi, dakwah mereka di berbagai penjuru dunia lebih banyak tidak diterima alias ditolak, karena masih banyak para ulama sunni yang alim dan faqih untuk berhujjah dalam menolak kekeliruan paham wahabi. Oleh karena dakwah mereka gagal, maka mereka pun menyiasatinya dengan menamakan kelompoknya—wahabi—sebagai “salafi”, tujuannya tidak lain agar dakwah mereka semakin diterima oleh masyarakat luas. Seperti yang dikatakan oleh Prof. Dr. Ali Gomaa (ulama besar Al-Azhar sekaligus mufti Mesir), “Mereka mengubah nama wahabi menjadi salafi untuk mengelabui umat Islam bahwa ajaran wahabi ini tidak bersumber dari Muhammad bin Abdul Wahab melainkan dari salaf. Juga agar mereka merasa lebih aman dan nyaman dari sorotan masyarakat dalam menyebarkan dakwahnya”.

Selain itu, jika kita analisis lebih dalam lagi, sebenarnya konsep manhaj salaf atau madzhab salaf memiliki kerancuan dan kekeliruan. Sesungguhnya para ulama salaf tidak pernah sama dan satu pandangan dalam memahami berbagai masalah agama yang begitu kompleks. Mereka tidak pernah berada dalam satu madzhab yang disebut dengan “madzhab salaf”. Sebagaimana masyhur adanya, yang disebut salaf adalah orang-orang Islam yang hidup di tiga abad pertama setelah masa Rasulullah; diawali oleh masa sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in (termasuk di dalamnya para Imam madzhab karena mereka semua hidup di tiga abad pertama). Mereka semua adalah salaf, tiga abad bukanlah masa yang pendek. Oleh karena itu, ulama salaf jumlahnya amat banyak—ratusan bahkan ribuan—mereka tidak pernah bersatu dalam satu madzhab fiqih (pemahaman). Ketika seseorang mengklaim telah mengikuti salaf, salaf mana yang dimaksud? Apalagi para ulama salaf juga tidak pernah memiliki satu pandangan dalam beberapa hal, hanya beberapa saja yang mereka sepakati (ijma’).

Sampai di sini, tampak jelas bahwa sebenarnya tidak ada masalah dengan arti salafi ini, karena pada dasarnya setiap muslim akan mengakui legalitas kedudukan para sahabat Nabi dan dua generasi umat Islam sesudahnya (tabi’in dan tabi’ut tabi’in). Atau dengan kata lain, seorang muslim manapun sebenarnya adalah pengikut para ulama salaf (salafi), meskipun ia tidak pernah menggembor-gemborkan pengakuan bahwa ia seorang salafi.

Namun demikian, saat ini penggunaan istilah salafi menjadi tercemari, karena istilah salafi saat ini menjadi mengarah pada kelompok gerakan Islam tertentu. Kelompok ini, baik secara eksplisit maupun implisit, getol melakukan klaim sebagai satu-satunya kelompok salaf yang sebenarnya ajarannya telah banyak diwarnai oleh paham wahabi, yang mereka ini cenderung menyimpang dari ajaran Islam yang dianut oleh mayoritas umat Islam sejak zaman Rasulullah hingga saat ini.

Untuk mengetahui lebih dalam mengenai salafi-wahabi—kerancuan, penyimpangan, kekeliruan, dll.—silahkan baca rujukan berikut ini: As-salafiyah Marhalah Zamaniyah Mubarakah La Madzhab Islami karangan Prof. Dr. Said Ramadhan al-Buthi, untuk versi Indonesianya dengan judul Salafi Sebuah Fase Sejarah Bukan Madzhab oleh penulis yang sama. Kemudian buku Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi, Mereka Memalsukan Kitab-Kitab Karya Ulama Klasik; dan Ulama Sejagad Menggugat Salafi-Wahabi. Ketiga buku "Trilogi Data dan Fakta Penyimpangan Salafi-Wahabi" ini ditulis oleh seseorang yang mengaku sebagai—mungkin nama pena, untuk menghindari teror dan ancaman yang tidak diinginkan dari pihak tertentu—Syaikh Idahram. Untuk menambah wawasan fiqih sunni, silahkan baca Buku Pintar Berdebat Dengan Wahabi, dan buku-buku lain karangan Syaikh Muhammad Idrus Ramli hafizhahullahu ta'ala.


Dari Berbagai Sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar