Oleh: Rihan Musadik
Harapan utama dan paling didambakan setelah bergulirnya reformasi adalah terbentuknya civil society. Sebuah masyarakat yang hidup dengan beradab dan memiliki hubungan dialogis yang baik dengan negara. Dalam konsep civil society atau biasa disebut masyarakat madani sangat menjunjung tinggi demokratisasi, kebebasan, keterbukaan, egalitarianisme, dan keadilan. Itulah kira-kira konsep yang diharapkan oleh para reformis, mahasiswa, dan kalangan intelektual yang membidani terjadinya reformasi yang kala itu memang sudah sangat jera oleh pemerintahan orde baru yang memasung kebebasan.
Namun demikian, apa yang terjadi di era reformasi ini justru menunjukkan dampak dan gejala yang berlebihan dari yang diharapkan para reformis dan para pendukungnya. Contoh paling konkret adalah kebebasan pers, dimana saat ini media terbuka lebar untuk memberitakan apa saja yang terjadi di negeri ini. Realita ini sebenarnya sejalan dengan konsep civil society. Dengan adanya kebebasan pers, rakyat yang dulunya tidak tahu-menahu alias “buta wacana” terhadap sistem pemerintahan, kini menjadi lebih “melek” dan paling tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada sistem pemerintahan beserta wakil-wakilnya di parlemen. Dengan media pula, dewasa ini korupsi semakin kentara sekali bak bola hitam di atas pasir putih, berbeda sekali dengan sebelum era reformasi lebih tepatnya masa orde baru, korupsi sangat tersembunyi dan rakyat kecil tidak tahu kalau haknya dirampas oleh para koruptor.
Tapi kita juga tidak dapat mengelak efek negatif dari menggejalanya kebebasan pers. Apalagi saat ini sudah bermunculan berita-berita online yang sepertinya semakin “naik daun”. Realita yang terjadi akhir-akhir ini menunjukkan bahwa hegemoni mass media turut andil dalam mempengaruhi cara pandang masyarakat terhadap pemerintah. Kasus korupsi yang semakin merajalela diberitakan oleh berbagai media, di satu sisi memberikan harapan positif bagi rakyat, karena ternyata janji pemerintah untuk memberantas korupsi—melalui KPK—terlihat sangat jelas. Tapi di sisi lain, rakyat menjadi pesimis terhadap kinerja pemerintah dan aparat penegak hukum yang terkesan lambat dalam menangani kasus-kasus korupsi. Sebut saja misalnya, kasus korupsi “kelas kakap” yang tak kunjung usai dan tak jelas kepastian hukumnya, seolah pengadilan tipikor tak berdaya dalam menghadapi “bos besar koruptor”. Para tahanan korupsi pun masih bisa ber-kongkalingkong dengan beberapa aparat yang tidak bertanggung jawab, hotel prodeo mereka ternyata mewah, tidak sebanding dengan hukuman yang seharusnya mereka terima karena sudah memakan uang rakyat secara batil.
Sementara itu rakyat miskin yang hanya mencuri barang-barang murahan—sandal jepit, buah kopi, setandan pisang, ayam dll.—tanpa bertele-tele langsung mendapat hukuman berat, yang dalam pandangan kolektif masyarakat hal itu tak sebanding dengan hukuman yang seharusnya mereka terima. Para koruptor yang mencuri uang rakyat ratusan juta bahkan milyaran rupiah mendapat hukuman yang relatif sebanding dengan rakyat miskin yang hanya mencuri barang murahan. Itupun—para koruptor—harus diadili melalui proses hukum yang lama, bertele-tele dan tak kunjung usai. Atau dengan kata lain masyarakat seolah ingin meneriakkan bettle cry-nya bahwa semua itu tidak adil.
Sebenarnya masih banyak lagi derivasi dari efek negatif era reformasi yang sangat tidak kita harapkan. Kebebasan pers merupakan salah satu aspek saja yang penulis kritisi berkaitan dengan dampak dan gejala dari bergulirnya reformasi yang mengusung kebebasan. Mungkin di lain kesempatan penulis akan memaparkan lagi beberapa dampak negatif yang sedang menjamur yang sebenarnya sangat bertolak belakang dari harapan para founding father reformasi yang menghendaki civil society. Tapi apa yang bisa kita ambil dari gambaran di atas adalah bahwa semua bentuk perubahan entah itu reformasi ataupun revolusi, pasti mengandung dampak yang positif sekaligus dampak negatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar