Senin, 13 Oktober 2014

Di Bawah Naungan Al-Qur’an dan Sunnah

Oleh: Al-Faqir Rihan Musadik

Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna, diberi amanah sebagai khalifah (wakil) Allah ta'ala di muka bumi. “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat, ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’” (Al-Baqarah: 30). Sebagai khalifah fil ardhi, manusia dikaruniai berbagai potensi seperti akal, indera, dan hati. Manusia juga diberi Allah kebebasan, kemerdekaan, dan kedaulatan atas dirinya. Dengan kebebasan yang dianugerahkan Allah, manusia bisa menilai apakah perbuatannya tergolong baik ataukah buruk. Sebab, apabila manusia tidak bebas dalam melakukan sesuatu, maka tidak bisa dikatakan ia berbuat baik atau buruk. Seperti misalnya orang yang tidak dalam keadaan sadar, ataupun dipaksa melakukan perbuatan buruk, tentu tidak bisa serta merta kita mencapnya sebagai akhlak yang buruk. Hal ini karena akhlak adalah perbuatan yang dilakukan atas dasar kesadaran diri sendiri tanpa dipaksa oleh pihak lain. 

Kalau dalam filsafat moral Immanuel Kant, seseorang dapat disebut melakukan perbuatan baik apabila ia melakukannya atas dasar dorongan hati nuraninya, bukan karena dipaksa orang lain, atau bukan karena kepentingan yang menguntungkan diri sendiri, ini yang disebut Etika Kewajiban Kant. Artinya, seseorang dapat disebut berakhlak baik, apabila ia melakukan suatu perbuatan dengan sadar dan atas dorongan niat yang baik karena memang sudah seharusnya melakukan perbuatan tersebut yang dapat dinilai sebagai baik secara universal.

Ukuran baik dan buruk, benar dan salah tentu saja bukan berdasarkan hawa nafsu manusia, bukan berdasarkan logika manusia, karena setiap manusia mempunyai logikanya sendiri yang berbeda-beda. Oleh karena itu, Allah berfirman, ”Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti rusaklah langit dan bumi, serta semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan (Al-Quran) mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu” (Al-Mu’minun: 71). Ayat ini mengandung makna bahwa ukuran kebenaran bukan dari hawa nafsu dan pemikiran manusia, sebab di samping memiliki potensi ilahiyah atau kebaikan, manusia juga diberikan hawa nafsu dan potensi negatif seperti suka tergesa-gesa (Al-Isra’: 11), manusia tempatnya lupa dan salah (Al-Baqarah: 286), manusia dijadikan bersifat lemah (An-Nisa’: 28), melampaui batas, inkonsistensi (Yunus: 12), dan lain-lain. 

Hal ini berarti bahwa ukuran benar dan salah bukan berdasarkan dugaan dan persangkaan manusia. “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa (Al-Hujurat: 12). Dalam ayat yang lain, “Orang-orang yang menyekutukan Allah tidaklah mengikuti suatu keyakinan, melainkan berdasarkan prasangka, mereka hanya menduga-duga saja” (Yunus: 66).

Jadi, ukuran baik dan buruk, benar dan salah, boleh dan tidak, patut atau tidak patut, tidak berdasarkan perkiraan, pemikiran, dan hawa nafsu manusia yang sifatnya relatif dan berubah-ubah/inkonsistensi, akan tetapi berdasarkan aturan dari Allah subhanahu wa ta’ala yang sifatnya tetap hingga hari kiamat. Aturan inilah yang disebut dengan syariat, dan syariat Allah ini ada di dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam bersabda, “Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara, jika kalian berpegang teguh kepada keduanya, maka kalian tidak akan tersesat selama-lamanya. Dua perkara tersebut adalah kitabullah (Al-Qur’an) dan Sunnahku (Al-Hadits)”. Dalam hadits yang lain, Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa di antara kalian yang masih hidup sepeninggalku, niscaya akan banyak menyaksikan perselisihan, karena itu berpegang teguhlah kepada sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin yang terbimbing. Gigitlah (pegang erat) dengan gigi geraham (sekuat tenaga) kalian, dan tinggalkanlah hal-hal baru yang diada-adakan (bid’ah) karena setiap bid’ah itu sesat”.

Untuk dapat memahami syariat Islam (Al-Qur’an dan Hadits) dengan baik, dan mengetahui hukum-hukum yang terkandung di dalamnya, maka perlu merujuk kepada para ulama, sebab Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam pernah bersabda, “Sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi. Sungguh para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu, maka barangsiapa yang mengambil warisan tersebut, ia telah mengambil bagian yang banyak”. Dalam Al-Qur’an disebutkan, “Bertanyalah kamu kepada ahli dzikir (ulama) jika kamu tidak mengetahui” (An-Nahl: 43). Oleh karena itulah, dalam Islam ada beragam penjelasan atau tafsir Al-Qur’an dari para ulama, lalu muncul berbagai cabang ilmu syari’ah seperti fiqih, ushul fiqih, musthalahul hadits, ijma’, qiyas, dan sebagainya. Sumber hukum Islam yang disepakati para ulama adalah Al-Qur’an, Hadits, Ijma’, dan Qiyas. Di samping itu, ada sumber hukum Islam selain keempat sumber hukum yang disepakati para ulama, akan tetapi titik tolaknya tetap sama, yaitu Al-Qur’an dan Hadits.

Menjadikan Al-Qur’an dan Hadits sebagai pedoman hidup, tidak berarti mengesampingkan akal dan hati, karena hanya dengan menggunakan akal sehat dan hati nurani saja manusia bisa memahami pesan-pesan Al-Qur’an dan Hadits dengan benar. Akal dan hati manusia tidak mungkin bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits. Sebab, pada hakikatnya antara Al-Qur’an dan Hadits dengan akal dan hati semua datangnya dari Allah semata. Jadi, apabila ada yang beranggapan Al-Qur’an bertentangan dengan akal, tidaklah benar. Bukan Al-Qur’an yang bertentangan dengan akal, akan tetapi akal pikiranlah yang belum sanggup memahami pesan Al-Qur’an. Semua itu datangnya dari Allah sang pemilik kebenaran, jadi secara logis tidak mungkin saling berseberangan satu sama lain. Oleh karena itu, antara Al-Qur’an, Hadits, akal sehat, dan hati nurani semuanya akan sinkron dan harmonis menuju jalan lurus kebenaran. Ihdinash shiraatal mustaqiim. Tunjukilah kami jalan yang lurus. 

Apatah lagi hati nurani (qalbu) yang menurut para ulama tasawuf (sufi) dan sebagian ahli filsafat (filsuf) merupakan salah satu instrumen yang Allah anugerahkan kepada manusia untuk mengetahui kebenaran, menimbang baik dan buruk, serta benar dan salah. Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam bersabda, “Mintalah fatwa (petunjuk) pada hatimu. Kebaikan itu adalah sesuatu yang dapat menenangkan hati dan menentramkan jiwa. Sedangkan dosa (keburukan) itu adalah sesuatu yang meresahkan hati dan membuatmu cemas, meskipun banyak orang yang membenarkanmu”. Dalam riwayat lain Nabi shallallahu‘alaihi wasallam berkata, “Kebajikan itu ialah budi pekerti yang baik. Sedangkan dosa ialah sesuatu yang menyesakkan dada (hati nurani), dan engkau sendiri benci jika perbuatanmu itu diketahui orang lain”.

Artinya, perbuatan yang baik pasti akan mendatangkan ketenangan dan kedamaian hati. Sebaliknya perbuatan yang buruk, salah, ataupun dosa akan mendatangkan kegelisahan, kebimbangan, keraguan, dada terasa sesak, hati terasa cemas, dan ia sendiri benci atau malu jika perbuatannya itu diketahui orang lain. Sebagai contoh, orang mencuri, membunuh, korupsi, berzina, menipu, dan sebagainya. Siapapun orangnya pasti akan tahu bahwa perbuatan tersebut adalah salah dan dosa, karena Allah telah memberikan hati pada manusia untuk menilai sebuah kebaikan atau keburukan, meski tanpa dibimbing wahyu. Orang yang melakukannya juga akan malu jika diketahui orang lain dan ia sendiri akan merasa gelisah dengan perbuatnnya itu.

Kemudian bagaimana dengan seseorang yang merasa enteng dengan perbuatan dosanya seolah-olah tanpa merasa bersalah dengan perbuatannya itu. Ketahuilah bahwa sesungguhnya para pelaku maksiat itu hanya menuruti hawa nafsunya saja, tanpa mempertimbangkan perintah dan larangan Allah. Padahal dalam hatinya tetap ada rasa bersalah, menyesal, bimbang, dan gelisah, meskipun dari luar tampak tersenyum bahagia, akan tetapi itu hanyalah kebahagiaan semu belaka. Karena sesungguhnya kebahagiaan sejati tidak akan pernah bercampur dengan kemaksiatan dan dosa. Kebahagiaan sejati hanya dapat diraih dengan cara hidup sejalan dengan tuntunan Sang Pencipta Kebahagiaan, yaitu hidup berdasarkan aturan Allah subhanahu wa ta’ala melalui Al-Qur’an dan Utusan-Nya Nabi Muhammad shallallahu‘alaihi wasallam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar