Manusia
sebagai makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna, diberi amanah sebagai
khalifah (wakil) Allah ta'ala di muka bumi. “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada
para Malaikat, ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi’” (Al-Baqarah: 30). Sebagai khalifah
fil ardhi, manusia dikaruniai berbagai potensi seperti akal, indera, dan
hati. Manusia juga diberi Allah kebebasan, kemerdekaan, dan kedaulatan atas dirinya.
Dengan kebebasan yang dianugerahkan Allah, manusia bisa menilai apakah
perbuatannya tergolong baik ataukah buruk. Sebab, apabila manusia tidak bebas
dalam melakukan sesuatu, maka tidak bisa dikatakan ia berbuat baik atau buruk.
Seperti misalnya orang yang tidak dalam keadaan sadar, ataupun dipaksa
melakukan perbuatan buruk, tentu tidak bisa serta merta kita mencapnya sebagai
akhlak yang buruk. Hal ini karena akhlak adalah perbuatan yang dilakukan atas
dasar kesadaran diri sendiri tanpa dipaksa oleh pihak lain.
Kalau
dalam filsafat moral Immanuel Kant, seseorang dapat disebut melakukan perbuatan
baik apabila ia melakukannya atas dasar dorongan hati nuraninya, bukan karena
dipaksa orang lain, atau bukan karena kepentingan yang menguntungkan diri
sendiri, ini yang disebut Etika Kewajiban Kant. Artinya, seseorang dapat
disebut berakhlak baik, apabila ia melakukan suatu perbuatan dengan sadar dan
atas dorongan niat yang baik karena memang sudah seharusnya melakukan perbuatan
tersebut yang dapat dinilai sebagai baik secara universal.
Ukuran
baik dan buruk, benar dan salah tentu saja bukan berdasarkan hawa nafsu manusia,
bukan berdasarkan logika manusia, karena setiap manusia mempunyai logikanya
sendiri yang berbeda-beda. Oleh karena itu, Allah berfirman, ”Andaikata
kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti rusaklah langit dan bumi, serta
semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka
kebanggaan (Al-Quran) mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu”
(Al-Mu’minun: 71). Ayat ini mengandung makna bahwa ukuran kebenaran bukan dari
hawa nafsu dan pemikiran manusia, sebab di samping memiliki potensi ilahiyah
atau kebaikan, manusia juga diberikan hawa nafsu dan potensi negatif seperti
suka tergesa-gesa (Al-Isra’: 11), manusia tempatnya lupa dan salah (Al-Baqarah:
286), manusia dijadikan bersifat lemah (An-Nisa’: 28), melampaui batas,
inkonsistensi (Yunus: 12), dan lain-lain.
Hal
ini berarti bahwa ukuran benar dan salah bukan berdasarkan dugaan dan
persangkaan manusia. “Hai orang-orang yang beriman,
jauhilah kebanyakan dari prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa (Al-Hujurat:
12). Dalam ayat yang lain, “Orang-orang yang menyekutukan Allah tidaklah
mengikuti suatu keyakinan, melainkan berdasarkan prasangka, mereka hanya
menduga-duga saja” (Yunus: 66).
Jadi, ukuran baik dan buruk, benar dan
salah, boleh dan tidak, patut atau tidak patut, tidak berdasarkan perkiraan,
pemikiran, dan hawa nafsu manusia yang sifatnya relatif dan
berubah-ubah/inkonsistensi, akan tetapi berdasarkan aturan dari Allah subhanahu wa ta’ala yang sifatnya tetap
hingga hari kiamat. Aturan inilah yang disebut dengan syariat, dan syariat
Allah ini ada di dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam bersabda, “Aku tinggalkan kepada
kalian dua perkara, jika kalian berpegang teguh kepada keduanya, maka kalian
tidak akan tersesat selama-lamanya. Dua perkara tersebut adalah kitabullah
(Al-Qur’an) dan Sunnahku (Al-Hadits)”. Dalam hadits yang lain, Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam bersabda,
“Barangsiapa di antara kalian yang masih hidup sepeninggalku, niscaya akan banyak
menyaksikan perselisihan, karena itu berpegang teguhlah kepada sunnahku dan
sunnah khulafaur rasyidin yang
terbimbing. Gigitlah (pegang erat) dengan gigi geraham (sekuat tenaga) kalian,
dan tinggalkanlah hal-hal baru yang diada-adakan (bid’ah) karena setiap bid’ah
itu sesat”.
Untuk dapat memahami syariat Islam
(Al-Qur’an dan Hadits) dengan baik, dan mengetahui hukum-hukum yang terkandung
di dalamnya, maka perlu merujuk kepada para ulama, sebab Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam pernah
bersabda, “Sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi. Sungguh para Nabi tidak
mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu, maka
barangsiapa yang mengambil warisan tersebut, ia telah mengambil bagian yang
banyak”. Dalam Al-Qur’an disebutkan, “Bertanyalah kamu kepada ahli dzikir
(ulama) jika kamu tidak mengetahui” (An-Nahl: 43). Oleh karena itulah, dalam Islam
ada beragam penjelasan atau tafsir Al-Qur’an dari para ulama, lalu muncul
berbagai cabang ilmu syari’ah seperti fiqih, ushul fiqih, musthalahul hadits,
ijma’, qiyas, dan sebagainya. Sumber hukum Islam yang disepakati para ulama
adalah Al-Qur’an, Hadits, Ijma’, dan Qiyas. Di samping itu, ada sumber hukum
Islam selain keempat sumber hukum yang disepakati para ulama, akan tetapi titik
tolaknya tetap sama, yaitu Al-Qur’an dan Hadits.
Menjadikan Al-Qur’an dan Hadits sebagai
pedoman hidup, tidak berarti mengesampingkan akal dan hati, karena hanya dengan
menggunakan akal sehat dan hati nurani saja manusia bisa memahami pesan-pesan
Al-Qur’an dan Hadits dengan benar. Akal dan hati manusia tidak mungkin
bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits. Sebab, pada hakikatnya antara
Al-Qur’an dan Hadits dengan akal dan hati semua datangnya dari Allah semata.
Jadi, apabila ada yang beranggapan Al-Qur’an bertentangan dengan akal, tidaklah
benar. Bukan Al-Qur’an yang bertentangan dengan akal, akan tetapi akal pikiranlah
yang belum sanggup memahami pesan Al-Qur’an. Semua itu datangnya dari Allah
sang pemilik kebenaran, jadi secara logis tidak mungkin saling berseberangan
satu sama lain. Oleh karena itu, antara Al-Qur’an, Hadits, akal sehat, dan hati
nurani semuanya akan sinkron dan harmonis menuju jalan lurus kebenaran. Ihdinash shiraatal mustaqiim. Tunjukilah
kami jalan yang lurus.
Apatah lagi hati nurani (qalbu) yang
menurut para ulama tasawuf (sufi) dan sebagian ahli filsafat (filsuf) merupakan
salah satu instrumen yang Allah anugerahkan kepada manusia untuk mengetahui
kebenaran, menimbang baik dan buruk, serta benar dan salah. Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam bersabda,
“Mintalah fatwa (petunjuk) pada hatimu. Kebaikan itu adalah sesuatu yang dapat
menenangkan hati dan menentramkan jiwa. Sedangkan dosa (keburukan) itu adalah
sesuatu yang meresahkan hati dan membuatmu cemas, meskipun banyak orang yang
membenarkanmu”. Dalam riwayat lain Nabi shallallahu‘alaihi wasallam berkata, “Kebajikan itu ialah budi pekerti yang baik. Sedangkan
dosa ialah sesuatu yang menyesakkan dada (hati nurani), dan engkau sendiri
benci jika perbuatanmu itu diketahui orang lain”.
Artinya, perbuatan yang baik pasti akan
mendatangkan ketenangan dan kedamaian hati. Sebaliknya perbuatan yang buruk,
salah, ataupun dosa akan mendatangkan kegelisahan, kebimbangan, keraguan, dada
terasa sesak, hati terasa cemas, dan ia sendiri benci atau malu jika
perbuatannya itu diketahui orang lain. Sebagai contoh, orang mencuri, membunuh,
korupsi, berzina, menipu, dan sebagainya. Siapapun orangnya pasti akan tahu
bahwa perbuatan tersebut adalah salah dan dosa, karena Allah telah memberikan
hati pada manusia untuk menilai sebuah kebaikan atau keburukan, meski tanpa
dibimbing wahyu. Orang yang melakukannya juga akan malu jika diketahui orang
lain dan ia sendiri akan merasa gelisah dengan perbuatnnya itu.
Kemudian bagaimana dengan seseorang yang
merasa enteng dengan perbuatan dosanya seolah-olah tanpa merasa bersalah dengan
perbuatannya itu. Ketahuilah bahwa sesungguhnya para pelaku maksiat itu hanya
menuruti hawa nafsunya saja, tanpa mempertimbangkan perintah dan larangan
Allah. Padahal dalam hatinya tetap ada rasa bersalah, menyesal, bimbang, dan
gelisah, meskipun dari luar tampak tersenyum bahagia, akan tetapi itu hanyalah
kebahagiaan semu belaka. Karena sesungguhnya kebahagiaan sejati tidak akan
pernah bercampur dengan kemaksiatan dan dosa. Kebahagiaan sejati hanya dapat
diraih dengan cara hidup sejalan dengan tuntunan Sang Pencipta Kebahagiaan,
yaitu hidup berdasarkan aturan Allah subhanahu
wa ta’ala melalui Al-Qur’an dan Utusan-Nya Nabi Muhammad shallallahu‘alaihi wasallam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar