Oleh: Al-Faqir Rihan Musadik
Dalam
sebuah hadits yang masyhur, disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam ketika shalat berjama'ah mendengar
hiruk-pikuk dan suara derap langkah kaki yang menunjukkan ketergesa-gesaan. Kemudian
seusai shalat beliau bertanya, “Apa yang kalian lakukan tadi?” beberapa sahabat
menjawab, “Kami tadi tergesa-gesa mengejar shalat”. Lalu Rasulullah bersabda,
“Janganlah kalian lakukan hal itu. Apabila kalian akan mendatangi shalat
berjama’ah, maka datangilah dengan tenang. Apa pun yang kamu dapati dari imam, maka
kerjakanlah. Dan apa yang tertinggal, maka sempurnakanlah. Dalam riwayat yang
lain, Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam bersabda, “Jika kalian datang untuk melakukan shalat, maka janganlah
kalian mendatanginya dengan berlari. Datangilah shalat dengan berjalan kaki dan
hendaknya kalian bersikap tenang. Laksanakan shalat yang kalian dapatkan dan sempurnakan
shalat kalian yang tertinggal.
Dari
hadits ini, kita bisa mengambil pelajaran penting berkaitan dengan sikap pasrah
atau tawakkal, dan larangan untuk tergesa-gesa dalam melakukan sesuatu.
Rasulullah mengajarkan untuk bersikap tenang dan berserah diri kepada Allah
ketika kita hendak melakukan sesuatu. Kita diajarkan untuk tetap berusaha,
yaitu mendatangi shalat berjama'ah, akan tetapi kita juga dilarang untuk
terburu-buru dalam mengejar suatu hal, meskipun itu sebuah kebaikan. Karena
suatu kebaikan harus dilakukan dan didatangi dengan ketenangan, bukan
ketergesa-gesaan. Oleh karena itulah, Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam pernah menyatakan bahwa “Ketenangan
datangnya dari Allah, sedangkan tergesa-gesa datangnya dari setan”.
Selain
itu, berserah diri atau tawakkal kepada Allah adalah suatu sikap yang menjadi
ciri atau karakter seorang muslim, karena muslim itu sendiri secara harfiah
berarti orang yang berserah diri atau pasrah kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Al-Qur’an berkali-kali menyebutkan keutamaan
orang-orang yang berserah diri hanya kepada Allah. Dalam surat Yunus ayat 84,
Nabi Musa ‘alahissalam berkata kepada
kaumnya, “Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, maka bertawakkallah hanya
kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang yang berserah diri”. Pada ayat
yang lain Allah berfirman, “Dan hanya kepada Allah saja orang-orang yang
bertawakkal itu berserah diri” (Ibrahim: 12). Sikap pasrah, ikhlas, dan
berserah diri sepenuhnya hanya kepada Allah, kemudian diiringi dengan amal-amal
kebajikan yang sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya merupakan salah satu
indikasi kesempurnaan agama seseorang. Hal ini sesuai dengan firman Allah, “Dan
siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang dengan ikhlas menyerahkan
dirinya kepada Allah, sedangkan ia suka mengerjakan kebajikan, serta mengikuti
agama Ibrahim yang lurus?” (An-Nisa’: 125).
Kalau
kita analogkan dengan hadits di atas, Rasulullah mengajarkan kita untuk pasrah
dan tenang dalam mendapatkan sesuatu. Dalam hal ini, mendatangi shalat berjama'ah
dengan cara berjalan meskipun iqomat sudah dikumandangkan. Rasulullah tidak
mengajarkan untuk mengejar sesuatu dengan terburu-buru, tidak mengajarkan untuk
berlari mendatangi sesuatu, meskipun hal itu sebuah kebaikan atau bahkan
kewajiban (shalat). Kendati dengan berlari lebih dimungkinkan untuk mengejar
shalat berjama'ah, akan tetapi Rasulullah tetap melarangnya dengan mengatakan,
“Apa yang kamu dapati dari imam, maka kerjakanlah. Dan apa yang tertinggal,
maka sempurnakanlah”.
Sebab,
di samping shalat menjadi tidak tenang karena berlari terburu-buru, apa yang
ditetapkan Allah tidak akan bertambah ataupun berkurang, meskipun seseorang
berbuat bagaimanapun hebatnya. Bukankah Rasulullah pernah mengajarkan dalam
sabdanya, “Seandainya seluruh umat manusia berkumpul untuk memberikan sesuatu
yang bermanfaat bagimu, maka mereka tidak akan bisa memberikan manfaat bagimu
sedikitpun, kecuali apa yang telah ditetapkan Allah kepadamu. Dan seandainya
seluruh umat manusia berkumpul untuk membahayakanmu, maka mereka tidak akan
bisa membahayakanmu sedikitpun, kecuali apa yang telah ditetapkan Allah kepadamu.
Sesungguhnya pena telah diangkat dan lembaran telah kering”.
Seusai
shalat Rasulullah juga mengajarkan kita untuk membaca Allahumma laa maani'a limaa a'thaita wa laa mu'tia limaa mana'ta, wa
laa yanfa'u dzal jaddi minkal jaddu. Ya Allah, tidak ada yang dapat
mencegah apa yang akan Engkau berikan, dan tidak ada yang mampu memberi apa
yang akan Engkau cegah. Dan tiada berguna kebesaran seseorang untuk
menyelamatkan dari murka-Mu.
Jadi,
bagi seorang muslim, sikap pasrah, tawakkal, dan berserah diri kepada Allah
harus selalu melekat dalam dirinya. Karena belum sempurna keislaman seseorang,
sampai ia benar-benar menyerahkan diri sepenuhnya hanya kepada Allah ‘azza wa jalla. Tidak akan diterima
ibadah seseorang, kecuali ia ikhlas melakukannya hanya untuk Allah semata. Lillahi ta’ala. Belum sempurna keimanan
seorang muslim, kecuali ia percaya dan pasrah kepada qadha' dan qadar yang telah
Allah tetapkan. Sikap pasrah, tawakkal, dan berserah diri hanya kepada Allah,
bukan berarti menafikan usaha. Kita tetap harus berusaha melakukan sesuatu, menggapai
cita-cita, memanfaatkan potensi yang Allah berikan, akan tetapi jangan lupakan tawakkal
dan sikap pasrah kita kepada Allah. Fa
idzaa ‘azamta fa tawakkal ‘alallaah, innalaaha yuhibbul mutawakkiliin. Apabila
kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya (Ali ‘Imran: 159).
Dalam
sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim rahimahullah, Rasulullah bersabda, “Bersemangatlah untuk meraih segala hal yang bermanfaat bagimu. Mintalah
pertolongan Allah dan janganlah kamu lemah. Apabila engkau tertimpa
sesuatu (yang tidak menyenangkan) janganlah berkata, ‘Seandainya aku dulu
berbuat begini dan begitu, niscaya akan menjadi begini dan begitu’. Akan tetapi
katakanlah, ‘Qadarullahi wa maa syaa’a fa’ala (Allah telah menakdirkan,
terserah apa yang diputuskan-Nya)’. Karena perkataan ‘seandainya’ dapat membuka
celah perbuatan setan”. Rasulullah menegaskan agar kita tetap bersemangat
dalam meraih suatu kebaikan, akan tetapi kita juga dilarang untuk menyesal,
frustrasi apalagi tidak terima jika keinginan kita tidak tercapai. Sebab,
segala sesuatu tidak lepas dari kekuasaan Allah jallaa jalaaluh. Oleh karena itu, bagi seorang muslim diajarkan
untuk memiliki sikap pasrah kepada Allah, tawakkal, dan selalu menyerahkan
segala sesuatunya hanya kepada Allah. Karena hanya Allah yang berkuasa atas
segala sesuatu. Innallaha ‘alaa kulli
syai’in qadiir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar