Minggu, 19 Oktober 2014

Pasrah Sepenuh Hati

Oleh: Al-Faqir Rihan Musadik
 
Dalam sebuah hadits yang masyhur, disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam ketika shalat berjama'ah mendengar hiruk-pikuk dan suara derap langkah kaki yang menunjukkan ketergesa-gesaan. Kemudian seusai shalat beliau bertanya, “Apa yang kalian lakukan tadi?” beberapa sahabat menjawab, “Kami tadi tergesa-gesa mengejar shalat”. Lalu Rasulullah bersabda, “Janganlah kalian lakukan hal itu. Apabila kalian akan mendatangi shalat berjama’ah, maka datangilah dengan tenang. Apa pun yang kamu dapati dari imam, maka kerjakanlah. Dan apa yang tertinggal, maka sempurnakanlah. Dalam riwayat yang lain, Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam bersabda, “Jika kalian datang untuk melakukan shalat, maka janganlah kalian mendatanginya dengan berlari. Datangilah shalat dengan berjalan kaki dan hendaknya kalian bersikap tenang. Laksanakan shalat yang kalian dapatkan dan sempurnakan shalat kalian yang tertinggal.

Dari hadits ini, kita bisa mengambil pelajaran penting berkaitan dengan sikap pasrah atau tawakkal, dan larangan untuk tergesa-gesa dalam melakukan sesuatu. Rasulullah mengajarkan untuk bersikap tenang dan berserah diri kepada Allah ketika kita hendak melakukan sesuatu. Kita diajarkan untuk tetap berusaha, yaitu mendatangi shalat berjama'ah, akan tetapi kita juga dilarang untuk terburu-buru dalam mengejar suatu hal, meskipun itu sebuah kebaikan. Karena suatu kebaikan harus dilakukan dan didatangi dengan ketenangan, bukan ketergesa-gesaan. Oleh karena itulah, Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam pernah menyatakan bahwa “Ketenangan datangnya dari Allah, sedangkan tergesa-gesa datangnya dari setan”.

Selain itu, berserah diri atau tawakkal kepada Allah adalah suatu sikap yang menjadi ciri atau karakter seorang muslim, karena muslim itu sendiri secara harfiah berarti orang yang berserah diri atau pasrah kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Al-Qur’an berkali-kali menyebutkan keutamaan orang-orang yang berserah diri hanya kepada Allah. Dalam surat Yunus ayat 84, Nabi Musa ‘alahissalam berkata kepada kaumnya, “Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, maka bertawakkallah hanya kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang yang berserah diri”. Pada ayat yang lain Allah berfirman, “Dan hanya kepada Allah saja orang-orang yang bertawakkal itu berserah diri” (Ibrahim: 12). Sikap pasrah, ikhlas, dan berserah diri sepenuhnya hanya kepada Allah, kemudian diiringi dengan amal-amal kebajikan yang sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya merupakan salah satu indikasi kesempurnaan agama seseorang. Hal ini sesuai dengan firman Allah, “Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang dengan ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedangkan ia suka mengerjakan kebajikan, serta mengikuti agama Ibrahim yang lurus?” (An-Nisa’: 125).

Kalau kita analogkan dengan hadits di atas, Rasulullah mengajarkan kita untuk pasrah dan tenang dalam mendapatkan sesuatu. Dalam hal ini, mendatangi shalat berjama'ah dengan cara berjalan meskipun iqomat sudah dikumandangkan. Rasulullah tidak mengajarkan untuk mengejar sesuatu dengan terburu-buru, tidak mengajarkan untuk berlari mendatangi sesuatu, meskipun hal itu sebuah kebaikan atau bahkan kewajiban (shalat). Kendati dengan berlari lebih dimungkinkan untuk mengejar shalat berjama'ah, akan tetapi Rasulullah tetap melarangnya dengan mengatakan, “Apa yang kamu dapati dari imam, maka kerjakanlah. Dan apa yang tertinggal, maka sempurnakanlah”. 

Sebab, di samping shalat menjadi tidak tenang karena berlari terburu-buru, apa yang ditetapkan Allah tidak akan bertambah ataupun berkurang, meskipun seseorang berbuat bagaimanapun hebatnya. Bukankah Rasulullah pernah mengajarkan dalam sabdanya, “Seandainya seluruh umat manusia berkumpul untuk memberikan sesuatu yang bermanfaat bagimu, maka mereka tidak akan bisa memberikan manfaat bagimu sedikitpun, kecuali apa yang telah ditetapkan Allah kepadamu. Dan seandainya seluruh umat manusia berkumpul untuk membahayakanmu, maka mereka tidak akan bisa membahayakanmu sedikitpun, kecuali apa yang telah ditetapkan Allah kepadamu. Sesungguhnya pena telah diangkat dan lembaran telah kering”.
 
Seusai shalat Rasulullah juga mengajarkan kita untuk membaca Allahumma laa maani'a limaa a'thaita wa laa mu'tia limaa mana'ta, wa laa yanfa'u dzal jaddi minkal jaddu. Ya Allah, tidak ada yang dapat mencegah apa yang akan Engkau berikan, dan tidak ada yang mampu memberi apa yang akan Engkau cegah. Dan tiada berguna kebesaran seseorang untuk menyelamatkan dari murka-Mu.

Jadi, bagi seorang muslim, sikap pasrah, tawakkal, dan berserah diri kepada Allah harus selalu melekat dalam dirinya. Karena belum sempurna keislaman seseorang, sampai ia benar-benar menyerahkan diri sepenuhnya hanya kepada Allah ‘azza wa jalla. Tidak akan diterima ibadah seseorang, kecuali ia ikhlas melakukannya hanya untuk Allah semata. Lillahi ta’ala. Belum sempurna keimanan seorang muslim, kecuali ia percaya dan pasrah kepada qadha' dan qadar yang telah Allah tetapkan. Sikap pasrah, tawakkal, dan berserah diri hanya kepada Allah, bukan berarti menafikan usaha. Kita tetap harus berusaha melakukan sesuatu, menggapai cita-cita, memanfaatkan potensi yang Allah berikan, akan tetapi jangan lupakan tawakkal dan sikap pasrah kita kepada Allah. Fa idzaa ‘azamta fa tawakkal ‘alallaah, innalaaha yuhibbul mutawakkiliin. Apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya (Ali ‘Imran: 159). 

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim rahimahullah, Rasulullah bersabda, “Bersemangatlah untuk meraih segala hal yang bermanfaat bagimu. Mintalah pertolongan Allah dan janganlah kamu lemah. Apabila engkau tertimpa sesuatu (yang tidak menyenangkan) janganlah berkata, ‘Seandainya aku dulu berbuat begini dan begitu, niscaya akan menjadi begini dan begitu’. Akan tetapi katakanlah, ‘Qadarullahi wa maa syaa’a fa’ala (Allah telah menakdirkan, terserah apa yang diputuskan-Nya)’. Karena perkataan ‘seandainya’ dapat membuka celah perbuatan setan”. Rasulullah menegaskan agar kita tetap bersemangat dalam meraih suatu kebaikan, akan tetapi kita juga dilarang untuk menyesal, frustrasi apalagi tidak terima jika keinginan kita tidak tercapai. Sebab, segala sesuatu tidak lepas dari kekuasaan Allah jallaa jalaaluh. Oleh karena itu, bagi seorang muslim diajarkan untuk memiliki sikap pasrah kepada Allah, tawakkal, dan selalu menyerahkan segala sesuatunya hanya kepada Allah. Karena hanya Allah yang berkuasa atas segala sesuatu. Innallaha ‘alaa kulli syai’in qadiir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar