Kamis, 15 Agustus 2013

Sebuah Cerpen - Air Mata Penyesalan

Malam itu tidak seperti biasanya, begitu kelam. Angin begitu tenang tak berbicara sedikitpun, seakan membawa berita bencana, membawa ketakutan, karena hawa malam yang terasa mencekam. Bulan pun tak menampakkan wajahnya yang terang, dan bintang-bintang tak ada satu pun yang menyiramkan cahaya malam. Jangkrik-jangkrik masuk ke sarangnya masing-masing, tak terdengar sedikitpun nyanyiannya yang ikut meramaikan malam. Bahkan semut-semut tak aku lihat satu pun, biasanya banyak semut merayap, berderet di dinding, kenapa malam ini begitu sunyi mencekam.

Tiba-tiba dari dalam rumah. Istriku Rina, memanggil, memecah keheninganku bersama suasana malam. “Mas, sudah larut malam nih, masuk yuk, di luar kan dingin, sekalian temani Zahra tidur,” katanya membujukku yang sedang merenung di teras rumah.

Zahra adalah anak pertamaku, perempuan dan cantik seperti ibunya. Nama Zahra aku dapatkan dari Pak Kyai yang saat itu aku undang pada acara aqiqah untuk memberikan doa, memberi kami nasihat, sekaligus memberikan nama pada anakku. Dan beliau menamainya Fatimatuzzahra, nama panggilannya Zahra. Nama yang sungguh indah dan enak didengar.

“Pasti nama ini diambil dari Al-Qur’an ya, Kyai?” tanyaku waktu itu.

“Ya, betul Har, harapannya supaya kelak bisa jadi anak yang shalehah, dan selalu mengamalkan Al-Qur’an, berbakti pada kedua orangtua, serta berguna bagi masyarakat,” jawab Pak Kyai sembari tersenyum. Sebelum acara aqiqah selesai, dan Pak Kyai hendak beranjak pulang. Beliau pun memandangku dan bertanya, “Har.”

 “Ya, Pak Kyai, ada apa?” jawabku singkat.

“Akhir-akhir ini aku lihat kau jarang terlihat di majelis pengajian, aku dengar kau juga jarang shalat berjama'ah di masjid,” katanya. Lama aku berpikir untuk menjawab pertanyaan Kyai, bahkan aku sempat termenung. Namun, sebelum aku mengeluarkan sepatah kata, Pak Kyai melanjutkan bicaranya, “Har, semenjak usahamu maju pesat, bahkan banyak pemuda-pemuda kampung yang masih nganggur kau pekerjakan menjadi karyawanmu, hingga kau pun tercatat menjadi salah satu pengusaha sukses di kota ini. Aku perhatikan kau jarang ngaji di majelis, jarang shalat di masjid. Dan yang aku heran, kenapa saat bujangan kau tidak memilih istri yang berjilbab, yang menutupi auratnya, yang shalehah, yang bagus agamanya, yang bisa mengingatkanmu dikala lupa, yang dapat meluruskanmu dikala bengkok, dan yang bisa mengantarkanmu pada keridhaan Allah? Kenapa kau tak minta tolong padaku saja untuk mencarikan istri yang shalehah, di pesantrenku kan banyak santriwati-santriwati cantik yang sudah dewasa, yang menurutku cocok denganmu, tapi anehnya kau justru memilih istri yang mantan pelacur dan tidak jelas asal-usulnya itu,” sambung Pak Kyai sembari menatap tajam padaku, seolah tak merestui pernikahanku dengan Rina.

Aku berdiri tegak dihadapan beliau, dan semakin bingung menanggapi pertanyaan dan ucapan Pak Kyai. Bahkan aku sendiri tidak berani menatap wajahnya yang berwibawa itu, tapi menyiratkan kelemah-lembutan, aku hanya bisa tertunduk. Aku diam seribu bahasa. Sejurus kemudian Pak Kyai mengeluarkan wejangannya lagi, seakan masih belum puas menasihatiku. “Haris,” katanya dengan suara yang lembut, bagaikan seorang ayah pada anaknya.

“Aku hanya mengingatkanmu, Har,” kata beliau sembari menghela nafasnya. “Kau dulu pernah nyantri di pesantrenku selama enam tahun, aku tahu banyak perihal dirimu, kau santri senior saat itu, kau tahu agama, paham syariat. Tetapi mengapa semenjak kau jadi orang sukses dan beristri, kau tak pernah ngaji lagi, tak pernah menyentuh Al-Qur’an, tak pernah pergi ke masjid, bahkan seringkali kau meninggalkan shalat,” ujar beliau.

“Mbakyumu yang bilang padaku, Har,” sambungnya. “Tugasku hanya mengingatkanmu, semua yang kau dapatkan saat ini adalah karunia dan nikamat dari Allah, jangan sampai kau lupa itu. Aku takut Gusti Allah akan mengingatkanmu dengan hal-hal yang tidak kau inginkan, dengan bencana, musibah dan cobaan yang membuatmu kembali ingat pada-Nya”.

“Ya, Pak Kyai,” jawabku dengan nada pelan, yang mulai memberanikan diri bersuara.

Lalu tak lama kemudian, aku mulai berani untuk menanggapi pertanyaan Pak Kyai. Aku pun membantah sekaligus menjawab pertanyaan Pak Kyai yang tadi sempat menyinggung istriku, yang waktu itu sedang berada di dalam kamar bersama Zahra dan Mbakyuku. Aku menjawabnya dengan nada sedikit emosi, seolah tak sadar siapa yang aku hadapi saat itu. “Maaf Pak Kyai, tadi Pak Kyai sempat menyinggung soal istriku,” kataku.

“Ya, benar,” jawab Pak Kyai dengan penuh rasa penasaran dan tanda tanya.

“Memangnya kenapa Kyai, apakah pernikahanku tidah sah, apakah pernikahanku tidak berkah, bukankah aku bisa membimbingnya untuk memperbaiki dirinya dan kembali ke jalan yang benar, lagi pula aku juga mencintainya, dan ia pun sudah menyesal dan bertaubat, ia bertekad untuk memulai hidup baru bersamaku,” lanjutku dengan agak berapi-api.

Lalu Pak Kyai pun tersenyum dengan senyuman yang cukup meredakan emosiku, hingga gigi tuanya yang masih utuh terlihat dari ujung mataku. “Aku tidak bilang kalau pernikahanmu itu tidak sah, dan perkara berkah atau tidaknya pernikahan kalian, itu tergantung bagaimana kalian menjalaninya. Aku hanya teringat sebuah ayat dalam Al-Qur’an yang bunyinya, Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji juga, dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik pula’. Mungkin itulah jodoh yang memang cocok buatmu, Har,” jawab Pak Kyai  dengan bijak, seolah tak mau kalah dengan pertanyaanku.

Kemudian Pak Kyai melanjutkan, “Yang menjadi pertanyaan di pikiranku, apakah engkau bisa membimbing istrimu, mendidik anakmu, sementara kau sendiri sering lalai dalam melaksanakan perintah Allah. Kau adalah seorang pemimpin, Har. Pemimpin bagi dirimu sendiri, pemimpin bagi rumah tanggamu. Dan tiap-tiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah kelak.”

Dan malam itu, ketika aku menerima bujukan dari istriku untuk masuk ke dalam rumah, dan berbaring di atas kasur bersama Zahra dan istriku. Aku baru tersadar dari ingatanku, aku teringat semua ucapan, nasihat, dan pertanyaan Pak Kyai sebelum beliau meninggalkan acara aqiqah Zahra. Kata-kata Pak Kyai, seolah-olah masih terdengar jelas di telingaku seperti waktu itu. Tapi, tak lama kemudian aku kembali melupakannya, dan berpaling pada anakku Zahra yang baru berusia satu tahun, aku elus-elus kepalanya agar segera tertidur. Dan memang benar, anakku segera tertidur. Dan aku lihat istriku juga mulai tertidur dengan wajah cantiknya.

Tak lama kemudian aku mulai merasakan kantuk, dan dengan ditemani malam yang mencekam, aku pun mulai memejamkan mataku. Tapi tidak seperti malam-malam sebelumnya, malam ini seperti ada yang aneh, seakan-akan ribuan bangsa jin mengelilingi dan memadati rumahku. “Ah, mungkin hanya perasaanku saja, masak ada jin mau masuk ke rumahku, bukankah sudah aku gantung jimat di setiap pintu rumahku,” gumamku dalam hati. Dan aku pun kembali memejamkan mataku lagi, dan tertidur pulas bersama anak-istriku.

Tepat jam tiga malam, ketika orang-orang sedang tertidur dengan pulasnya. Aku dan istriku tiba-tiba terbangun, dikejutkan oleh jeritan tangis Zahra, yang aku sendiri tidak tahu penyebabnya. “Rin, Zahra kenapa ya? Tidak biasanya anak kita nangis di malam hari,” tanyaku pada Rina, istriku.

“Mungkin haus Mas, biar aku kasih mimi dulu, ya?” katanya kemudian. Lalu ia pun mengeluarkan tetek-nya untuk memberikan ASI pada Zahra. Tapi aneh, Zahra tetap tak mau, ia menolak disodorkan “buah dada” istriku. Zahra justru semakin menjerit, tangisannya semakin lama semakin mengeras, bahkan melengking hingga menyayat hatiku, yang memang sedang diliput kegelisahan malam yang terasa amat menakutkan. Aku dan istriku tak tahu harus berbuat apa, kecuali berusaha menghibur dan mendiamkan anakku. Aku gendong Zahra ke ruang tengah, sembari menghiburnya, “Cep… cep… cep…,” sambil aku elus-elus kepalanya. “Zahra mau boneka…, oh, mau jajan…?” hiburku berulang-ulang, tapi tetap saja Zahra menangis keras.

“Zahra kenapa? Jangan nangis terus, kan udah malam, ntar orang-orang pada bangun lho?” kataku lirih. Dan anakku Zahra tetap dengan jerit tangisnya yang tak kunjung henti, bahkan semakin keras tangisnya, istriku pun sudah berkali-kali menghibur dan mendiamkan Zahra, tapi masih saja tak berhenti tangisnya.

Aku merasa tidak enak, “Ini pasti sangat mengganggu tetangga sebelahku yang sedang tertidur pulas,” pikirku sesaat. Lalu aku perhatikan, Zahra seperti sangat ketakutan melihat sesuatu yang menyeramkan, seolah-olah akan mengancam dirinya, jerit tangisnya menyiratkan ketakutan yang teramat sangat. Apa mungkin Zahra sedang melihat makhluk ghaib, setankah, genderuwo, pocong, kolongwewe, kuntilanak, atau sundel bolong? Apa mungkin ribuan bangsa jin memadati rumahku sehingga malam terasa begitu mencekam, seperti yang aku rasakan sebelum tidur? Ah, tak mungkin, itu hanya khayalanku belaka. 

Seiring dengan berjalannya waktu; detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam. Jerit tangis Zahra mulai pelan dan tersendat-sendat, terkadang berhenti lalu menangis lagi. Tepat pukul empat pagi, tangisan Zahra benar-benar berhenti. “Syukurlah Rin, Zahra sudah diam dan kembali tertidur,” ujarku pada istriku.

“Ya Mas,” jawabnya singkat. Kami pun kembali tidur, diselimuti malam yang terasa aneh bagiku, atau mungkin ditemani ribuan jin di rumahku.

Jam setengah tujuh pagi, aku terbangun dari tidurku, tidur yang terasa tidak nyaman karena jeritan tangis anakku yang mengagetkan di malam hari. Sementara istriku sedang sibuk menyapu, membereskan rumah yang memang berantakan, seperti berantakannya hatiku di malam tadi. Aku lihat Zahra di sebelahku, masih tidur, tak bergerak sedikitpun, lalu aku pegang jari-jemari tangannya yang mungil, terasa dingin dan tak ada respon sedikitpun. Aku merasa gelisah, kubangunkan Zahra. “Nak… nak…, bangun nak udah siang, ntar ayah gendong jalan-jalan, yuk,” kataku sambil kupegang pipinya yang lucu. Tetap saja tak bergerak dan tak ada respon. “Nak, nak…, bangun nak,” suaraku semakin meninggi dan kegelisahanku semakin memuncak.

Lalu istriku pun mendatangi kamar. “Ada apa Mas?” tanyanya. “Zahra gak mau bangun, Rin,” jawabku dengan nada yang sangat panik. “Nak, nak…, bangun nak, ini ibu,” ujar istriku sambil mengerak-gerakan tubuh Zahra yang mungil. Berkali-kali aku dan istriku membangunkan Zahra, namun tetap dengan hasil yang sama, tak ada reaksi sedikitpun. Aku pegang denyut nadi anakku, aku julurkan jari telunjukku di ujung lubang hidungnya, tak ada tanda-tanda kehidupan. “Zahra telah tiada, Rin, dia tidur pulas, dan tak bangun lagi selamanya”, kataku sembari menundukkan kepala, dan air mata pun menetes dari sudut mataku. Hatiku begitu kaget, terguncang, tersentak, hampir-hampir aku tak percaya akan kematian anakku.

Dan tambah tersentak lagi ketika tiba-tiba nafas istriku tersengal-sengal, seakan kesulitan dalam menghirup udara, sambil memegang dadanya yang terlihat menahan sakit yang sangat di jantungnya, dan tiba-tiba istriku terjatuh tak sadarkan diri. Aku sangat terkejut, gelisah, bingung, dan bertambah panik. Saking bingungnya, aku tak tahu apa yang harus aku lakukan, kecuali berteriak sejadi-jadinya, “Tolong! tolong! tolong!” teriakku. Tak lama kemudian orang-orang berdatangan ke rumahku, kujelaskan pada mereka apa yang sebenarnaya terjadi sambil aku menangis tersedu-sedu, lalu mereka pun segera membawa istriku ke rumah sakit terdekat, sementara aku dan warga yang lain mengurus jenazah anakku yang tertidur pulas selamanya.

Selang satu jam kemudian, setelah memandikan, mengkafani Zahra, dan akan menshalatinya. Kudapatkan kabar dari salah satu warga yang membawa istriku ke rumah sakit bahwa istriku tak tertolong lagi, ia terserang penyakit jantung, mungkin karena shock melihat kematian Zahra. Dan jenazah istrikupun segera dibawa pulang untuk dimandikan, dikafani, dishalati, dan dikebumikan bersama dengan Zahra.

Betapa terpukulnya aku, betapa hancur hatiku, betapa kacau hidupku, seolah dunia ini runtuh, seakan tak berguna lagi harta benda yang aku miliki. Karena hartaku yang paling berharga, dan paling kucintai telah tiada, meninggalkanku untuk selama-lamanya. Aku menangis sejadi-jadinya, hendak kusalahkan siapa atas semua ini, patutkah kusalahkan Tuhan, “Ya Allah, kenapa Kau tega, kenapa Kau secepat ini mengambil anakku satu-satunya, lalu Kau tega pula mengambil istriku, apakah Engkau senang melihatku hidup sendiri, sengsara, dan merana?” tanyaku dalam hati.

“Ah, tidak, kenapa aku mesti salahkan Tuhan, bukankah Dia yang lebih berhak mengambilnya kapanpun, bukankah Dia pemilik mutlak segala sesuatu di dunia ini, termasuk anak-istriku,” gumamku dalam hati. “Astaghfirullahal ‘adziim… Astaghfirullah,” ucapku dengan kesadaran yang mulai muncul.

Usai pemakaman dan pembacaan doa, orang-orang segera pulang menuju ke rumah masing-masing dengan berbagai pembicaraan, cerita, dan prasangka sendiri-sendiri. Sementara itu aku masih tertunduk lesu di samping makam anak-istriku, masih teringat jelas masa-masa bahagiaku bersama Rina istriku, dan si kecil Zahra. Secepat itukah mereka meninggalkanku. Tak lama kemudian aku menjadi teringat nasihat Pak Kyai saat acara aqiqah itu.

Mungkin benar apa kata Pak Kyai dulu, dan memang kuakui itu. Selama ini aku jauh dari Allah, aku jarang sekali shalat lima waktu, aku jarang mengaji, aku tak pernah berzakat, tak pernah sedekah padahal hartaku semakin melimpah, bahkan aku menggunakan berbagai cara untuk memajukan usahaku, termasuk menggunakan jimat, ke dukun, dan berbagai cara yang dilarang agama. Aku juga tak pernah mengunjungi kedua orangtuaku, aku tidak berbakti kepadanya, mungkin aku pantas disebut anak durhaka. Parahnya lagi aku sering main wanita, aku sering pergi ke klub-klub malam, kafe remang-remang, dan tempat-tempat maksiat di kota ini pernah aku sambangi. Aku menjadi lupa daratan, aku menjadi lupa pada-Mu, Ya Allah.

Sejurus kemudian aku menitikkan air mata penyesalan, bukan air mata kehilangan. Aku menangis sejadinya-jadinya, hingga burung-burung pun seakan meilhatku dengan wajah keheranan, dan pohon-pohon serta rerumputan seolah ikut menemaniku menangis. Lalu terucap dari bibir ini istighfarku yang penuh dengan kesadaran, penyesalan yang sangat, dan pertaubatan kepada Allah, “Astaghfirullahal ‘adziim… Astaghfirullah… Astaghfirullah…, aku ingin kembali kepada-Mu Ya Allah, aku ingin kembali ke jalan-Mu, jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat; bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat.

Tak lama setelah itu, aku segera pulang ke rumah, langsung aku ambil kunci kontak mobilku. Kukendarai mobil sedanku, dan segera aku menuju ke pesantren untuk menemui Pak Kyai. Sesampainya di sana Pak Kyai sedang berdiri di depan teras rumahnya mengenakan pakaian tuanya, seolah sedang menunggu kedatanganku. Aku segera berlari, dan tanpa bicara sedikitpun langsung kupeluk erat Pak Kyai, dan beliau pun memelukku dengan eratnya, bagaikan ayah dan anak yang lama tak jumpa. Lalu tanpa sadar air mataku menetes, air mata yang penuh penyesalan, air mata yang mengantarkanku pada kesadaran, air mata yang mengantarkanku pada pertaubatan, air mata yang mengantarkanku pada jalan Tuhan, dan air mata yang membuka lembaran hidup baruku.


Rihan Musadik
Purbalingga, Juli 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar