Oleh: Al-Faqir Rihan Musadik
Sekali
waktu Allah berfirman dalam Al-Qur’an dengan pertanyaan retoris, yakni
pertanyaan yang sebenarnya tidak memerlukan jawaban. Akan tetapi, pertanyaan
yang menggelitik kesadaran kita, bahkan tidak jarang seringkali menyindir sikap
hidup kita. Ada banyak sekali pertanyaan retoris yang Allah lontarkan dalam
Al-Qur’an kepada manusia. Tujuannya tentu saja agar manusia berpikir kembali,
merenung sejenak, kontemplasi tentang kebenaran yang telah Allah sampaikan
kepada manusia, baik melalui ayat-ayat qauliyah
maupun ayat-ayat kauniyah. Tidak
hanya itu, retorika yang Allah ajukan itu juga merupakan media perenungan bagi
manusia yang acapkali banyak melakukan kekeliruan dalam menjalani kehidupan.
Sehingga dengan adanya perenungan pada sikap hidup manusia yang boleh jadi
banyak terjadi penyimpangan, manusia menjadi sadar dan dapat kembali menapaki
jalan yang telah Allah gariskan melalui Al-Qur’an dan petunjuk utusan-Nya.
Dalam
Al-Qur’an surah An-Naba’ ayat 6 dan 7, Allah bertanya, “Bukankah Kami telah jadikan
bumi sebagai hamparan? Dan gunung-gunung sebagi pasak?”. Sejenak kita merenung,
bumi sebagai hamparan dan gunung sebagai pasak. Allah mempertanyakannya dengan
gaya retoris, yang sudah barang tentu, pasti akan ada hikmah dan pelajaran yang
bisa kita petik, selagi kita merenungi dan menghayati dengan segenap potensi
yang kita miliki, baik itu akal, indera, maupun hati nurani.
Bumi
yang berbentuk bulat, digambarkan Allah sebagai hamparan, bagaikan sebuah
karpet yang kita gelar sebagai alas, terhampar luas dan lapang. Begitu pula
bumi yang kita pijak, terhampar luas dan lapang, sehingga kita pun seringkali
tanpa sadar menganggap bahwa bumi itu datar, terhampar seperti lapangan luas,
padahal hakikat bumi adalah bulat. Hal ini karena saking luasnya hamparan bumi
yang telah Allah ciptakan bagi segenap makhluk-Nya, khususnya bagi manusia yang
telah diberikan anugerah besar melebihi makhluk-makhluk Allah yang lain. Karena
anugerah besar inilah manusia diberi mandat untuk menjadi khalifah atau wakil
Allah yang memimpin seluruh makhluk di muka bumi ini, tujuannya agar kehidupan di
bumi menjadi makmur dan sejahtera.
Setelah
Allah memberikan titah kepada manusia untuk menjadi khalifah, Allah tidak
lantas membiarkan begitu saja. Allah tahu bahwa makhluk yang bernama manusia
ini bersifat lemah, keluh kesah, dan banyak berbuat salah. Kita sering
mendengar dari guru-guru yang mulia, ketika Allah memberikan amanah kepada
bukit, gunung-gunung, dan makhluk-makhluk-Nya yang lain untuk menjadi khalifah,
mereka semua menolak karena besar dan beratnya amanah yang akan
dipertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak. Akan tetapi manusia menerima, dan
kebanyakan manusia itu bertindak bodoh. Dalam Al-Qur’an dikatakan, Allah hendak memberikan keringanan kepadamu,
dan manusia dijadikan bersifat lemah (An-Nisa’: 28). Dalam ayat yang lain
juga disebutkan, sesungguhnya manusia
diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir (Al-Ma’arij: 19).
Karena
sifat-sifat inilah Allah memberikan pedoman hidup bagi manusia agar dapat
menjadi khalifah dengan baik. Agar ketika terjadi perselisihan, kebingungan,
dan kebimbangan, manusia dapat merujuk pada pedoman yang telah Allah turunkan
berupa Al-Kitab dan Nabi-Nya yang bertugas menyampaikan dan menjelaskan ajaran
Allah subhanahu wa ta’ala. Selain
itu, seorang nabi juga menjadi model atau contoh yang harus diteladani oleh
umat manusia. Setiap nabi diutus untuk suatu kaum atau bangsa, akan tetapi
Allah mengirim nabi terakhir yang diutus bukan untuk suatu kaum atau bangsa,
melainkan untuk seluruh umat manusia, segala bangsa, semua kaum, rumpun, suku,
atau ras, menembus sekat-sekat perbedaan. Dialah Rasulullah Muhammad shallallahu’alaihi wasallam, nabi dan
rasul terakhir, suri tauladan terbaik yang pernah menginjakkan kakinya di muka
bumi, Allah takdirkan ia membangun peradaban Islam di jazirah Arab yang terus
menyebar ke muka bumi hingga hari ini, hingga dunia berakhir.
Oleh
karena itu, manusia di era modern saat ini, lebih layak dan patut menjadikan
Muhammad shallallahu’alaihi wasallam sebagai
nabinya yang terakhir, bukan nabi yang lain. Karena Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam adalah
pemegang tongkat estafet dari nabi-nabi sebelumnya, ia bertugas menyempurnakan
ajaran Islam yang dibawa oleh nabi-nabi terdahulu. Ajaran Islam yang dibawa
Muhammad shallallahu’alaihi wasallam
adalah ajaran yang paling sempurna, karena ia menyempurnakan ajaran Islam yang
dibawa oleh nabi-nabi sebelumnya, semisal Nabi Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub,
Daud, Sulaiman, Musa, dan Isa al-Masih.
Ajaran
Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam
adalah ajaran yang paling cocok untuk manusia di zaman akhir ini, karena
memang Allah jadikan beliau sebagai utusan terkahir bagi seluruh umat manusia
hingga akhir zaman. Allah rekomendasikan kepada umat manusia untuk menjadikan
beliau sebagai suri tauladan yang apabila diikuti dengan benar dan
sungguh-sungguh pasti akan mendapatkan hakikat kebahagiaan. Dan memang
demikianlah kenyataannya, beliau shallallahu’alaihi
wasallam adalah suri tauladan terbaik yang pernah menginjakkan kakinya di
bumi Allah ini. Dan Allah menjadikannya sebagai rekomendasi terakhir untuk
diikuti seluruh umat manusia hingga berakhirnya bumi ini alias hari kiamat. Dan tiadalah Kami mengutus kamu (wahai Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam (Al-Anbiya': 107).
Bukankah
Michael Hart, seorang sarjana Yahudi, menulis sebuah buku Seratus Tokoh Dunia Paling Berpengaruh dan menempatkan Nabi
Muhammad shallallahu‘alaihi wasallam
sebagai urutan yang pertama? Kenapa demikian? Karena sang penulis sendiri
mengakui bahwa beliau shallallahu‘alaihi
wasallam telah membawa perubahan besar bagi bangsa Arab yang tadinya
jahiliyah, terpencil, hidup di padang tandus, menjadi bangsa dengan peradaban
yang tinggi dan menjadi pusat serta sumber pencerahan bagi dunia. Ajarannya
terus berkembang, diikuti dan menyebar hingga sekarang.
Mahatma
Gandhi, tokoh besar Hindu, pernah menulis dalam memoarnya, “Bukan karena
tajamnya pedang dan kekuatan militer yang membuat Muhammad dan ajarannya cepat
menyebar. Akan tetapi, karena keluhuran akhlaknya dan kemuliaan ajarannya
sehingga orang-orang di sekelilingnya menjadi tertarik untuk bergabung”. Dan sesungguhnya kamu (wahai Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung (Al-Qalam: 4). Kemudian
Dr. Hans Kung, sang teolog Kristen tingkat dunia, mengatakan bahwa Islam adalah
jalan penyelamatan yang sebenarnya, dan gereja tidak mungkin terus-menerus
mengingkari kenabian Muhammad sebagai nabi akhir zaman yang sesungguhnya.
Patutkah
engkau mengikuti nabi yang sebelumnya, padahal Allah telah mengirim nabi-Nya
yang terakhir? Masihkah engkau berkeras hati mengikuti ajaran nabi terdahulu,
padahal Allah telah mewajibkan untuk mengikuti nabi-Nya yang terakhir? Mengapa engkau
masih saja mengikuti ajaran lain, sementara Allah telah menurunkan ajaran yang
sempurna melalui Muhammad shallallahu‘alaihi
wasallam? Apakah engkau tidak berpikir?
Tadabbur surah An-Naba' ayat 6 dan 7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar