Rabu, 12 November 2014

Manusia Modern dan Nabi Universal

Oleh: Al-Faqir Rihan Musadik

Sekali waktu Allah berfirman dalam Al-Qur’an dengan pertanyaan retoris, yakni pertanyaan yang sebenarnya tidak memerlukan jawaban. Akan tetapi, pertanyaan yang menggelitik kesadaran kita, bahkan tidak jarang seringkali menyindir sikap hidup kita. Ada banyak sekali pertanyaan retoris yang Allah lontarkan dalam Al-Qur’an kepada manusia. Tujuannya tentu saja agar manusia berpikir kembali, merenung sejenak, kontemplasi tentang kebenaran yang telah Allah sampaikan kepada manusia, baik melalui ayat-ayat qauliyah maupun ayat-ayat kauniyah. Tidak hanya itu, retorika yang Allah ajukan itu juga merupakan media perenungan bagi manusia yang acapkali banyak melakukan kekeliruan dalam menjalani kehidupan. Sehingga dengan adanya perenungan pada sikap hidup manusia yang boleh jadi banyak terjadi penyimpangan, manusia menjadi sadar dan dapat kembali menapaki jalan yang telah Allah gariskan melalui Al-Qur’an dan petunjuk utusan-Nya.

Dalam Al-Qur’an surah An-Naba’ ayat 6 dan 7, Allah bertanya, “Bukankah Kami telah jadikan bumi sebagai hamparan? Dan gunung-gunung sebagi pasak?”. Sejenak kita merenung, bumi sebagai hamparan dan gunung sebagai pasak. Allah mempertanyakannya dengan gaya retoris, yang sudah barang tentu, pasti akan ada hikmah dan pelajaran yang bisa kita petik, selagi kita merenungi dan menghayati dengan segenap potensi yang kita miliki, baik itu akal, indera, maupun hati nurani.

Bumi yang berbentuk bulat, digambarkan Allah sebagai hamparan, bagaikan sebuah karpet yang kita gelar sebagai alas, terhampar luas dan lapang. Begitu pula bumi yang kita pijak, terhampar luas dan lapang, sehingga kita pun seringkali tanpa sadar menganggap bahwa bumi itu datar, terhampar seperti lapangan luas, padahal hakikat bumi adalah bulat. Hal ini karena saking luasnya hamparan bumi yang telah Allah ciptakan bagi segenap makhluk-Nya, khususnya bagi manusia yang telah diberikan anugerah besar melebihi makhluk-makhluk Allah yang lain. Karena anugerah besar inilah manusia diberi mandat untuk menjadi khalifah atau wakil Allah yang memimpin seluruh makhluk di muka bumi ini, tujuannya agar kehidupan di bumi menjadi makmur dan sejahtera.

Setelah Allah memberikan titah kepada manusia untuk menjadi khalifah, Allah tidak lantas membiarkan begitu saja. Allah tahu bahwa makhluk yang bernama manusia ini bersifat lemah, keluh kesah, dan banyak berbuat salah. Kita sering mendengar dari guru-guru yang mulia, ketika Allah memberikan amanah kepada bukit, gunung-gunung, dan makhluk-makhluk-Nya yang lain untuk menjadi khalifah, mereka semua menolak karena besar dan beratnya amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak. Akan tetapi manusia menerima, dan kebanyakan manusia itu bertindak bodoh. Dalam Al-Qur’an dikatakan, Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah (An-Nisa’: 28). Dalam ayat yang lain juga disebutkan, sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir (Al-Ma’arij: 19).

Karena sifat-sifat inilah Allah memberikan pedoman hidup bagi manusia agar dapat menjadi khalifah dengan baik. Agar ketika terjadi perselisihan, kebingungan, dan kebimbangan, manusia dapat merujuk pada pedoman yang telah Allah turunkan berupa Al-Kitab dan Nabi-Nya yang bertugas menyampaikan dan menjelaskan ajaran Allah subhanahu wa ta’ala. Selain itu, seorang nabi juga menjadi model atau contoh yang harus diteladani oleh umat manusia. Setiap nabi diutus untuk suatu kaum atau bangsa, akan tetapi Allah mengirim nabi terakhir yang diutus bukan untuk suatu kaum atau bangsa, melainkan untuk seluruh umat manusia, segala bangsa, semua kaum, rumpun, suku, atau ras, menembus sekat-sekat perbedaan. Dialah Rasulullah Muhammad shallallahu’alaihi wasallam, nabi dan rasul terakhir, suri tauladan terbaik yang pernah menginjakkan kakinya di muka bumi, Allah takdirkan ia membangun peradaban Islam di jazirah Arab yang terus menyebar ke muka bumi hingga hari ini, hingga dunia berakhir.

Oleh karena itu, manusia di era modern saat ini, lebih layak dan patut menjadikan Muhammad shallallahu’alaihi wasallam sebagai nabinya yang terakhir, bukan nabi yang lain. Karena Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam adalah pemegang tongkat estafet dari nabi-nabi sebelumnya, ia bertugas menyempurnakan ajaran Islam yang dibawa oleh nabi-nabi terdahulu. Ajaran Islam yang dibawa Muhammad shallallahu’alaihi wasallam adalah ajaran yang paling sempurna, karena ia menyempurnakan ajaran Islam yang dibawa oleh nabi-nabi sebelumnya, semisal Nabi Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub, Daud, Sulaiman, Musa, dan Isa al-Masih. 

Ajaran Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam adalah ajaran yang paling cocok untuk manusia di zaman akhir ini, karena memang Allah jadikan beliau sebagai utusan terkahir bagi seluruh umat manusia hingga akhir zaman. Allah rekomendasikan kepada umat manusia untuk menjadikan beliau sebagai suri tauladan yang apabila diikuti dengan benar dan sungguh-sungguh pasti akan mendapatkan hakikat kebahagiaan. Dan memang demikianlah kenyataannya, beliau shallallahu’alaihi wasallam adalah suri tauladan terbaik yang pernah menginjakkan kakinya di bumi Allah ini. Dan Allah menjadikannya sebagai rekomendasi terakhir untuk diikuti seluruh umat manusia hingga berakhirnya bumi ini alias hari kiamat. Dan tiadalah Kami mengutus kamu (wahai Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam (Al-Anbiya': 107).

Bukankah Michael Hart, seorang sarjana Yahudi, menulis sebuah buku Seratus Tokoh Dunia Paling Berpengaruh dan menempatkan Nabi Muhammad shallallahu‘alaihi wasallam sebagai urutan yang pertama? Kenapa demikian? Karena sang penulis sendiri mengakui bahwa beliau shallallahu‘alaihi wasallam telah membawa perubahan besar bagi bangsa Arab yang tadinya jahiliyah, terpencil, hidup di padang tandus, menjadi bangsa dengan peradaban yang tinggi dan menjadi pusat serta sumber pencerahan bagi dunia. Ajarannya terus berkembang, diikuti dan menyebar hingga sekarang.

Mahatma Gandhi, tokoh besar Hindu, pernah menulis dalam memoarnya, “Bukan karena tajamnya pedang dan kekuatan militer yang membuat Muhammad dan ajarannya cepat menyebar. Akan tetapi, karena keluhuran akhlaknya dan kemuliaan ajarannya sehingga orang-orang di sekelilingnya menjadi tertarik untuk bergabung”. Dan sesungguhnya kamu (wahai Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung (Al-Qalam: 4). Kemudian Dr. Hans Kung, sang teolog Kristen tingkat dunia, mengatakan bahwa Islam adalah jalan penyelamatan yang sebenarnya, dan gereja tidak mungkin terus-menerus mengingkari kenabian Muhammad sebagai nabi akhir zaman yang sesungguhnya.

Patutkah engkau mengikuti nabi yang sebelumnya, padahal Allah telah mengirim nabi-Nya yang terakhir? Masihkah engkau berkeras hati mengikuti ajaran nabi terdahulu, padahal Allah telah mewajibkan untuk mengikuti nabi-Nya yang terakhir? Mengapa engkau masih saja mengikuti ajaran lain, sementara Allah telah menurunkan ajaran yang sempurna melalui Muhammad shallallahu‘alaihi wasallam? Apakah engkau tidak berpikir?


Tadabbur surah An-Naba' ayat 6 dan 7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar