Jumat, 07 November 2014

Refleksi Kematian

Kematian adalah kepastian. Mungkin ada segelintir orang yang tidak percaya adanya Tuhan, tidak percaya ada kehidupan setelah mati. Tapi satu hal yang semua orang akan sepakat, yakni adanya kematian. Semua makhluk di bumi, pasti pada saatnya akan mengalami kematian. Semua orang percaya kematian adalah suatu keniscayaan yang tak dapat dielakkan, sebab mereka membukti- kan sendiri, bagiamana orang yang dahulunya hidup, hari ini telah tiada. Orang yang hari ini masih sehat, beberapa waktu telah mangkat. Sehingga semua orang dapat dipastikan akan percaya adanya kematian. Akal sehat sangat tidak mungkin menolak kepastian akan adanya kematian bagi makhluk di bumi ini.

Pertanyaan selanjutnya untuk kita renungkan bersama, apakah kita benar-benar percaya dan yakin akan adanya kematian yang semua manusia pasti akan mengalaminya? Logika kita pasti mengatakan kematian adalah hal yang mesti terjadi, akan tetapi perbuatan kita sehari-hari seringkali menunjukkan bahwa kita tidak percaya kematian. Mengapa demikian? Mari kita cermati kehidupan sehari-hari kita. Betapa manusia disibukkan oleh pekerjaan, mencari harta, jabatan, pangkat, wanita, kehormatan, dan pujian manusia. Sementara bekal setelah kematian dilupakan, kewajiban pada Tuhan ditinggalkan, perintah-Nya diabaikan, larangan-Nya justru malah dilakukan. Apakah ini tidak mencerminkan bahwa seolah-olah kita tidak percaya kematian? Kita lupa, seolah-olah hidup di dunia ini segalanya. Seolah-olah hidup di dunia ini akan abadi sehingga hanya sibuk urusan duniawi sementara urusan akhirat dinomorduakan.

Tidaklah salah manusia mencari harta, bekerja, mengais rezeki yang telah Allah karuniakan. Akan tetapi, jangan sampai kita lupakan bekal setelah kita mati, bekal untuk kehidupan akhirat, bekal untuk kehidupan abadi yang tidak akan pernah mati. Oleh karena itu, sekali lagi,  jangan sampai kita hanya disibukkan oleh urusan duniawi saja, sementara urusan akhirat dipinggirkan. Sisihkan sebagian harta kita untuk sedekah di jalan Allah, sebab harta yang kita dermakan itulah yang sesungguhnya adalah simpanan kita, harta yang kita infaqkan itulah yang akan menyelamatkan kita. Lain dari itu, harta yang dibelanjakan bukan karena ibadah, bukan karena Allah, itulah harta yang sia-sia yang terkadang justru malah membawa petaka. Oleh karena itu, mari kita jadikan segala macam aktivitas kita bernilai ibadah. Kita niatkan segala macam aspek kehidupan kita karena Allah dan hanya untuk Allah semata. Lillahi ta’ala.

Sekali lagi, mari kita jadikan segala macam aktivitas kita hanya untuk Allah semata. Katakanlah: sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, matiku, hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam (Al-An’am: 162). Bahkan ada seorang ulama yang menasihatkan untuk menjadikan kematian sebagai slogan hidup, "Jadikan kematian sebagai slogan hidupmu!" katanya. Mengapa? Karena dengan menjadikan kematian sebagai slogan hidup, maka kita tidak akan diperbudak oleh dunia dan hawa nafsu. Dunia justru menjadi ladang amal untuk bekal kita setelah kematian, dan hawa nafsu pun insya Allah bisa kita kendalikan.

Demikian ini adalah refleksi penulis tentang kematian. Tepat hari Jum’at, 14 Muharram 1436 H, penulis mendapat kabar kematian sekaligus dua, yaitu saudara penulis (orang Jawa menyebutnya Uwa atau Bude), dan teman sekerja Ayahku yang usianya masih sebaya dengan penulis. Uwa memang sudah lama sakit, terbujur lama di pembaringan, tak ingat apa-apa lagi, tiga hari sebelum kematiannya, beliau tak mau makan dan minum, hingga akhirnya Allah wafatkan pada pagi hari. Teman Ayah, malamnya masih sehat, tak pernah ada keluhan sakit, bukan seorang perokok, bahkan malam hari sempat ngobrol dengan beberapa kawannya. Malamnya tidur di kost dengan salah seorang temannya, ketika pagi hari tiba, temannya membangunkan dan ia tidak bangun untuk selamanya. Siapa yang menyangka ia akan pergi secepat itu? Siapa yang menduga orang yang kemarin sehat wal’afiat besoknya telah tiada?

Ya Allah, dua orang ini meninggal di hari yang mulia, bulan yang mulia, dan tahun yang mulia. Hari Jum’at, hari yang mulia, hari yang agung, rajanya para hari, sayyidul ayyam. Bulan Muharram, bulan yang suci, bulan agung, bulan hijrah, salah satu bulan yang Engkau muliakan di antara para bulan. Tahun yang mulia karena Engkaulah yang menciptakan tahun ini. Maka, ampuni dosa-dosa kedua orang ini, Ya Allah. Mereka meninggal di hari yang mulia dan bulan yang mulia, maka muliakanlah mereka, Ya Allah. Mereka meninggal di bulan hijrah, mudah-mudahan kematiannya menjadi hijrah menuju alam baru yang lebih baik.


Rihan Musadik
Purbalingga, 15 Muharram 1436 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar