Pagi hari ini saya terbangun tepat pada saat mushola di depan kostku mengumandangkan iqomat, tepatnya jam berapa saya tidak tahu, segera setelah mendengar iqomat, saya terbangun, dan langsung bangkit untuk memakai sarung, baju koko, dan ambil peci; lantas saya ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu, hal itu biasa saya lakukan karena terburu-buru. Alhamdulillah masih sempat shalat berjama'ah, meski tertinggal satu raka’at. Setelah wiridan singkat (biasanya agak panjang lho), saya baca Al-Qur’an, hanya surat Al-Balad, karena memang sedang menghafal surat ini. Program untuk saya sendiri insya Allah bisa menghafal juz 30 hingga hafal betul alias di luar kepala (doakan ana ya, karena setelah hafal juz 30, insya Allah mau menghafal surat Al-Mulk dan surat Yasin).
Jadwal kuliah hari ini diawali pada pukul 07.00 pagi, teman kostku yang juga teman satu kelas, tidak berangkat, karena ingin melanjutkan tidur nyenyaknya, bisa ditebak ia mengantuk karena semalam nonton Liga Champion antara Real Madrid vs Galatasaray. Dosen mata kuliah Psikologi Kepelatihan juga telat, prediksiku, jelas dia juga nonton bola (makanya kesiangan), karena dalam setiap mengajar, hampir selalu ada menyinggung bola, begitupun kuliah pagi hari ini.
Secara pribadi, saya juga agak sedikit menyesal (agak sedikit, gak banget menyesalnya lho) karena tidak bisa nonton bola, sedangkan yang main tim elite macam Madrid (Spanyol) dan Galatasaray (Turki), tapi itu no problem, lebih menyesal lagi tidak bisa bangun malam (sepertiga malam yang terkahir) untuk shalat tahajjud. Sebabnya ya seperti biasa, tidurnya terlalu malam (kayaknya sekitar pukul 22.15). Tapi ya sudahlah, tidak perlu disesali amat, karena itu juga kehendak Tuhan (masih saja cari alasan, dasar alibi), yang penting masih bisa shalat shubuh berjamaah, dan tidak kesiangan, soalnya saya pernah shalat shubuh siang banget, jam 7 pagi kalau tidak salah (keterlaluan, shalat shubuh kok jam 7), itu pada saat iman lagi down banget, lagi pas “gila-gilaan” (semoga tidak terulang lagi).
Sekarang masuk ke perkuliahan Psikologi Kepelatihan, materi pagi ini cukup menarik, meski sudah sangat familiar di telinga mahasiswa olahraga, yaitu “Pembinaan Mental Anak Usia Dini”. Beliau menjelaskan, kalau anak usia dini lebih tepat untuk memperhatikan aspek perkembangan motoriknya, pembinaan multilateral, menarik atau membuat agar interest pada cabang olahraga, dan bagaimana agar anak tidak mudah jenuh. Intinya, anak usia dini jangan terlalu diforsir latihan berat dan menjurus pada spesialisasi dini untuk mencapai prestasi, karena pada usia-usia tersebut tidak cocok untuk terlalu fokus pada target prestasi.
Ada tahap-tahap perkembangan yang perlu dipertimbangkan dalam pembinaan prestasi, yaitu usia dini, remaja, hingga dewasa. Peak performance atau golden age ada pada usia-usia senior (dewasa), sedangkan pada usia dini masih sebatas pembinaan multilateral (pengayaan berbagai macam gerak), pada usia-usia selanjutnya hingga remaja mulai pematangan dan spesialisasi cabang olahraganya, tapi juga harus diingat bagaimana agar bisa menciptakan suasana latihan yang baik, menyenangkan, dan juga memperkenalkan cabang olahraga yang bersangkutan agar dapat disukai oleh atletnya, terlebih lagi usia dini, yang masih polos dan lugu, tetapi mampu menyimpan lebih kuat (cenderung permanen) kejadian-kejadian yang dialami dalam alam bawah sadarnya.
Pada saat proses pembelajaran sedang berlangsung, ada teman saya yang bertanya, bagaimana menghadapi orangtua yang terlalu memaksakan anaknya yang masih usia dini agar berprestasi, dan terlalu ikut campur tangan (intervensi) dalam pembinaan olahraga? Beliau menjelaskan, seorang pelatih tentunya harus bisa memberikan pemahaman dan mengomunikasikan pada orangtua atlet dengan cara yang tepat, bahwa pada usia-usia dini kurang tepat jika terlalu fokus pada prestasi, dan lebih baik jika diarahkan pada minat, ketertarikan, pemanduan bakat (melihat berbakat atau tidak) pembinaan karakter, pembinaan multilateral, dan sebagainya.
Intinya seorang pelatih harus bisa menjelaskan secara gamblang, argumentatif, persuasif, dan meyakinkan. Tentunya pada waktu-waku yang tepat, bisa dengan cara gathering dengan orangtua atlet, dalam suasana yang nyaman dan santai, istilahnya coffee break, dan tentunya cara penyampaiannya juga harus tepat dan baik. Harapannya agar orangtua atlet bisa menerima dan memahami penjelasan dari pelatih tersebut. Seandainya anak tersebut tidak memiliki bakat dalam cabang olahraga yang bersangkutan, maka harus tetap disampaikan pada orangtuanya, sebab pada usia dini anak lebih banyak mendapat pendidikan, bimbingan dari orangtua. Dengan kata lain, lebih banyak berada di bawah pengasuhan orangtua. Daripada menyesal di akhir karena tidak bisa berprestasi maksimal, lebih baik disampaikan sedari awal.
Sejenak kemudian, ada temanku lagi yang bertanya (dia kepelatihan bulutangkis). “Apakah anak usia dini bisa dilihat bakatnya? Apa bisa dilihat kemampuan tekniknya, pada usia dini lazimnya belum terlihat kemampuannya (kekuatan) untuk melakukan pukulan-pukulan dalam bulutangkis. Bukankah anak disuruh latihan dahulu baru dilihat bakat dan perkembangannya. Kalau pelatih langsung memberikan penilaian pada atletnya berbakat atau tidak berbakat, lalu disampaikan pada orangtua, lama-lama atletnya berkurang alias pada keluar, karena orangtuanya akan mengarahkan ke olahraga yang lain, jadi bagaimana Pak?” tanya temanku yang terlihat kritis dan penasaran.
Lalu beliau (dosen psikologi, yang juga mengampu mata kuliah kepelatihan renang) segera menjawab, “Tes untuk melihat bakat atlet kan ada, dan bisa dilakukan, tentunya tidak harus langsung melihat kemampuan teknik anak, lebih tepat melihat kemampuan biomotor anak yang sesuai dan relevan dengan cabang bulutangkis, seperti kecepatan, kelincahan, kecerdikan, dan lain sebagainya. Seandainya anak tersebut tidak memiliki bakat dalam cabang olahraga yang bersangkutan, maka harus tetap disampaikan pada orangtuanya, sebab pada usia dini anak lebih banyak mendapat pendidikan, bimbingan dari orangtua. Dengan kata lain, lebih banyak berada di bawah pengasuhan orangtua. Daripada menyesal di akhir karena tidak bisa berprestasi maksimal, lebih baik sampaikan sedari awal,” jawab dosenku (pada tulisan ini sedikit saya tambahkan jawabannya).
Lalu temanku sedikit kasak-kusuk di belakang dengan teman yang lain, “Kalau untuk melihat daya tahan, masak sih, anak-anak di tes daya tahannya dengan berlari, rasanya kan tidak mungkin,” kata temanku yang tidak puas dengan jawaban dosen. Saya jawab dalam hati, ”Kalau mau ngetes daya tahan pada anak usia dini, berarti pelatihnya yang tidak paham, ngapain harus melihat daya tahannya, toh daya tahan bisa ditingkatkan (secara teoritis ilmu keolahragaan) hingga 600 %, yang lebih penting dalam bulutangkis kan kelincahan, kecepatan, koordinasi. Komponen biomotor ini tidak semua anak memilikinya, dan ini bisa diteskan, atau pelatih mengamati langsung secara jeli pada masing-masing anak, karena akan terlihat mana anak yang lincah, nakal, jahil, cepat gesit, dll. Serta mana anak yang lamban, pendiam, pemalu, dan sebagainya. Lagi pula untuk kecepatan, secara teoritis hanya bisa ditingkatkan hingga 15 % saja, itu berarti anak yang memiliki kecepatan adalah bakat atau bawaan, yang secara fisiologi lebih dominan otot putihnya (fast twitch/otot cepat) daripada otot merahnya (slow twitch/otot lambat)”. Itu jawaban sementara saya dalam hati saat di kelas.
Sebenarnya ini menjadi diskursus yang menarik tentang pembinaan atlet usia dini, kaitannya dengan orangtuanya, dan pelatih itu sendiri atau manajemen klub. Jawaban dari dosen saya itu, sebenarnya masih problematis, karena apa yang dipertanyakan oleh teman saya tersebut ada benarnya, sebab kalau sedari awal seorang pelatih langsung memvonis anak tersebut kurang berbakat—kalau enggan berkata tidak berbakat—dan menyampaikan pada kedua orangtuanya, kemungkinan besar orangtua tersebut akan mengeluarkan anaknya dari klub tersebut, dan bukan tidak mungkin kalau atlet-atletnya, khususnya yang usia dini akan “kabur” semua, seperti yang dikhawatirkan temanku.
Memang di sisi lain, apa yang dikatakan oleh dosen saya ada benarnya, seorang pelatih harus mengatakan dengan jujur dan terbuka tentang kelebihan, kekurangan, dan bakat yang dimiliki atletnya yang usia dini tersebut, karena itu demi kebaikan anak tersebut, karena lebih baik mengatakannya dari awal, daripada nantinya malah menyesal dan kecewa karena tidak bisa berprestasi secara maksimal di cabang olahraganya. Kendati—masih kata dosen—ada pelatih yang cenderung saling menjatuhkan atau lebih halusnya “tidak paham”, dengan mengatakan pada orangtua anak, “Menurut saya anak Anda berbakat, mungkin itu penilaian yang salah dari pelatih A”, atau dengan mengatakan, ”Meski kurang berbakat, anak Anda kalau latihan dengan saya bisa menjadi hebat, dan bakatnya akan saya bentuk”, atau dengan berkata, ”Semua itu ada prosesnya, ini kan masih anak usia dini, bakatnya belum kelihatan”, dan perkataan-perkataan lain yang sejenis.
Di sini saya malah mendapat satu pertanyaan lagi, apakah yang disebut dengan bakat itu bawaan dari lahir? Apakah bakat bisa dikembangkan dengan cara yang tepat? (mungkin pembahasan detailnya di bab tersendiri). Tapi yang jelas, kalau seseorang memiliki bakat bawaan dari lahir atau katakanlah bakat alam, tentu akan lebih berkembang dan lebih maksimal dalam mencapai prestasi di bidangnya. Nah, yang menjadi pertanyaan, apakah orang yang tidak berbakat sekalipun bisa mencapai prestasi maksimal? Apakah bakat itu bisa dibentuk dengan sendirinya meski itu bukan “bakat alam”? (kok jadi banyak banget pertanyaan sih, nambah bingung aja, tapi gak apa, ini kan bagian dari proses belajar dan berpikir, setuju?).
Kembali ke pembahasaan antara teman saya dan dosen psikologi. Sebenarnya mana yang lebih tepat, apakah mengatakan dengan jujur ke orangtuanya tentang bakat anaknya yang kurang (berdasarkan pre test dan pertimbangan tertentu) sehingga dikhawatirkan anak tersebut akan dipindahkan orangtuanya ke lain klub, kendati demi kebaikan anak tersebut dan kepuasan orangtua, ataukah tidak mengatakan pada orangtuanya tentang kekurangan anak tersebut, yaitu tidak berbakat, tapi dengan cara membuat anak tersebut tetap interest (tidak boring atau burn out) pada cabang olahraga atau klub yang diasuh oleh pelatihnya, sehingga anak tersebut tetap senang dan latihan meski jarang berprestasi. Lalu muncul lagi pertanyaan dari teman saya tersebut (kritis juga yah), “Kalau atlet terus-menerus tidak berprestasi atau katakanlah jarang sekali berprestasi, bukankah itu menjadikannya jenuh, dan orangtua pun kecewa?” (lagi-lagi muncul tanda tanya, pertanyaan yang satu belum kelar, muncul lagi pertanyan lain—mati satu tumbuh seribu—eh, gak pas ya peribahasanya, sorry…). Mungkin jawabannya sangat individual, tergantung dari persepsi, pengetahuan, dan pemahaman masing-masing orang.
Sampai di sini dulu CHIP hari ini, semoga bermanfaat (apa malah tambah bingung?) dan semoga bahasan ini juga menjadi bagian dari proses pembelajaran kita untuk selalu berpikir kritis dan dinamis. Wassalam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar