Tadi malam, tepatnya Jum’at malam, seperti biasa di gedung rektorat lama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, diadakan diskusi ilmiah dengan pemakalah/pemateri dari dosen-dosen UIN, dengan moderator tetap Prof. Dr. H. M. Abdul Karim, M.A dan juga pendamping tetap diskusi ilmiah tersebut Dr. Muhammad Damami, M.Ag. Lalu pemateri pada acara diskusi ilmiah tersebut, yaitu Sulistyaningsih, S.Sos., M.Si. Beliau dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga. Tema pada malam itu cukup menarik, berkaitan dengan pola hidup anak muda di daerah pedesaaan, baik pola konsumsi, maupun life style-nya. Adalah sebuah penelitian yang dilakukan pemateri di Dusun Babadan, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul.
Pada awal pemberian materi atau penjelasan makalah, gaya penyampaian beliau sangat monoton dalam menjelaskan tema tersebut, karena hanya membacakan saja makalahnya, tidak seperti pembicara-pembicara lain yang lebih kreatif dalam menyampaikan, lebih menarik, humoris, dan penjelasan secara oral di luar teks makalah, mungkin ini kekurangannya, karena pembaca bisa membaca secara langsung di makalah. Jadi, alangkah baiknya jika dalam membawakan materi tidak terpaku pada teks, tapi di selingi bahasan yang relevan di luar teks. Pada penelitian tersebut menggunakan metode penelitian kualitatif, dan teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan observasi, sampel atau informan yang diambil menggunakan purposive sampling, yaitu sampel bertujuan tergantung kepentingan atau sudut pandang peneliti.
Pada saat sesi diskusi, ada peserta yang bertanya tentang apa itu pengertian konsumsi? Karena yang selama ini kita dengar, konsumsi merujuk kepada sesuatu yang bisa di makan, contohnya jika mendengar dalam sebauh kepanitiaan ada seksi konsumsi, tentu kita langsung berpikir snack, makanan, dan minuman. Sedangkan beliau menjelaskan anak muda zaman sekarang banyak mengkonsumsi handphone, laptop, sepeda motor, dan akses internet. Lalu beliau menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan konsumsi/pola konsumsi adalah bagian dari tindakan ekonomi yang dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhannya, sedangkan kebutuhan manusia secara umum dibagi menjadi tiga, yaitu: kebutuhan pokok (seperti: sandang, pangan, papan), kebutuhan sekunder (seperti: handphone, sepeda motor, lemari, kulkas, dsb.), kebutuhan tersier (misalnya: mobil mewah, AC, kolam renang, dsb.). Yang menjadi pertanyaan saya pribadi adalah pendidikan, spiritualitas, kebahagiaan itu masuk dalam kebutuhan apa? Mungkin akan sedikit berbeda jika dibandingkan denga teori kebutuhan Maslow yang dijelaskan secara hierarki: physiological needs, safety needs, love and belonging needs, self-esteem needs, dan self-actualization needs.
Beliau melanjutkan, pola konsumsi anak-anak muda sekarang sangat berbeda secara diametral dibandingkan zaman dahulu. Saat ini, di era post-modernisme, anak muda cenderung memenuhi kebutuhan tanpa melihat atau mengkalkulasi kondisi financial keluarganya bagi yang belum berkeluarga, dan bagi yang sudah berkeluarga tidak mempertimbangkan penghasilannya. Artinya, mereka cenderung mengkonsumsi barang-barang yang terkadang memang tidak begitu diperlukan, hanya sebatas memenuhi gengsi lingkungan pergaulannya (peer group). Beliau menjelaskan faktor yang mempengaruhi pola konsumsi, ada faktor internal (konstruksi pemikiran/pengaruh keluarga) dan faktor eksternal (lingkungan pergaulan) lebih spesifik lagi ada faktor demografis (tingkat pendidikan, usia, jenis kelamin, pengalaman, dsb.), dan faktor psikografis (lebih kompleks, tidak dijelaskan pemakalah). Yang menjadi pertanyaan salah satu peserta (masih peserta yang tadi) adalah bagaimana pengaruhnya pola konsumsi demikian dengan kehidupan beragamanya? Beliau menjelaskan (dalam makalah lebih detail) pola-pola konsumsi demikianlah yang menyebabkan gaya hidup yang beragam di antara anak-anak muda tersebut, bisa karena faktor demografis atau psikografis. Tetapi secara umum, di dusun yang tergolong masyarakat sub-urban (lingkungan pedesaan, akan tetapi akses teknologi informasi dan komunikasi lancar) tersebut, kegiatan perkumpulan pemuda sangat positif, seperti acara pengajian (terlebih pada saat event ramadhan), karangtaruna, dan kegiatan-kegiatan yang sejenis.
Intinya di daerah dusun tersebut masih kental lingkungan yang guyub (kohesivitas sosial) dan gotong-royong. Hanya saja yang menjadi pertanyaan saya adalah sejauh mana pengaruhnya terhadap kondisi keagamaan masing-masing individu yang diteliti? Ini yang belum di jelaskan, karena memang peneliti tidak concern pada aspek keagamannya, dan hanya fokus seputar pola konsumsi dan gaya hidup. Di samping karena penelitian ini diakui sendiri oleh peneliti, tergolong riset kecil, karena hanya melibatkan satu dusun saja, tidak seluas jika meneliti kabupaten, atau provinsi, bahkan pulau Jawa.
Dalam makalah tersebut dijelaskan ragam konsumsi produk barang, dan jasa yang di konsumsi oleh pemuda dusun Babadan dalam bentuk pemetaan yang sistematis, dijelaskan produknya apa, mereknya, harga, dan lama kepemilikan. Secara umum juga dipaparkan jumlah penduduk, kondisi demografi, mata pencaharian penduduk, rata-rata penghasilan, dan pendapatan per kapita, dsb. Kemudian dijelaskan juga, dari perbedaan pola-pola konsumsi tersebut itulah yang menyebabkan life style yang beragam, dalam makalah juga dijelaskan bahwa secara teoritis gaya hidup adalah pola-pola tindakan yang membedakan antara satu orang dengan orang lain. Gaya hidup menjadi icon tersendiri bagi anak-anak muda (bahkan hampir semua individu) dalam berinteraksi dengan masyarakatnya, dan ini menjadi salah satu manifestasi dari identitas seseorang, yang melalui gaya hidup akan tersampaikan simbol-simbol atau nilai tanda (sign-value) dari diri seseorang, apakah termasuk dari kalangan status sosial kelas menengah, bawah, atau atas. Yang mana hal ini tentu saja tergantung dari masing-masing individu atau lebih tepatnya juga dipengaruhi faktor psikografi yang kompleks, di samping ada banyak faktor yang mendorongnya.
Terakhir, seperti biasa sebelum acara diskusi diakhiri, Dr. Muhammad Damami memberikan uraian singkat menanggapi penanya yang lain, bahwa dalam penelitian kualitatif, ada yang sifatnya aplikatif (terapan) dan tidak aplikatif (pure research). Lalu disampaikan pula, penelitian kualitatif ada yang tujuannya ideografik, yaitu hanya menggambarkan, memetakan, mengetahui, dan memahami; lalu ada yang tujuannya nomotetik, yaitu menghasilkan teori baru, bahkan memberikan solusi (problem solving). Sebagai catatan, apa yang disampaikan oleh Ustadz Damami, itu yang bisa saya tangkap dan ingat, karena ada kemungkinan saya salah memahami atau salah dengar, karena saya tidak mencatatnya secar khusus. Itu saja yang bisa saya tuliskan di sini, hanya paparan singkat yang mungkin masih menimbulkan tanda tanya. Kalaupun tidak puas dengan tulisan/bahasan ini dan masih ingin mengetahui lebih jauh, itu menandakan bahwa kita selalu berpikir kritis dan dinamis (meminjam perkataan Ustadz Damami). Wassalam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar