Kamis, 04 April 2013

Tanggapan status FB - Wacana Desakralisasi Kitab Suci

Oleh: Rihan Musadik

Menanggapi status FB ini, rasanya cukup menarik, dan tanggapan saya sepertinya lumayan panjang, jadi sengaja saya tulis di blog pribadi (sorry, bukan maksud menggurui atau sok pintar, hanya ingin comment aja). Menurut saya ini juga bagian dari kebebasan berpikir (semoga tidak kebablasan ya). Saya melihat ada komentar yang juga disetujui oleh penulis status, mengatakan bahwa, "Mau lurus mau belok, mau hitam, mau putih, biarin aja". Pertanyaannya, masa dibiarin sih? Bukankah tugas kita saling mengingatkan, mana yang benar dan mana yang salah? Kalau kita sudah menasihati dengan cara yang tepat, baik, dan benar, lalu dianya tetap tidak mau menerima, ya udah biarin, bukan tugas kita memberi hidayah, tugas kita hanya saling menasihati dan mengingatkan. Kata Allah, orang-orang dulu itu pada “binasa” karena orang-orangnya tidak saling mengingatkan, pokoknya biarin aja gak peduli (ini ada dalam Qur'an lho, bagi yang percaya, yang enggak ya monggo).

Terus komentar terakhir, “Karena kitab sucinya mungkin lagi sakit gigi, jadi gak bisa ngomong...” Katanya tidak boleh saling menyakiti hati, statement ini kalau dibaca orang-orang yang berhaluan tekstualis, bukan tidak mungkin akan menyinggung perasaannya, karena yang mereka pahami ya seperti itu, terpaku pada teks, mengganggap kitab sucinya yang paling benar, dsb. Seperti dalam komentar lain, “Semua kan punya sudut pandang yang berbeda”. Maka sebaiknya kita juga harus menghargai dan memahami pendapat masing-masing orang/kelompok. Kalau seandainya kita anggap pendapat orang lain itu salah dan pendapat kita yang lebih benar, ya sampaikan pendapat kita dengan cara yang tepat, argumentatif, dan persuasif; lantas kalau dia tetap tidak mau menerima. Ya sudah, selesai.

Lalu masalah “men-Tuhan-kan” kitab suci, ya silahkan masing-masing punya persepsi sendiri-sendiri. Tapi memangnya ada ya, di zaman post-modern seperti ini, orang yang senaif itu hingga menyetarakan kitab suci dengan Tuhan (Yang Absolut)? Ibaratnya orang bodoh pun juga tahu kalau yang namanya kitab suci itu firman Tuhan, dan bukan Tuhan itu sendiri. Oh ya, saya juga setuju dengan komentar lain, "Tersesat ke jalan yang benar". Okelah kalau begitu, semoga pada tersesat ke jalan yang benar. Amiin.

Terakhir sedikit tambahan (jangan bosen bacanya ya, tanggung nih, paragraf penutup). Dalam kajian teologi, menurut Sayyed Hossein Nasr, ada istilah “relatively absolute” (kalau gak salah, lupa-lupa inget). Artinya, kita harus "fanatik" bahwa mutlak yakin Tuhan, agama, dan kitab suci kita paling benar—kecuali yang memang tidak meyakinkan—tetapi juga harus relatif, artinya bahwa ada kemungkinan agama lain juga benar. Mungkin ini lebih proporsional. Kalau kita tidak haqqul yaqin kepada agama kita, berarti tidak usah beragama sekalian, tapi cukup seperti gerakan new age, yakni spiritual tanpa agama. Tapi bagaimana caranya, bukankah agama gudangnya spiritualitas. Spiritual tanpa agama, dikhawatirkan bukan spiritual yang akan didapat, hanya fatamorgana, maya dan semu. I’m sorry, sedikit membingungkan. Sampai di sini dulu ya, semoga bermanfaat (kalau ada). Kurang lebihnya mohon maaf. Wassalam.

1 komentar:

  1. @Rihan Musadik, sip...terimakasih ya untuk nasehatnya yg berharga untuk aku....semoga kedepannya aku menjadi lebih baik lagi...

    #salam Kaizen :-)

    BalasHapus