Selasa, 03 September 2013

Bocah itu...

Pagi itu sekitar pukul 10.30, saya pergi ke bengkel motor, dekat bangjo pertigaan UNY. Ini kali pertama ke bengkel tersebut untuk ganti oli, dan servis lampu send kiri yang mati. Ketika menunggu motor yang sedang di servis, saya dikejutkan dengan seorang anak kecil sekitar kelas 4 SD (kalau sekolah). Saya memang sedikit terkejut heran, karena bocah sekecil itu menjual koran di jalanan lampu merah pertigaan UNY. “Siapakah gerangan yang mengurusmu wahai bocah kecil? Dimana gerangan orangtuamu? Engkau tidak seperti bocah pada umumnya, yang pagi hari berangkat sekolah, siang dan sore hari bermain, tertawa riang gembira dengan kawannya, duhai malangnya nasibmu bocah kecil,” gumamku dalam hati sambil menunggu motor selesai diperbaiki.

Ketika di rumah, lebih tepatnya kamar kost (ini kamar kost bagiku sudah seperti surga, tempat sejuk buat menenangkan diri, pokoknya kamarku surgaku, halah…), saya termenung, alangkah beruntungnya saya, dan teman-teman saya yang lain, ketika masih kecil bisa hidup enak, bisa merasakan sekolah, merasakan kasih sayang orangtua, bermain, tertawa riang gembira dengan teman-teman sebaya, sementara bocah kecil yang saya lihat di pertigaan lampu merah tersebut sudah nekat (atau kepepet alias terpaksa) mencari uang dengan cara menjual koran, dan entah darimana ia mendapatkan koran tersebut.

Sesekali bocah tersebut di-glewehi oleh tukang bengkel, “njaluk korane rene,” katanya. Bocah tersebut membalas, “yen ra ono duite yo ra enthuk koran,” balasnya kepada tukang bengkel di tempat saya servis motor. Saya lihat bocah tersebut menjual koran “Tribun Jogja” yang harga ecerannya seribu rupiah. Salah satu pelanggan bengkel yang terlihat memakai seragam pegawai negeri akhirnya membeli koran dari si bocah malang itu. Dugaanku, mungkin sambil mengisi waktu menunggu motor selesai di servis. Saya lihat bapak itu membayar uang dua ribu rupiah, saat bocah itu merogoh tas kecilnya tempat menaruh uang untuk mengambil kembalian, bapak itu pun berkata, “wis jujule nggo kowe wae”. “Nggih Pak, maturnuwun,” balas bocah itu. Lalu bocah itu pun berlari menyebrang menuju lampu merah, dan terlihat gembira setelah korannya dibeli bapak itu dua ribu rupiah tanpa kembalian.

Ya Allah, lagi-lagi hamba harus banyak bersyukur kepada-Mu, ketika kecil hamba hidup terjamin, bahagia, tenang, tentram, damai, dan bisa sekolah hingga kuliah sekarang. Sementara di negeri ini masih banyak anak-anak, bocah-bocah yang putus sekolah, sengsara, tidak terurus, kurang gizi, seperti halnya bocah yang baru saja saya lihat ketika di bengkel.

Alhamdulillah. Segala puji hanya bagi Allah. Hingga saat ini rezeki saya terjamin, meski masih dalam tanggungan orangtua. Ya Allah, beri kemampuan pada hamba untuk bisa mensyukuri nikmat-Mu dengan maksimal, dan ampuni hamba jikalau hamba mengingkari nikmat-Mu, dan sering lalai dari bersyukur kepada-Mu. Amiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar