Jumat, 13 September 2013

Al-Qur'an - Buku Panduan Kehidupan

Dr. Shofiyullah
Hari Jum’at, 13 September 2013, merupakan hari yang membahagiakan bagi saya, karena pada hari itu saya bisa memulai lagi untuk mandi di akhir malam dan melaksanakan shalat tahajjud, setelah sekian lama meninggalkan amalan yang mulia ini. Mudah-mudahan Allah ta'ala selalu memberikan taufiq dan hidayah-Nya agar saya bisa istiqomah mengerjakan qiyamul lail. Amiin.

Pada sore harinya, setelah mandi—ini adalah mandi yang ketiga kalinya pada hari Jum’at, karena sebelum shalat Jum’at saya mandi dulu—saya makan, atau yang biasa orang Jawa sebut nyore untuk makan malam atau makan sore, kalau makan pagi disebut sarap/nyarap, kalau makan siang biasa disebut madang. Itu bahasa Jawa ngoko, yaitu bahasa Jawa yang kasar.

Seperti biasanya, pada hari Jum’at sebelum adzan maghrib, atau pada saat adzan maghrib, saya bergegas untuk berangkat ke masjid Jenderal Sudirman untuk shalat maghrib di sana, dan tentunya karena ba’da maghrib ada pengajian rutin. Sebenarnya saya belum lama ngaji di masjid ini, sekitar semester lima atau enam saya lupa, yaitu pengajian Jum’at malam ba’da maghrib, dan pengajian selasa malam ba’da magrib dua minggu sekali. Untuk pengajian Jum’at malam ini kebetulan diisi oleh oleh Dr. Shofiyullah, beliau selain mengajar di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, juga merupakan salah satu pengajar di Ponpes Wahid Hasyim. Ini juga pertama kali saya berangkat pengajian Jum’at malam setelah dua bulan lebih tidak menghadirinya karena tugas KKN.

Ini kedua kalinya saya ngaji dengan Dr. Shofiyullah, dan seperti biasanya beliau agak telat karena mengurus beberapa hal di pondoknya. Pengajian Jum’at malam di masjid Jenderal Sudirman ini, setiap minggunya diisi oleh ustadz yang berbeda, jadi bertemu lagi dengan Dr. Shofiyullah hari Jum’at bulan depannya. Berbeda dengan pengajian tafsir hadits Selasa malam ba’da maghrib, yang diadakan setiap dua minggu sekali, yaitu pada minggu kedua dan keempat, selalu diisi oleh Habib Sayyidi bin Abdurrahman Baraqbah.

Pada pengajian dengan Dr. Shofiyullah sebenarnya banyak sekali ilmu, nasihat, dan hikmah yang beliau sampaikan; hanya saja terkadang saya lupa untuk mengingatnya secara detail, hanya beberapa poin saja yang masih saya ingat. Semoga yang sedikit saya ingat ini membawa manfaat besar bagi kehidupan saya. Amiin.

Beliau menyampaikan materi yang diambil dari sebuah kitab gundul—saya tidak tahu judul kitabnya apa—yang membahas masalah puasa, awalnya saya beranggapan bahwa materinya kurang tepat karena puasa ramadhan baru saja lewat. Tapi saya segera tahu—karena pernah ngaji dengan beliau sebelumnya—bahwa materi apapun yang beliau sampaikan, cakupannya sangat luas, tidak hanya menyentuh aspek materi dalam kitab saja, tapi juga merambah ke wawasan yang lain, bahkan menyinggung isu-isu terkini. Itulah kelebihan beliau sebagai seorang dosen, dan pengajar di pondok pesantren.

Yang saya ingat, di awal beliau menyampaikan, syarat wajibnya puasa, yaitu: muslim, baligh, berakal sehat, dan mampu melakukan. Kalau seoarang muslim dewasa, tapi akalnya tidak sehat alias gila, berarti ia tidak dikenai taklif (kewajiban syariat Islam); entah itu puasa, shalat, zakat, haji, dan sebagainya. Beliau juga menjelaskan, bahwa dalam ilmu fiqih, dibedakan antara hukum wajib dan fardhu, meskipun dalam keseharian kita sering menyamakannya, karena bila tidak dikerjakan akan berdosa. Dibedakan antara yang wajib dengan yang fardhu, karena—seingat saya, ya sob—wajib itu berdasarkan ijtihad atau kesepakatan para ulama yang diambil dari dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadits, sedangkan fardhu berdasarkan pada nash-nash sharih (jelas) Al-Qur’an dan Hadits, ini dilihat dari teks ayatnya, atau bunyi haditsnya menunjukkan wajib ataukah fardhu. Bagi kita orang awam, baik fardhu maupun wajib langsung kita kerjakan tanpa mempertanyakannya, sebab bila tidak dikerjakan akan mengakibatkan dosa.

Di akhir-akhir pengajian, beliau menjelaskan bahwa doa itu harus diiringi usaha; tawakkal itu harus dengan ikhtiar. Tidak mungkin kita meminta uang tanpa berusaha, lalu tiba-tiba uang jatuh dari langit, kalau kepingin rezeki ya keluar, bekerja, berusaha. Kalau ingin selamat ya hati-hati; ibaratnya orang dzikir sebanyak apapun, kalau mau nyebrang jalan nggak liat-liat ya tetep aja ketabrak; orang wirid sebanyak apapun, mau ngetes keampuhan lompat dari ketinggian ya tetep aja kakinya sakit, bisa-bisa malah patah. Intinya doa itu harus diiringi dengan usaha atau ikhtiar.

Beliau juga menyampaikan, bahwa dalam diri manusia ada unsur nasut dan lahut. Unsur nasut itulah yang disebut nafsu al-lawwamah, yang selalu mengajak pada keburukan, sedangkan unsur lahut bisa disebut nafsu al-muthmainnah, dan selalu mengajak pada kebaikan. Dan kebanyakan nafsu manusia biasanya akan mengajak pada keburukan, kecuali bagi orang-orang yang bisa mengendalikannya. Nafsu, kata Dr. Shofiyullah, biasanya menuntut keinginan-keinginan lebih dari diri manusia, meskipun kebutuhannya sudah tercukupi. Misalnya sudah punya handphone, tapi karena ada model baru yang lebih canggih, maka nafsu menuntut untuk membelinya.

Nafsu itu akan mempengaruhi otak untuk mencari alasan, atau pembenaran bagi pemenuhan nafsunya itu. Misalkan godaan berzina, atau membeli sesuatu, maka nafsu akan mempengaruhi otak untuk mencari-cari alasan bagi pembenaran perbuatan zina atau membeli sesuatu tersebut. Nafsu biasanya kalau sudah dikerjakan akan membuat menyesal, contohnya setelah kita membeli sandal baru, padahal kita masih punya sandal yang layak, maka setelah membeli sandal baru kita berkata, “Aduh, kenapa aku membeli sandal lagi sih? Padahal kan bisa buat beli yang lain.” Begitu juga sehabis orang melakukan zina, dalam hatinya ia menyesal, “Kenapa aku lakukan perbuatan ini?” Tambahan dari saya, orang yang bisa menyesal seperti itu berarti masih diberi hidayah oleh Allah, karena boleh jadi ada orang yang melakukan dosa, atau selalu memenuhi nafsu buruknya, tapi setelah itu ia tidak menyesal sedikitpun. Na’udzubillahi min dzaalik.

Beliau mengatakan bahwa Allah lebih banyak mengabulkan doa-doa kita, berdasarkan kebutuhan kita, bukan berdasarkan pada keinginan-keinginan kita, karena keinginan itulah hawa nafsu. Contohnya orang berdoa minta rumah mewah, sementara rumahnya tidak bagus, boleh jadi Allah tidak kabulkan, karena itu hanya hawa nafsu belaka. Boleh jadi kita beranggapan Allah tidak mengabulkan doa kita, padahal Allah mengabulkannya, tapi lewat jalan lain yang terkadang kita tidak menyadarinya, karena Allah lebih tahu apa yang terbaik bagi hamba-Nya, apa yang menjadi kebutuhan hamba-Nya. Beliau menekankan lagi, kalau doanya itu adalah menyangkut kebutuhan pasti dikabul, karena Allah akan mengabulkan doa setiap hamba-Nya. Tapi kalau doanya hanya keinginan nafsu, biasanya tidak dikabulkan

Dosen Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam (FUSAP) ini, ketika menjelaskan Al-Qur’an, mengatakan bahwa manusia itu harus berpedoman pada "Buku Panduan Kehidupan" yang dibuat oleh Pencipta Kehidupan. Ibarat orang membeli sepeda motor, semua hal tentang motornya ada dalam buku panduan. Mulai dari ukuran ban, tekanan angin, kekentalan oli, kecepatan, pengapian, perawatan; semuanya ada dalam buku panduan, karena yang membuat sepeda motor dan buku panduannya dari pabrik pembuatnya. Kalau tidak sesuai, tidak menuruti buku panduan alias mengganti-ganti apa yang ada dalam buku panduan, boleh jadi akan menambah kerusakan pada motornya, bahkan kecelakaan. Misalnya ukuran ban yang tadinya standar, dibuat kecil, bisa-bisa malah menyusahkan. Begitu pula dengan manusia, harus berpedoman pada buku panduan kehidupan yang dibuat oleh Pencipta Kehidupan, yaitu Al-Qur’an. Kalau hidup tidak sesuai dengan buku panduan kehidupan, bahkan melanggarnya, dan tidak menaatinya, ya otomatis kehidupannya akan hancur.

Beliau ketika menjelaskan surat Al-Baqarah ayat 185 mengatakan bahwa Al-Qur’an itu bukan hanya untuk umat islam, tapi sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia, artinya Al-Qur’an itu sifatnya universal. Oleh karenanya, siapapun orangnya kalau mengikuti petunjuk Al-Qur’an pastilah beruntung. Orang Cina kenapa banyak yang sukes, karena kata beliau, mereka banyak yang sesuai dengan Al-Qur’an. Saat ada kawan Cina yang bisnisnya sedang down, maka yang lain turut membantu, ada ikatan solidaritas di situ. Berbeda dengan sebagian orang Jawa, saat yang lain usahanya maju, malah berusaha menghancurkannya. Kemudian orang Cina itu istiqomah, kalau dagangannya sandal, ya sandal terus, tidak mudah menyerah lalu ganti usaha lain. Orang Cina juga terkenal hemat, bila usahanya belum maju, belum sukses, ia prihatin dulu, ibaratnya tirakat dulu. Hanya saja, orang yang bukan Islam, meskipun sebagian sesuai dengan Al-Qur’an, dan ia beruntung di dunia, akan tetapi belum tentu ia selamat di akhirat, karena miftahul jannah laa ilaaha illallaah ‘kunci surga itu kalimat agung laa ilaaha illallaah’, tentunya dengan segala ketakwaannya kepada Allah subhanhu wa ta'ala.

Al-Qur’an itu dari Allah tertulis di lauh mahfuzh secara lengkap 114 surat, 6666 ayat; kemudian turun ke langit dunia juga lengkap, baru setelah itu diwahyukan kepada Nabi Muhammad secara berangsur-angsur, sesuai dengan kondisi dan konteks kehidupan pada saat itu, tapi sifatnya universal, tak lekang oleh waktu ila yaumil qiyamah ‘hingga hari kiamat’. Artinya, segala masalah di dunia ini, dari zaman dahulu hingga hari kiamat, sudah ada solusinya dalam Al-Qur’an, karena Al-Qur’an telah ada sejak zaman azali dan tertulis dalam lauh mahfuzh. Demikian beberapa hal yang bisa saya tuliskan dari materi pengajian Jum’at malam di masjid Jenderal Sudirman yang diisi oleh Dr. Shofiyullah. Semoga bermanfaat. Salam damai untuk kita semua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar