Oleh: Rihan Musadik
Kalau pada tulisan sebelumnya saya membahas sedikit mengenai definisi cinta secara umum dan gejala-gejala yang ditimbulkan oleh cinta. Pada tulisan kali ini, saya masih akan melanjutkan bahasan tentang cinta, sebab masih ada hal yang ingin saya bahas terkait dengan beberapa pertanyaan tentang cinta yang saya ajukan pada tulisan sebelumnya. Tapi sebelumnya saya ingin mengatakan lagi, bahwa saya tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang cinta secara tuntas, detail, dan lengkap. Karena seperti kita ketahui bersama, bahwa membahas cinta itu tidak ada habisnya, banyak tokoh-tokoh besar yang sudah menghasilkan karya yang membahas tentang cinta, baik dari sudut pandang sastra, seni, agama, psikologi, maupun filsafat. Tetapi dari berbagai karya besar mereka, belum ada yang bisa membahas cinta secara tuntas, lengkap, dan detail. Diskursus cinta masih akan terus dideskripsikan, dibicarakan, dibahas, dan dituliskan ila yaumil qiyamah ‘hingga hari akhir’ dari berbagai sudut pandang, karena anugerah Tuhan yang besar ini memang demikian luas dan kompleks, sehingga di setiap generasi akan selalu ada karya-karya besar yang bertemakan cinta.
Ada pertanyaan mudah yang barangkali pernah terlintas di benak kita, darimana asalnya cinta? Jawabannya pun sangat mudah dan sederhana. Tentu saja dari Sang Maha Pencipta, Dialah yang menciptakan segala sesuatu di alam semesta ini, baik yang profan maupun yang sakral, baik yang abstrak maupun yang konkret, baik yang ghaib maupun yang kasat mata. Nah, cinta ini merupakan salah satu ciptaan Tuhan yang abstrak, dan tidak kasat mata. Cinta hanya bisa dirasakan, tidak bisa dilihat, tetapi cinta juga bisa diamati dari gejala-gejala yang ditimbulkannya, atau ekspresi-ekspresi yang ditunjukkan oleh orang yang mencintai. Walaupun kita tidak sepenuhnya tahu, apakah cintanya benar-benar tulus dan suci, atau hanya kamuflase belaka, sebab letak cinta yang sesungguhnya berada di dalam hati, dan yang bisa merasakan sinyal-sinyal cinta juga hanyalah hati.
Biasanya tema cinta yang ditulis dalam karya-karya besar, berkitan dengan cinta seorang laki-laki dengan seorang perempuan, seperti kisah cinta “Romeo and Juliet” karya William Shakespeare, Al-Ajnihah Al-Mutakassirah ‘Sayap-Sayap Patah’ karya Khalil Gibran, novel “Ayat-Ayat Cinta” karya Habiburrahman El Shirazy, “Di Bawah Lindungan Ka’bah” karya Buya Hamka, dan masih banyak lagi. Kebanyakan tulisan-tulisan tentang cinta dalam bentuk karya sastra, baik dalam bentuk puisi, novel, cerpen, maupun catatan harian. Tidak banyak yang membahas dari sudut pandang agama, sosial, budaya, psikologi, maupun filsafat. Ini karena membahas cinta secara akademis memang sulit, lebih mudah mengekspresikannya dalam bentuk sastra, maupun seni. Kalau pun dibahas dalam ilmu-ilmu humaniora, yang tersentuh hanyalah aspek luarnya saja, yaitu akibat-akibat yang disebabkan oleh cinta, tidak menyentuh aspek substantif dari cinta, yang sifatnya memang sangat individual. Pembahasan cinta dari sudut pandang agama juga sering dibicarakan, biasanya dalam kajian tasawuf, yaitu wujud cinta seorang hamba kepada Tuhannya.
Barangkali memang yang paling menarik untuk dibicarakan tentang cinta, yaitu berkaitan dengan cinta antara seorang laki-laki dan perempuan. Meskipun cakupan cinta sangat luas, seluas makna cinta itu sendiri. Ada cinta seorang hamba kepada Sang Khalik, cinta seorang ibu kepada anaknya, cinta seorang anak kepada ibunya, cinta dalam keluarga, cinta dalam hal persahabatan, cinta alam semesta, dan beribu-ribu cinta yang lain sebanyak ribuan cinta dalam hati kita.
Selanjutnya kita bertanya, apa itu cinta yang tulus dan suci? Sebenarnya Tuhan menciptakan cinta dengan kesucian-Nya, itu berarti cinta memang pada awalnya suci, karena berasal dari Yang Maha Suci. Cinta menjadi tidak suci dikarenakan ekspresi atau gejala yang ditimbulkan oleh cinta, yakni ekses-ekses negatif dari cinta yang bertentangan dengan aturan Sang Pencipta Cinta. Contoh mudahnya—seperti pada pembahasan di awal—seorang muda-mudi, katakanlah orang Islam, yang saling mencintai, cinta mereka sebenarnya—boleh dibilang—tulus dan suci, karena timbul dari hati sanubari yang dalam. Tetapi akibat dari cinta keduanya, tak jarang mereka sampai melupakan perintah agama, bahkan melanggar aturan agama. Mereka berpacaran, berduaan, bercumbu, hingga melupakan waktu shalat, padahal berduaan dengan yang bukan mahram saja dilarang dalam Islam, ini sampai pada taraf berpegangan, ujung-ujungnya karena tidak punya landasan iman yang kokoh mereka pun berzina. Na’udzubillahi min dzaalik.
Dari sinilah kesucian cinta yang dikaruniakan oleh Allah menjadi ternodai akibat dari perbuatan-perbuatan yang melanggar aturan Allah subhanahu wa ta'ala. Jadi saya beranggapan, cinta yang tulus dan suci adalah cinta yang sesuai dengan aturan Sang Pemilik Cinta, yaitu cinta yang berlandaskan pada iman dan akal sehat, bukan cinta yang dikuasai oleh hawa nafsu dan setan yang selalu mengajak untuk melanggar aturan Allah. Kalau cinta timbul dari hati yang bersih, hati yang dipenuhi iman, maka itu adalah cinta yang benar dan suci, dan ekspresi dari cintanya pun akan sesuai dengan aturan Allah. Berbeda halnya jika cinta timbul dari hati yang kotor, dari hati yang tidak pernah meng-update dan meng-upgrade iman, tentu cintanya akan lebih dikuasai oleh hawa nafsu belaka. Boleh jadi cintanya itu tidak tulus dan suci, kalaupun kita anggap itu cinta tulus dan suci, maka ekspresinya pun lebih kepada perbuatan maksiat dan dosa, karena sejak awal memang tidak dilandasi keimanan yang kokoh. Dan hasil dari ekspresi cintanya itu akan menodai dan mengkontaminasi hakikat dari ketulusan dan kesucian cinta. Maha Suci Allah yang menciptakan cinta yang suci, dan menaruhnya di hati yang suci pula. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar