Es Dawet Ireng |
Beberapa hari yang lalu, pada saat perjalanan pulang dari Jogja ke Purbalingga, tepatnya Kamis (5/9/2013). Saya sempat mampir untuk sekedar istirahat sejenak di daerah Bayan, Purworejo. Itu pun saya lakukan ketika melihat ada warung dawet hitam yang berjejer di pinggir jalan, karena badan semakin lelah, saya putuskan untuk berhenti di salah satu warung dawet hitam tersebut. Pertama kali berhenti, saya disambut oleh penjual dawet tersebut yang berjalan ke arah warung yang saya singgahi, “Monggo Mas,” katanya. “Nggih Bu, dawete setunggal,” kataku sambil duduk di kursi warung, sembari melepas jaket, tas, dan sarung tangan.
Ibu yang menjaga warung itu pun segera mengambilkan semangkuk dawet hitam segar dengan segala kekhasannya. Lalu saya pun menikmati dawet hitam yang baru saja disuguhkan, rasanya manis dan segar karena dicampur es, apalagi di terik panas mentari yang amat membakar kulit, rasanya benar-benar melepas dahaga yang kehausan. Ibu itu pun duduk di kursi depanku sambil menungguiku menikmati segarnya sajian dawet hitam. Sementara kendaraan berlarian dengan suara-suara bisingnya seolah ikut meramaikan hari itu.
Untuk memecah keheningan ketika kendaraan sepi, dan daripada diam saja tak ada pembicaraan, saya pun bertanya iseng, “Gadhah warung pinten, Bu,” tanyaku. Lalu ibu itu pun bercerita, bahwa ia hanya bekerja pada seseorang untuk menunggui empat warung dawet hitam sekaligus, pantas saja ketika saya berhenti di salah satu warung dawet hitam, warung itu terlihat sepi, baru setelah itu datang seorang ibu muda dengan gaya khas sub-urban (orang desa, tapi terdominasi kota) dari warung dawet di sebelahnya, karena memang berjejer di pinggiran jalan daerah Bayan, Purworejo.
Obrolan pun berlanjut, karena saya yang lagi-lagi iseng bertanya, berlagak seperti wartawan. Tapi yang menyenangkan ibu itu asyik diajak ngobrol, ia menjawab dengan sangat polos, malahan ia banyak bercerita tentang pengalaman hidupnya. Ia mengatakan lebih senang menjaga warung dawet ini, karena lebih santai, laku atau tidak laku per harinya ia dibayar oleh bosnya lima belas ribu rupiah. “Masih mending jaga warung di sini Mas, daripada jaga toko, kalau jaga toko per harinya sepuluh ribu, artinya sebulan tiga ratus ribu, itu pun berangkat kerja dari pagi sampai sore, kalau di sini mah santai, berangkat paling jam sembilan, kalau sudah habis ya pulang, kalau nggak laku ya agak sore dikit lah,” katanya bercerita.
Ibu dua orang anak ini juga bercerita, kalau di rumah ia juga kadang bekerja menjahit, biasanya ia sering dipesan untuk membuatkan baju ketika waktu-waktu tertentu. Pengalamannya bekerja di salah satu pabrik garmen di ibu kota, membuatnya mahir manjahit. Kalau tidak salah, ibu ini bekerja selama tiga tahun di Jakarta, lalu karena alasan kehamilan, dan alasan-alasan yang lain, ibu ini pun memutuskan untuk pulang ke rumah bersama keluarganya. Ia memiliki dua orang anak, yang satu masih sekolah dasar, sedangkan yang satunya lagi tidak sekolah, ikut bekerja dengan ayahnya.
Ia bercerita salah satu anaknya lahir premature sehingga ia memutuskan pulang dari Jakarta (prasangkaku, mungkin sekarang cacat mental, karena anak yang satu tidak bersekolah). Ibu ini banyak bercerita tentang pengalamanya di Jakarta, di sana sebenarnya mendapat gaji lumayan menurut ukurannya, meskipun terkadang capek bekerja, tapi setidaknya ada banyak kawan di pabrik untuk sekedar tertawa, bercanda bersama, karena memang kebanyakan karyawannya adalah orang-orang dari Jawa, banyak ia berkenalan dengan teman-teman di pabrik. Tapi takdir menentukan untuk kembali ke daerahnya, dan sekarang menjaga empat warung dawet hitam di pinggir jalan daerah Bayan, Purworejo.
Dari sorot matanya, dari isi pembicaraannya, terlihat jelas jika ibu ini sangat nrimo, sangat ikhlas dengan keadaan hidupnya, dengan rezeki yang didapat. Saya pun ditanya darimana dan mau kemana, saya menjawab dari Jogja mau ke Purbalingga. “Sekolah teng Jogja nopo Mas?” tanya ibu. “Nggih Bu, kuliah teng Jogja,” jawabku singkat. Obrolan pun berpindah seputar kuliah, kali ini saya yang banyak bercerita (nggak banyak sih...). Di akhir pembicaraan, saya berujar, “Mudah-mudahan cepat lulus”. “Nggih lah mas,” balas ibu itu.
Selesai mengenakan jaket dan sarung tangan yang tadi saya lepas, “Pinten niki, Bu?” kataku bertanya. “Tigo ngewu Mas,” jawab ibu itu. Ada uang lima ribuan yang sebenarnya hendak saya kasihkan tanpa kembalian, tapi karena saya malu akhirnya saya kasih uang pas saja tiga ribu rupiah yang kebetulan ada di dompetku. Saya pun melanjutan perjalanan dengan damai, karena baru saja mengistirahatkan tubuh dengan menikmati es dawet hitam dengan obrolan-obrolan singkat. Siang itu menjadi sedikit mendung, sangat cocok melanjutkan perjalanan, sebab hawanya tidak terlalu panas semelet. Terima kasih Tuhan. Terima kasih ibu. Let’s go.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar