Oleh: Rihan Musadik
Terkadang pemuda-pemudi para pelaku zina yang tidak sedikit beragama Islam itu, mereka sebenarnya tahu bahwa zina itu dilarang oleh agama Islam (yang saya tahu semua agama itu melarang perbuatan zina), zina itu dosa besar, zina itu melanggar norma di masyarakat, zina itu aib yang memalukan, zina itu hanya kenikmatan sesaat. Akan tetapi mereka tetap melakukannya, karena tidak adanya landasan iman yang kokoh, sehingga mereka tidak bisa mengendalikan hawa nafsu mereka, tidak bisa menolak godaan setan. Apa mungkin para pelaku zina—apalagi beragama Islam—tidak tahu bahwa perbuatannya itu dilarang? Rasanya sangat tidak mungkin di era informasi ini ada orang Islam yang tidak tahu kalau perbuatan zina itu dosa besar, mereka pasti tahu, karena secara kultural di masyarakat kita, zina itu perbuatan yang amat tidak boleh dilakukan. Bahkan orang yang tidak sekolah pun akan tahu dengan sendirinya dari perkataan-perkataan yang menyebar di masyarakat bahwa zina itu perbuatan dosa, nista, dan dilarang.
Dari sini kita menjadi tahu, bahwa terkadang cinta itu membawa ekes negatif atau akibat buruk tersendiri bagi seseorang yang tidak bisa memanajemen cinta dengan baik. Ini karena cinta yang suci dalam hatinya sudah dikuasai oleh hawa nafsu yang selalu mengajak pada keburukan, apalagi setan sudah mengontaminasi cinta suci dalam hati kita, lalu iman kita pun merosot tajam, akhirnya buah dari cinta suci teraplikasikan dalam perbuatan maksiat dan dosa. Barangkali ini kronologi mengapa cinta bisa membuat seseorang bisa melakukan tindakan konyol seperti bunuh diri, membunuh, stres, frustrasi, hingga depresi.
Sebagai orang yang having religion dan selalu berusaha untuk to be religious, kita perlu bertanya apa itu arti cinta? Apa itu cinta yang suci? Bagaimana cinta yang sesuai dengan akal dan iman? Kenapa saya bisa cinta pada seorang gadis? Apakah cinta kita mendapat ridha dari Allah? Bagaimana cara menjaga hubungan cinta suci tetap awet? Apakah cinta pada seseorang hanya soal fisik semata (cantik, tampan, kaya, dsb.)? Proses seperti apa yang membuat cinta lebih membekas di hati? Kenapa saya selalu memikirkan “dia” siang dan malam? Kenapa saat bertemu dengannya, saya merasa gugup? Kenapa setiap kali kulihat dia, dunia seakan-akan berhenti, dan jantung serasa tak berdetak? Kenapa saya merasa cemburu saat dia bersama laki-laki/perempuan lain? Ada apa dengan cinta?
Pertanyaan-pertanyaan tentang cinta di atas mungkin tidak bisa dijawab secara tuntas, detail, dan lengkap. Karena cinta itu sendiri memang sesuatu yang sangat misterius dan tersembunyi di dalam hati. Menurut para pakar, cinta tidak bisa didefinisikan secara tuntas dan jelas, karena sifatnya yang abstrak dan tersembunyi, ia hanya bisa dirasakan gejala-gejalanya saja, dan ini sangat berkaitan dengan perasaan seseorang.
Seperti angin yang tidak terlihat, tapi bisa dirasakan, begitu pula cinta, tidak bisa dilihat, namun dapat dirasakan. Jika angin bisa diamati dari gejala-gejala yang ditimbulkannya, seperti debu-debu yang berterbangan, pepohonan yang menari-nari, rumput-rumput yang bergoyang. Tidak demikian dengan cinta, cinta tidak bisa diamati hanya dari gejala-gejala yang ditimbulkannya, misalnya orang bertingkah baik pada kita, tersenyum indah, dan bicara sopan, atau seorang pemuda mencumbu seorang pemudi, belum tentu gejala-gejala tersebut menunjukkan rasa cinta yang suci dan tulus. Karena boleh jadi, ia bertingkah baik, tersenyum lebar, dan bicara sopan hanya dari luarnya saja, sementara hatinya berkata lain, atau mungkin sebenarnya ia benci, tapi ia tutupi dengan sandiwara yang dibuatnya. Begitu juga seorang pemuda yang mencumbui seorang wanita, ini tidak menunjukkan rasa cinta yang sebenarnya, boleh jadi ini hanya pelampiasan nafsu saja, sementara hatinya mengatakan tidak ada cinta di antara kita.
Hal ini menunjukkan bahwa cinta sangat berkaitan dengan perasaan, dan isi hati seseorang. Bukan hanya dilihat dari perilakunya saja, karena belum tentu sikapnya itu tulus dan dilandasi oleh rasa cinta, boleh jadi itu hanya sandiwara saja. Akan tetapi yang perlu digarisbawahi di sini, bahwa sikap, perilaku, perbuatan, atau akhlak yang baik dan mulia juga merupakan salah satu representasi dari cinta seseorang. Hal ini sulit dimungkiri, sebab kita sendiri juga melihat, mengalami, dan merasakan, bagaimana ibu kita menunjukkan rasa cintanya dengan senantiasa merawat kita, memperhatikan kita, memeluk kita, memberikan apa yang kita butuhkan, dan masih banyak lagi sikap baik ibu karena cinta pada anaknya. Kita juga melihat, seorang suami yang menunjukkan cintanya pada istri dengan berbagai macam sikap baik, lembut, dan romantis. Begitu juga seorang laki-laki yang sedang jatuh cinta pada seoarang wanita, ia akan tunjukkan segala perbuatan baik, lemah lembut, dan perhatian. Meskipun dalam kesehariannya ia berwatak kasar, dan kerap berbuat buruk, tapi ketika di hadapan wanita idamannya, ia berubah drastis menjadi orang baik bagaikan “seorang nabi”.
Ini menjelaskan pada kita bahwa gejala-gejala yang ditimbulkan oleh cinta, seperti sikap baik, lemah lembut, perhatian, saling memberi, juga merupakan salah satu reperesentasi dari cinta yang tulus dan suci. Bahkan—seperti yang sudah tertulis di paragraf sebelumnya—cinta bisa membuat seseorang yang tadinya berperilaku buruk, bisa berubah seratus delapan puluh derajat menjadi orang yang baik. Begitu luar biasanya cinta, bisa mengubah hitam menjadi putih, bisa mengubah iblis menjadi malaikat. Maha Suci Engkau Ya Allah Ya Rabbi, yang telah menciptakan cinta, dan menganugerahi kami rasa cinta.
Salah satu bentuk gejala atau ekspresi cinta yang telah kita bahas, kebanyakan yaitu sikap baik pada orang yang dicintainya, ini hal yang sangat wajar. Namun kita juga tidak boleh memungkiri, ada bentuk-bentuk ekpresi cinta lainnya, selain sikap baik pada orang yang kita cintai. Misalnya dalam bentuk amarah, membentak, sok mengatur, dan sikap-sikap lainnya yang terkadang tidak kita senangi. Selama ini kita menganggap bahwa orang yang berbuat tidak menyenangkan, sering membuat kontroversi hati, mengkudeta keyakinan (meminjam istilah nyleneh yang lagi populer dari Vicky Prasetyo, sang intelek tipu-tipu) berarti ia tidak mencintai kita, tidak menyayangi kita, dan sangat menjengkelkan.
Padahal di balik sikapnya yang kita anggap nyebelin itu, sebenarnya ia sangat mencintai kita. Contohnya sikap kedua orangtua kita yang sering memarahi kita, membentak kita, kebanyakan ngatur, bawel, dan sebagainya. Padahal sikap yang dilakukan oleh orangtua itu demi kebaikan anaknya, ia marah karena kita sering berbuat salah, agar kita bisa segera sadar dan tidak mengulanginya lagi, kalau ia tidak mencintai kita tentu ia tidak akan marah pada kita. Orangtua kebanyakan ngatur dan bawel, itu karena sebagai orangtua menginginkan yang terbaik pada anaknya, bahkan terkadang orangtua membentak kita, mungkin orangtua menginginkan supaya anaknya bisa cepat berubah menjadi lebih baik.
Kalau kita berpikiran sempit, mungkin kita menganggap sikap kedua orangtua yang demikian ini tidak merepresentasikan sebuah cinta. Padahal sejatinya, sikap yang menurut persepsi kita tidak menyenangkan ini juga merupakan salah satu ekpresi cinta seseorang, wujud kepedulian dan kasih sayangnya pada kita, menginginkan yang terbaik pada kita, walaupun mungkin caranya kurang tepat, dan membuat kita jengkel. Pada intinya mereka masih care dengan kita, masih menganggap kita orang yang dicintai, sebab kalau kita sudah tidak dicintainya, tentu kita tidak akan dipedulikannya.
Jadi kesimpulannya, gejala-gejala yang ditimbulkan oleh cinta, atau bentuk-bentuk ekspresi cinta seseorang itu sangat beragam. Bisa dalam bentuk sikap baik, lemah lembut, sopan santun, saling memberi, dan lain sebagainya. Tapi juga bisa dalam bentuk amarah, banyak mengatur, sering menegur, berkata keras, dan sikap-sikap yang tidak kita sukai. Kemudian yang perlu kita ketahui adalah, bahwa kita tidak bisa langsung menilai apakah seseorang mencintai kita ataukah tidak mencintai kita (membenci) hanya lewat gejala-gejala cinta, yaitu sikap yang yang diperlihatkan kepada kita. Karena seperti telah kita bahas sebelumnya, bisa saja seseorang memperlihatkan sikap mulia dihadapan kita, tapi dalam hatinya ternyata ia tidak mencintai kita, atau malah membenci kita. Begitu juga sebaliknya, mungkin seseorang terlihat kasar kepada kita, padahal kenyataannya ia sangat mencintai kita.
Lalu bagaimana sikap kita yang benar? Tentu sebagai orang yang beragama (khususnya agama paling sempurna di dunia, yaitu Islam), kita harus selalu khusnuzhon ‘berbaik sangka’ kepada semua orang, agama tidak menganjurkan bahkan melarang untuk berbuat su’uzhon ‘berburuk sangka’ karena dalam Al-Kitab dijelaskan bahwa kebanyakan prasangka buruk itu dosa. Entah dalam hati orang tersebut membenci kita, atau mencintai kita, kalau orang tersebut berbuat baik pada kita, tentu kita harus menyambutnya dengan kebaikan juga. Begitu pula ketika seseorang bersikap tidak menyenangkan hati, kita harus bersabar, dan tetap berprasangka baik. Barangkali ada “sesuatu” di balik sikapnya itu, barangkali sikapnya tersebut hanya terlihat buruk dari luarnya saja, sementara dalam hatinya ia menyimpan kepedulian besar pada kita. Wallahu a'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar