Oleh: Rihan Musadik
Pada tulisan saya yang sebelumnya, sudah dibahas beberapa pertanyaan berkaitan dengan permasalahan cinta, seperti kenapa kita bisa mencintai seseorang? Kenapa saya bisa jatuh cinta pada seorang ikhwan/akhwat? Kenapa saya terus-menerus memikirkannya? Kenapa cinta ini membuat saya galau? Apakah cinta ini mendapat ridha Allah? Beberapa pertanyaan ini sedikit banyak sudah dijawab di tulisan Obrolan Ringan Masalah Cinta (Part 3). Pada tulisan kali ini, saya masih akan melanjutkan pembahasan berkaitan dengan cinta. Sebelum melangkah lebih jauh, perlu saya katakan di sini, bahwa obrolan ringan tentang cinta yang saya tuliskan selama ini, sedikit banyak adalah argumen/pendapat saya pribadi dengan raison d’etre yang saya anggap benar. Jadi, kalau misalkan ada di antara pembaca yang tidak setuju dengan argumen-argumen saya tentang cinta, maka itu sah-sah saja, dan sebaiknya tuliskan di komentar agar kita bisa berdiskusi lebih jauh, saling belajar, dan saling mengingatkan.
Pada tulisan saya yang pertama—Obrolan Ringan Masalah Cinta (Part 1)—ada pertanyaan: Proses seperti apa yang membuat cinta lebih membekas di hati? Apakah cinta pada pandangan pertama itu lebih membekas di hati? Ataukah cinta yang timbul seiring dengan berjalannya waktu yang lebih berkesan di hati? Jawabannya tentu akan sangat berbeda dari masing-masing individu, karena sifatnya yang personal berdasarkan pengalaman yang pernah dialaminya. Ada pasangan suami-istri yang hingga kini masih tetap harmonis dan mengawali cintanya lewat pandangan pertama; ada juga pasangan yang telah menikah, hingga kini masih mesra dan mengawali cintanya tidak pada pandangan pertama, akan tetapi lewat benih-benih cinta yang bermunculan seiring dengan berjalannya waktu.
Pada intinya, baik cinta yang timbul dengan sendirinya karena suatu proses, ataupun cinta pada pandangan pertama, kedua-duanya bisa menjadi sebuah cinta yang tulus dan suci. Dan kedua muqaddimah cinta itu bisa menggiringnya ke dalam suatu keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Itu tergantung dari pasangan cinta tersebut menjalin hubungan cintanya dengan cara yang halal, sesuai dengan aturan Allah dan Rasul-Nya, serta tidak melanggar larangan-larangan agama (Islam). Di samping itu, kedua pasangan yang sudah halal juga harus merawat cintanya dengan baik, dan menjadikannya sebuah cinta yang mendapat ridha dari Sang Pembawa Cinta.
Kalau boleh saya bahas lebih jauh, cinta pada pandangan pertama itu lebih sering dialami oleh sebagian dari kita, terutama para remaja, atau pemuda-pemudi yang sedang mencari cinta. Cinta pada pandangan pertama biasanya terjadi karena ketidaksengajaan (namanya juga pandangan pertama, tentu ngliatnya juga nggak sengaja). Jadi setelah mata ini melihat, kagum, dan terpesona; kita pun (kita? elo aja kali, he...) malah terus mengamatinya lebih jauh, lebih detail, akhirnya timbul chemistry, timbul rasa cinta, timbul rasa rindu, timbul rasa kangen, dan jadi kepikiran terus (aku mau makan ingat kamu; aku mau tidur ingat kamu; aku mau belajar ingat kamu; aku mau ngising, juga ingat kamu, halah... jadi galau nih).
Sebenarnya tidak dilarang cinta pada pandangan pertama, ini wajar saja dan sangat manusiawi, yang tidak boleh bagi seorang muslim itu, memandangnya terus disertai dengan nafsu. Panutan kita, suri tauladan kita, dan junjungan kita, Rasulullah pernah bersabda kepada sahabatnya yang bertanya tentang pandangan pertama, beliau berkata, “Palingkan pandanganmu”. Nabi juga pernah berkata kepada sahabatnya Ali bin Abi Thalib, “Wahai Ali, janganlah engkau mengikuti pandangan pertama yang tidak sengaja dengan pandangan berikutnya, karena bagi engkau pandangan yang pertama saja, dan tidak boleh bagimu pandangan yang berikutnya (pandangan yang kedua)”.
Dari perkataan baginda Nabi Muhammad ini, kita dilarang untuk terus memandang wanita cantik yang bukan mahram (kalau akhwat, berarti dilarang memandang laki-laki yang bukan mahram). Ini karena pada pandangan berikutnya lebih kepada hawa nafsu, dan setan akan turut menggodanya. Dalam Al-Qur’an surah An-Nur, ayat 30-31 kita juga diperintahkan untuk menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan (ini perintah khusus bagi orang-orang yang beriman saja, yang tidak beriman nggak kena perintah ini). Yang dimaksud dengan menundukkan pandangan, yaitu pandangan yang mengandung nafsu syahwat, bukan pandangan yang biasa yang tidak disengaja.
Nabi juga menjelasakan bahwa pandangan dengan nafsu ini merupakan sebagian dari perbuatan zina, kata beliau, “Sesungguhnya Allah telah menetapkan bagi setiap anak Adam bagiannya dari zina, ia mengalami hal tersebut secara pasti. Kedua mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zinanya adalah mendengar, lisan zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang, kaki zinanya adalah berjalan, dan hati zinanya adalah berhasrat dan berangan-angan. Hal tersebut dibenarkan oleh kemaluan atau didustakannya”. Artinya, zina-zina dengan anggota badan seperti yang disebutkan Rasulullah seringkali dilakukan oleh anak Adam, dan itu juga merupakan sebagian dari dosa kecil, lalu yang menentukan zina sungguhan atau tidak adalah kemaluannya. Oleh sebab itulah, Al-Qur’an setelah memerintahkan menundukkan pandangan, menyuruh untuk menjaga kemaluan, karena kemaluanlah yang menentukan anak Adam berzina atau tidaknya.
Lalu kaitannya dengan batasan pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram (khususnya pemuda dan pemudi), saya pernah menanyakan langsung hal ini kepada Drs. Fathul Hilal ketika pengajian rutin Jum’at malam di masjid Jenderal Sudirman. Beliau menjawabnya dengan sangat detail dan jelas (hingga saya lupa, he..he..). Menurut beliau antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram tidak boleh saling berjabat tangan, silaturahmi tidak harus berjabat tangan secara langsung, meskipun itu hari lebaran, tapi cukup dengan isyarat kedua telapak tangan yang disatukan, seperti yang biasa dilakukan orang Buddha dan Konghucu. Hal ini lebih baik dan lebih suci, dan orang yang ditolak berjabat tangan, insya Allah akan mengerti dan tidak akan tersinggung, bahkan akan menghormatinya. Kemudian berkaitan dengan pandangan, beliau menjelaskan bahwa dalam pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, ada tiga pandangan/ru’yat/melihat, yaitu ru’yat nadhar, ru’yat bashar, dan yang satunya saya lupa (sory sob, emang lupa...). Yang pertama yaitu ru’yat nadhar, artinya (kalau nggak salah ya, sebatas yang bisa saya ingat) melihat secara fisik, tanpa melihat auratnya, serta tanpa disertai nafsu syahwat. Kemudian yang kedua yaitu ru’yat bashar, kalau ini saya benar-benar lupa, apalagi yang ketiga lebih lupa lagi (semoga Allah bisa mengingatkannya kembali).
Untuk masalah jabat tangan dengan perempuan ajnabi (asing, bukan mahram), itu dalilnya macam-macam, ada yang membolehkan, ada yang memakruhkan, dan ada yang mengharamkan. Masing-masing dengan dalil yang kuat dari Al-Qur’an dan hadits, serta atsar sahabat. Beberapa ustadz, dan kyai pun terkadang berjabat tangan langsung dengan perempuan ajnabi, karena menggunakan dalil yang membolehkannya, dan saya pun hingga sekarang menggunakan hukum yang paling ringan, yaitu yang membolehkannya. Meskipun harus saya akui, tidak berjabat tangan secara langsung lebih mulia dan lebih suci. Untuk masalah pandangan, Drs. Fathul Hilal mengatakan, kalau dalam pergaulan boleh melihat, tapi sebatas ru’yat nadhar, yakni boleh melihat secara fisik, tapi tidak boleh melihat auratnya, dan tidak disertai nafsu syahwat. Beliau juga melarang khalwat (berduaan antara laki-laki dan perempuan yang tidak halal), apalagi pacaran.
Memang dalam pergaulan sekarang ini, dimana antara laki-laki dan perempuan bercampur baur, kelihatannya sulit untuk menerapkan perilaku yang benar-benar Islami. Apalagi kita sebagai pelajar atau mahasiswa; menundukkan pandangan, tidak berjabat tangan secara langsung, tidak berkhalwat, tidak melihat aurat, berpaling dari pandangan pertama ketika melihat wanita cantik, rasa-rasanya sulit dihindari. Tapi menurut saya pribadi, semua ini bisa dilakukan dengan pembiasaan diri, kemudian tidak malu, tidak takut, dan tidak gentar ketika teman kita mengatakan sok alim, sok suci, munafik nggak mau lihat cewek cakep, ora gaul, dan sebagainya. Biar saja mereka berkata apa, yang penting kita berniat dan berusaha karena Allah untuk melaksanakan ajaran Islam secara benar dan kaffah (menyeluruh). Semoga Allah meringankan kita untuk terus istiqomah melaksanakan segala perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, dan mengikuti sunnah Nabi-Nya. Wallahu a'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar