Hari ini, Senin (16/9/2013), ada suatu kejadian yang bisa saya ambil pelajaran. Ternyata kalau kita sedang dikerjain oleh teman, atau kalau istilah Jawa disebut lagi digarapi konco, dan kita terus menanggapinya dengan gugup, dengan berapi-api, teman yang sedang ngerjain kita justru malah tambah senang, karena kita terus terpancing, artinya teman tersebut berhasil membuat wajah kita memerah. Seperti yang saya alami pada hari ini, walaupun ini kejadian yang benar-benar sangat menjengkelkan. Bagaimana tidak, ketika saya sedang ngobrol dengan seorang teman, dan saya bertanya kepadanya, “Apakah si fulanah sudah punya pacar?” Teman saya tersebut justru malah menganggap saya suka pada si fulanah tersebut, padahal saya hanya sekedar bertanya iseng saja ketika lagi ngrasani teman wanita satu kelas tersebut.
Dan lebih parah lagi ketika kami sedang ngobrol bersama dengan si fulanah tersebut, dan juga teman yang lain, karena kebetulan satu kelompok untuk tugas mata kuliah bisnis olahraga. Teman saya tersebut melakukan hal konyol, bertanya secara langsung kepada si fulanah, dan saya berada disitu sesudah membahas tugas kuliah. Ia menanyakan kepada si fulanah bahwa saya (fulan) bertanya kepadanya apakah sudah punya pacar apa belum. “Fulan (maksudnya saya) mau tanya, kamu sudah punya pacar apa belum? Jawabanmu ditunggu lho sama si fulan,” kata teman saya. Ini hal yang sungguh amat menjengkelkan, karena pertanyaan tersebut membuat si fulanah merasa canggung, saya pun merasa ada “kontroversi hati” (meminjam istilahnya Vicky Prasetyo, sang intelek abal-abal), dan merasa tidak nyaman, walaupun kami berdua dengan si fulanah bisa mengantisipasi sikap jahil teman saya yang resek ini.
Tapi ada pelajaran yang dapat saya ambil, ketika teman saya bertanya seperti itu, seketika itu saya langsung syok alias kaget, karena membuat saya malu dihadapan si fulanah, seolah-olah saya menyimpan perasaan kepadanya. Padahal kenyataannya sangat jauh panggang daripada api. Sehingga teman saya justru malah bersemangat mengerjai saya, yang menganggap saya ada perasaan beneran dengan si fulanah. Belum cukup sampai di situ, sampai di tempat kostku—kebetulan teman saya ini sering main ke kost saya, dan akrab dengan saya, tetapi kadang-kadang nyebelin—lalu masuk salah seorang teman yang lain, tepatnya dua orang teman (yang satunya ini kawan akrabnya si fulanah karena masih satu daerah, bahkan satu SMP, satu SMA, hingga kuliah, dan itu satu kelas, bagaimana akrabnya coba...) dan masih satu kelas juga dengan kami. Ia menyinggung lagi tentang si fulanah, ia bercerita tentang si fulanah seolah-olah saya ada perasaan dengannya. Teman saya yang baru saja masuk ini langsung ikut nggarapi saya, dan saya menanggapinya dengan tidak tenang, dengan jawaban apologi yang bercampur emosi, marah, dan gugup. Tentu teman-teman saya ini makin senang memojokkan saya hingga muka saya hampir memerah dibuatnya.
Tapi untungnya saya bisa terus menjawabnya, meski dengan apologi yang terlihat gugup, akan tetapi tetap saja membuat kontroversi hati. Ketika semuanya sudah pergi dari kost-ku, saya baru kepikiran, kenapa saya harus menanggapinya dengan gugup, dengan kelabakan, dengan serius. Mestinya saya bisa menanggapinya dengan tenang, tanpa gugup; khususnya saat di hadapan si fulanah ini ketika teman resek saya ini—kalau enggan dikatakan konyol—bertanya pada si fulanah bahwa saya menanyakan apakah ia sudah pacar. Lagi pula si fulanah ini juga menanggapinya dengan tidak terlalu serius, karena saat itu saya berkata dengan sedikit gugup, “Enggak, itu cuma bercanda koq”, dan teman wanita yang lain juga mendukung saya, dan mengganggap hanya ocehan saja dari kawan saya yang memang terkenal jahil bin resek ini.
Bahkan si fulanah juga setali uang dengan saya, bahwa omongannya itu cuma angin lalu saja yang membawa kontroversi hati. Tapi karena teman saya ini menganggap pertanyaan saya waktu itu serius dan “ada apa-apanya”, (waktu itu ketika ngobrolin si fulanah saya pernah bertanya iseng, ‘Apakah ia sudah punya pacar?’, karena memang ia teman badmintonnya) ia pun terus bertanya memojokkan si fulanah, maka si fulanah pun juga sepertinya merasa rikuh dengan saya alias kontroversi hati. Benar-benar teman yang aneh bin konyol, tapi karena ini teman akrab, dan sering main ke kostku, ya sudahlah, saya tanggapi dengan guyonan saja, meskipun sebenarnya ada kontroversi hati yang membuat saya jengkel.
Ini yang ngeselin, seolah-olah ia tahu isi perasaan saya, ingin menjodoh-jodohkan saya, ingin membantu saya, tapi kenyataannya malah membuat kontroversi hati saya, dan bahkan membuat saya dan si fulanah merasa rikuh saat itu. Tapi saya tahu, bahwa si fulanah pasti menganggapnya angin lalu saja (atau mungkin ada perasaan...tak tahu lah). Kami memang sudah saling akrab, dan kelompok dalam mata kuliah Bisnis Olahraga juga itu bentukan sendiri, bukan urut absen atau berhitung di kelas. Mungkin ini memang tujuan teman saya itu, yaitu mengerjai saya; tetapi benar-benar membuat saya yang sudah berteman akrab dengan si fulanah (satu kelas selama enam semester) menjadi kontroversi hati. Atau mungkin ini salah satu sikap konyol teman saya itu, tanpa mempertimbangkan kontroversi hati seseorang.
Tapi pada akhirnya, teman saya itu khilaf, dan meminta maaf kepada saya atas sikapnya yang keliru tersebut, dan mengatakan bahwa itu cuma bercanda saja. Saya pun sebenarnya hanya menanggapinya dengan guyonan saja, sejak mendapat insiden kontroversi hati tidak serius itu, hingga teman resek ini meminta maaf. Dan saya juga yakin, kontroversi hati yang saya alami dan juga si fulanah hanya terjadi hari itu saja, hari berikutnya seperti sedia kala, statusisasi (meminjam istilahnya Vicky Prasetyo) sebagai teman akrab satu kelas akan tetap terjaga.
Kesimpulannya, karena saya menanggapinya dengan tidak tenang, dan menganggapnya terlalu serius, jadilah teman saya tersebut semakin senang membuat kontroversi hati saya. Padahal kalau saya menanggapinya dengan santai, dengan tenang, dengan jawaban jelas yang juga santai dan tenang, tanpa ada rasa gugup, nervous, atau merasa kelabakan, niscaya kontroversi hati tidak akan mampir ke hatiku. Jadi, mulai sekarang bersikaplah tenang, santai, pasrah, dan ikhlas dalam menghadapi suatu hal. Di samping itu, juga perlu menjaga intonasi, nada, volume, dan aksen ketika berbicara, tetapi juga harus jelas dan lugas ketika menanggapi atau menjawab suatu hal. Wassalam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar